(AMS, Opini)
SAAT rezim Orde Baru
(Orba) tumbang, ada harapan indah yang terhampar luas di benak para aktivis
mahasiswa beserta rakyat Indonesia, juga tertancap di hati sebagai tekad kuat
untuk segera diwujudkan di era Reformasi.
Namun sungguh sayang
sejuta sayang, reformasi yang dilahirkan dari perasan keringat, otak dan energi
serta perjuangan keras dari para aktivis mahasiswa sebagai reformis ketika itu,
kini tak lebih hanya bagai bangkai yang dikoyak dan dilahap habis oleh “tikus-tikus”
berhati dekil dan tamak.
Ya, cita-cita reformasi
boleh dikata saat ini di segala bidang gagal total. Otot-otot Reformasi yang
berhasil merobohkan rezim Orde Baru, nyatanya saat ini tak berdaya karena mampu
dilumpuhkan oleh kekuatan baru yang justru lebih kejam dari rezim sebelumnya.
Mengapa kekuatan baru
tersebut begitu dahsyat menyumbat pori-pori pergerakan Reformasi?
Jawabnya, selain mampu
tampil laksana pahlawan yang berwajah malaikat namun berhati iblis, kekuatan
baru ini juga begitu sangat ampuh karena digerakkan oleh perpaduan dua kekuatan
penuh sekaligus.
Yakni, kekuatan
pengusaha yang di dalamnya terdapat kaum feodal dan kapitalis, serta kekuatan
politik yang di dalamnya terdapat kaum oportunis dan revisionis yang berhasil menjadi penguasa.
Dan jika kembali
menarik garis perjalanan pasca jatuhnya rezim Orba, maka akan dapat ditemui
sebuah dugaan yang amat jelas, bahwa “biang” yang membuat cita-cita reformasi
sangat sulit diwujudkan adalah kuatnya “syahwat” bisnis Jusuf Kalla (JK) yang
sangat sulit dibendung oleh reformis karena ditunjang dengan dua kekuatan baru
tersebut.
Mari diamati rentetan
historinya. Bahwa ketika B.J Habibie “dinobatkan” sebagai Presiden menggantikan
Soeharto, sesungguhnya nadi era Reformasi sudah mulai dirasa berdenyut.
Melalui Kabinet Reformasi
Pembangunan yang dijalankannya, Presiden B. J. Habibie telah memperlihatkan
keberpihakannya terhadap era Reformasi. Salah satunya, ia mampu menurunkan
Utang Luar Negeri sebesar 3 Miliar Dolar AS.
Era Reformasi terasa
makin bernafas segar ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi
Presiden menggantikan B.J. Habibie.
Sebab, semua hal-hal
yang dianggap ribet mulai dihilangkan, termasuk warisan kebiasaan di era Orba
yang kerap ekstrem menempuh cara-cara
kaku dan mempersulit yang bisa dipermudah, serta segala hal yang dinilai tak
cocok di alam Reformasi, semuanya mulai dihilangkan.
Sayangnya, Presiden Gus
Dur kebobolan dengan berhasil masuknya sejumlah orang yang diduga
“serigala berbulu domba” ke dalam
Kabinet Persatuan Nasional yang belakangan terpaksa di pecat oleh Gus Dur,
salah satunya adalah JK atas dugaan KKN untuk kepentingan bisnisnya.
Dan dari pemecatan
tersebut, dalam konteks praduga tak bersalah, rakyat seharusnya bisa mencatat
dan membuka mata lebar-lebar, bahwa pasca Orde Baru, sosok yang telah berani
menodai era Reformasi untuk pertama kalinya adalah salah satunya JK.
Selanjutnya, dari
pemecatan itu pula dapat sebetulnya ditandai sebagai awal dimulainya
pertarungan “Era Reformasi versus Kekuatan Baru”. Kekuatan Baru yang dimaksud adalah
sebagaimana yang telah digambarkan pada paragraf-paragraf di atas.
Pertarungan tersebut
nampaknya “dimenangkan” oleh Kekuatan Baru. Sebab, tak lama berselang pemecatan
JK selaku Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Gus Dur pun dilengserkan
secara tidak hormat.
Namun meski begitu,
sepanjang sejarah kepemimpinan di Indonesia, justru saat ini Gus Dur adalah
satu-satunya Presiden yang berhasil menurunkan beban Utang Luar Negeri sebesar
9 Miliar Dolar AS. Dan tentu ini merupakan sebuah ironi di alam Reformasi.
Dan dari proses politik
menuju pelengseran Gus Dur, apakah ada konspirasi yang terselip andil JK atau
tidak. Entahlah? Yang jelas, begitu Gus Dur lengser, JK kembali berhasil nongol
dan mendapat jatah dalam Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati Soekarnoputri.
Mungkin Presiden
Megawati kala itu sedang lupa dengan dugaan kasus KKN yang melilit JK, atau
memang ingin berbaik hati kepada JK. Entahlah? Yang jelas, JK malah naik kelas
menjadi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Di situlah JK kembali
mulai berkibar. Sambil membenahi pilar-pilar perusahaannya (misalnya mendapat
pinjaman dana dari Jamsostek sebesar Rp.200-an Miliar, dll), JK pun aktif
tampil bermanuver melalui pencitraan sebagai sosok perdamain pada sejumlah
peristiwa konflik di tanah air.
Dan setelah merasa
dirinya cukup populer, dengan kesiapan fulus segudang dari hasil “panen” grup
perusahaannya, JK pun kemudian menyatakan siap maju sebagai Cawapres
mendampingi SBY pada Pilpres 2004.
Dan benar saja, ambisi
JK untuk menjadi Wapres pun tercapai melalui Pilpres 2004 tersebut. Namun
sebagai Wapres, JK tampaknya lebih dominan daripada Presiden SBY, sehingga
publik bingung: “Siapa sebetulnya yang berposisi sebagai presiden?”. Dan dari
kebingungan publik itulah JK dijuluki “The Real President”.
Sifat dominan JK yang
kala itu awalnya membuat SBY lebih banyak diam, boleh jadi karena faktor
cost-politics yang telah digelontorkan pada masa kampanye Pilpres 2004 adalah
lebih banyak berasal dari brankas JK. Sebab bukankah sebelumnya memang SBY tak
punya pundi-pundi fulus yang bisa diandalkan dalam pertarungan pilpres
tersebut?
Julukan sebagai The
Real President semakin nampak ketika kebijakan-kebijakan menyangkut pelaksanaan
mega-proyek, bisa leluasa dikuasai dan dimonopoli oleh grup perusahaan JK. Dan
hal ini sangat sulit dibendung oleh Presiden SBY. Parahnya, SBY malah nampak
lebih memilih bernyanyi dan membuat album lagu sebagai cara menghibur diri
sekaligus mencurahkan isi hatinya.
Sayangnya, upaya
menghibur diri melalui bernyanyi tak cukup membuat SBY bisa menahan “nafsu”.
SBY pun kemudian terindikasi terbawa arus dengan irama yang dimainkan oleh JK.
SBY akhirnya dikabarkan juga mengikuti gaya dan cara-cara JK dalam bermain
proyek.
Namun publik tak
menolak untuk membenarkan, bahwa selain sangat patut diduga telah banyak
melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), JK juga sering terkesan
memaksakan keinginanan dan pendapatnya kepada presiden. “Lagi zaman Pak SBY
sebagai presiden, juga sering JK beda pandangan. Makanya di selanjutnya (JK)
tak dipakai lagi (sebagai cawapres),” ujar Ruhut, Senin (22/6).
Padahal, menurut Ruhut,
baik wapres maupun para pembantunya di kabinet harus sadar bahwa yang dipilih
rakyat adalah sang presiden, bukan cawapresnya. Buktinya memang ketika maju
sebagai Capres pada Pilpres 2009, perolehan suara JK hanya berada di posisi
terakhir.
Meski informasi tentang
dugaan KKN tersebut banyak dibongkar secara terang benderang dan tersiar serta
dipublikasikan di berbagai media massa, termasuk media online, namun karena Era
Reformasi benar-benar telah berhasil dijadikan bangkai oleh pemilik Kekuatan
Baru tersebut, maka JK dipastikan masih selalu bisa tidur dengan nyenyak.
Padahal sejumlah sumberyang bertebaran di mana-mana sudah sering meneriakkan begitu kentalnya KKN yang
telah dilakukan oleh seorang JK.
Menurut mereka,
membongkar KKN JK saat sebagai wapres SBY memang sulit, karena JK kelihatannya
memang tidak terlibat langsung. Tapi untuk membuktikan JK terlibat dalam KKN
secara tidak langsung, sangat mudah terdeteksi.
Sebagai Wapres, JK
memang mustahil untuk mengurus dan menangani langsung teknis proyek. Tetapi
secara politis, JK cukup memberi komando atau perintah agar grup bisnisnya
(Bukaka, Bosowa, Kalla) yang “wajib” mendapat proyek.
Dan pihak yang sangat
tahu bentuk KKN JK saat menjadi Wapres 2004-2009, sudah pasti adalah Presiden
SBY, Ibu Ani, para menteri beserta staf-staf pembantu lainnya, yang mungkin
juga mereka ikut terlibat dan dilibatkan dalam menyukseskan KKN JK yang di kala
itu hampir semua sektor menjadi sasaran KKN JK.
Sejumlah pengamat,
aktivis serta pegiat anti-korupsi sebelumnya juga acapkali memperingatkan
Jokowi jelang Pilpres 2014 agar tidak menggandeng JK sebagai Cawapres. Sebab
ketika mendampingi SBY, “syahwat” JK sebagai Wapres nampak hanya lebih banyak
tersalurkan ke kepentingan bisnis grup perusahaannya.
”Masyarakat
anti-korupsi sangat marah dan kecewa pada Jokowi kalau berdampingan dengan
Jusuf Kalla yang diduga kuat KKN di era SBY dan Gus Dur dulu,” ujar Abdulrachim,
salah seorang aktivis 78 dan peneliti independen, seraya menyebutkan secara
detail daftar proyek-proyek raksasa yang dikuasai oleh grup perusahaan keluarga
JK atas “rekomendasi politik” dan perintah JK sebagai Wapres SBY.
Dengan mengamati
rentetan sepak-terjang dan kiprah JK sejauh ini, jika mau jujur, memang
belumlah ada yang bisa ditunjuk sebagai prestasi, pengabdian tanpa pamprih,
apalagi pengorbanan secara mulia dari seorang JK.
Yang lebih cenderung
diperlihatkan JK sejauh ini justru adalah “syahwat” bisnis yang menggebu-gebu
yang dapat membuat cita-cita Era Reformasi menjadi “mandul”.
Jika kemudian hari ini
ada seorang bernama Rizal Ramli sebagai Menko yang berani melawan JK, itu tidak
lain lantaran Rizal Ramli sangat menolak dan muak terhadap “syahwat” bisnis JK
yang sangat tinggi, yang apabila terus dibiarkan maka hanya membuat negara ini
di kuasai oleh kaum neokapitalis dan neokolonialis. Ujung-ujungnya, rakyat
dipastikan akan kehilangan kedaulatan di negara demokratis ini.
Lalu mengapa Jokowi
pada akhirnya memilih JK untuk kembali jadi Wapres? Jawabnya, maybe no maybe
yes: sumber dana kampanye lagi-lagi berasal dari JK.
Ketika mengetahui
jawaban maybe no maybe yes tersebut, hampir seluruh pengunjung di sebuah warkop
berpandangan, betapa mulus dan hebatnya Era Reformasi ini berjalan jika Jokowi
berpasangan dengan orang seperti Rizal Ramli.
“Sayangnya, Rizal Ramli tak punya
berkarung-karung duit, juga tak punya kekuatan politik sebagai kader parpol
seperti JK,” ujar seorang pengunjung yang mengaku yakin, bahwa Indonesia takkan
bisa berubah seperti yang dicita-citakan dalam Era Reformasi bila JK masih
memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan bisnisnya.
Olehnya itu, dengan
menyadari kondisi ekonomi bangsa yang makin sulit akibat mandulnya Era
Reformasi, maka tak sedikit kalangan pun meminta agar JK sebaiknya mengundurkan
diri sebagai Wapres. Sebab terbukti telah diberi kesempatan dua kali menjadi
Wapres tetapi JK lagi-lagi tak mampu menghilangkan kecenderungan KKN-nya.
Parahnya, kini malah terindikasi
JK secara berjamaah bersama saudagar sekoleganya serta para mafia yang berusaha
ingin menyingkirkan Rizal Ramli, sebab dinilai hanya menjadi penghalang utama
kesuksesan dalam membagi-bagi uang negara melalui proyek-proyek yang telah
dijatah.
Waduh, kalau
benar-benar Rizal Ramli akan disingkirkan, maka ini bukan lagi “syahwat”
bisnis, tetapi sudah jadi “syahwat” para begal...?!?!