(AMS, opini)
KEMARIN, Senin (9/9/2013), akun Twitter @SBYudhoyono, -milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dibanjiri ucapan selamat ulang tahun. SBY yang lahir pada 9 September 1949 itu, kemarin berulang tahun yang ke-64.
Bertambahnya usia seorang kepala negara tepat di hari ultahnya adalah memang termasuk hal yang patut untuk diberi ucapan selamat. Itu bagus dan tak ada salahnya, karena bisa sebagai pemberi motivasi buat kepala negara agar bisa menjalankan tugasnya untuk rakyat, bukan untuk keluarga dan kelompok sendiri.
Jadi, mari kita memberi selamat ultah bertambahnya usia Presiden SBY untuk sekaligus mengingatkan, bahwa utang negara kita juga kini makin bertambah. Silakan usia Presiden SBY bisa bertambah! Tetapi tolong, utang negara jangan ditambah-tambah lagi..!!
Inilah yang menggelitik, sekaligus yang merisaukan hati banyak orang, termasuk saya. Bahwa usia manusia setiap tahun (termasuk kepala negara) hanya bertambah 1 (satu), contohnya Presiden SBY dari 63 menjadi 64 saat ini. Tetapi utang negara kita belum setahun sudah membengkak dan bertambah sekitar Rp.200 Triliun. Ini berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat-LKPP Desember 2012 yang menyebutkan utang negara (saat itu) adalah Rp.1.850 Triliun. Dan saat ini, posisi utang negara kita malah sudah mendekati Rp.2.100 Triliun.
Usia Presiden SBY memang bertambah, tetapi di sisi lain itu sesungguhnya berkurang sebagai manusia. Dan ini sama persis dengan kondisi negara kita, yakni utang bertambah, dan di sisi lain aset negara berupa tanah dan kekayaan sumber daya alam kita malah makin berkurang karena sudah banyak yang dikuasai oleh pihak swasta negara asing. Jadi tolong, Tuan Presiden, utang negara kita jangan ditambah-tambah lagi..!!
Karena dua hal di atas (utang dan aset kekayaan alam kita itu) adalah merupakan sebuah malapetaka buat anak-anak cucu di negeri ini. Dan saat ini sudah sangat menjadi ancaman yang menggelisahkan. Kasihan seluruh rakyat saat ini (terutama rakyat miskin) sangat mengharap agar dapat disejahterakan secepatnya.
Saya setuju dengan pemikiran Ekonom Senior Rizal Ramli yang mengatakan, bahwa sesungguhnya negara ini bisa dijalankan tanpa perlu berutang dari luar negeri, dengan cukup memanfaatkan potensi yang dimiliki sendiri oleh negara kita.
“Volume APBN kita semakin besar saja, tapi tidak kunjung menyejahterakan rakyat. Padahal, dengan volume APBN yang berkisar Rp 1.800 triliun, seharusnya rakyat bisa hidup lebih baik dan sejahtera. Namun karena minimnya keberpihakan kepada rakyat, maka postur APBN lebih banyak digunakan untuk anggaran yang tidak bersentuhan langsung dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat,” demikian Rizal Ramli dalam keterangan pers kepada wartawan, Senin (9/9), seperti yang dilansir oleh aktual.co.
Di situ disebutkan, sekitar Rp.500 Triliun anggaran APBN dialokasikan untuk belanja modal. Dalam praktiknya, uang itu malah untuk membeli mobil, membangun gedung dan kantor-kantor pemerintah. Padahal, perawatan mobil dan gedung-gedung itu memerlukan biaya sangat besar.
Dan ini saran dari mantan Menko Perekonomian itu, bahwa ke depan, ini tidak boleh lagi terjadi. “Kita akan hentikan (freeze) pembelian mobil dan pembangunan gedung kantor. Kita cukup leasing mobil-mobil dan sewa gedung-gedung untuk perkantoran pemerintah. Dalam hitungan saya, hanya dibutuhkan anggaran Rp.75 Triliun sampai Rp.100 Triliun. Kita bisa hemat hingga Rp.400 Triliun tiap tahun atau sekitar US$40 Miliar. Dana inilah yang kita gunakan untuk membangun jalan-jalan kereta api lintas Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Kita bisa membangun tanpa utang lagi seperti selama ini!” jelas Rizal Ramli yang juga anggota panel bidang ekonomi di PBB ini.
Saran lain yang sekaligus disoroti oleh Rizal Ramli sebagai tokoh yang dinobatkan sebagai capres paling reformis versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) ini adalah tentang pembangunan di bidang pertanian yang juga makin merosot.
Masih dari aktual.co. Rizal Ramli menunjuk keberpihakan pemerintah terhadap petani saat ini sangat minim sekali. Alokasi anggaran pertanian di APBN 2014 hanya Rp.14,47 Triliun atau 2,1%. Sebagai negara agraris, idealnya alokasi anggaran pertanian di APBN 10%. Padahal, pada 2013 Kementan mendapatkan alokasi anggaran mencapai Rp16,38 Triliun. Sebagai pembanding, pada periode 1981-1984 anggaran Departemen Pertanian mencapai 17% dari total APBN. Di sisi lain, anggaran perjalanan dinas pada 2004 hanya Rp.4 Triliun, naik lima kali lipat lebih menjadi Rp.23 Triliun pada 2013.
Menurut Rizal Ramli, ini adalah bicara soal keberpihakan. Para pejabat kita yang menganggap nasionalisme sebagai hal usang, memang tidak peduli dengan penting dan strategisnya kedaulatan pangan.Buktinya, tegas Rizal, itu tampak pada tidak adanya program dan kebijakan yang berpihak pada petani.
“Sekali lagi, keberpihakan kepada petani, bukan pada pertanian. Penyediaan bibit yang unggul tidak memadai, pembangunan waduk dan irigasi, pupuk dengan harga terjangkau, dan kebijakan harga (pricing policy) yang menguntungkan petani. Tapi di Indonesia kebijakan harga seperti itu dianggap tabu, karena tidak sesuai dengan neolib yang menyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar. Semua itu berakar pada ketiadaan nasionalisme pada level kebijakan,” ungkap Rizal Ramli sebagai ekonom senior yang sesungguhnya sangat cocok memimpin di negeri ini.