Monday, 21 September 2015

“Syahwat” Bisnis JK yang Bikin Reformasi Jadi Mandul?


(AMS, Opini)
SAAT rezim Orde Baru (Orba) tumbang, ada harapan indah yang terhampar luas di benak para aktivis mahasiswa beserta rakyat Indonesia, juga tertancap di hati sebagai tekad kuat untuk segera diwujudkan di era Reformasi.

Namun sungguh sayang sejuta sayang, reformasi yang dilahirkan dari perasan keringat, otak dan energi serta perjuangan keras dari para aktivis mahasiswa sebagai reformis ketika itu, kini tak lebih hanya bagai bangkai yang dikoyak dan dilahap habis oleh “tikus-tikus” berhati dekil dan tamak.

Ya, cita-cita reformasi boleh dikata saat ini di segala bidang gagal total. Otot-otot Reformasi yang berhasil merobohkan rezim Orde Baru, nyatanya saat ini tak berdaya karena mampu dilumpuhkan oleh kekuatan baru yang justru lebih kejam dari rezim sebelumnya.

Mengapa kekuatan baru tersebut begitu dahsyat menyumbat pori-pori pergerakan Reformasi?

Jawabnya, selain mampu tampil laksana pahlawan yang berwajah malaikat namun berhati iblis, kekuatan baru ini juga begitu sangat ampuh karena digerakkan oleh perpaduan dua kekuatan penuh sekaligus.

Yakni, kekuatan pengusaha yang di dalamnya terdapat kaum feodal dan kapitalis, serta kekuatan politik yang di dalamnya terdapat kaum oportunis dan revisionis yang berhasil menjadi penguasa.

Dan jika kembali menarik garis perjalanan pasca jatuhnya rezim Orba, maka akan dapat ditemui sebuah dugaan yang amat jelas, bahwa “biang” yang membuat cita-cita reformasi sangat sulit diwujudkan adalah kuatnya “syahwat” bisnis Jusuf Kalla (JK) yang sangat sulit dibendung oleh reformis karena ditunjang dengan dua kekuatan baru tersebut.

Mari diamati rentetan historinya. Bahwa ketika B.J Habibie “dinobatkan” sebagai Presiden menggantikan Soeharto, sesungguhnya nadi era Reformasi sudah mulai dirasa berdenyut.

Melalui Kabinet Reformasi Pembangunan yang dijalankannya, Presiden B. J. Habibie telah memperlihatkan keberpihakannya terhadap era Reformasi. Salah satunya, ia mampu menurunkan Utang Luar Negeri sebesar 3 Miliar Dolar AS.

Era Reformasi terasa makin bernafas segar ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Presiden menggantikan B.J. Habibie.

Sebab, semua hal-hal yang dianggap ribet mulai dihilangkan, termasuk warisan kebiasaan di era Orba yang  kerap ekstrem menempuh cara-cara kaku dan mempersulit yang bisa dipermudah, serta segala hal yang dinilai tak cocok di alam Reformasi, semuanya mulai dihilangkan.

Sayangnya, Presiden Gus Dur kebobolan dengan berhasil masuknya sejumlah orang yang diduga “serigala  berbulu domba” ke dalam Kabinet Persatuan Nasional yang belakangan terpaksa di pecat oleh Gus Dur, salah satunya adalah JK atas dugaan KKN untuk kepentingan bisnisnya.

Dan dari pemecatan tersebut, dalam konteks praduga tak bersalah, rakyat seharusnya bisa mencatat dan membuka mata lebar-lebar, bahwa pasca Orde Baru, sosok yang telah berani menodai era Reformasi untuk pertama kalinya adalah salah satunya JK.

Selanjutnya, dari pemecatan itu pula dapat sebetulnya ditandai sebagai awal dimulainya pertarungan “Era Reformasi versus Kekuatan Baru”. Kekuatan Baru yang dimaksud adalah sebagaimana yang telah digambarkan pada paragraf-paragraf di atas.

Pertarungan tersebut nampaknya “dimenangkan” oleh Kekuatan Baru. Sebab, tak lama berselang pemecatan JK selaku Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Gus Dur pun dilengserkan secara tidak hormat.

Namun meski begitu, sepanjang sejarah kepemimpinan di Indonesia, justru saat ini Gus Dur adalah satu-satunya Presiden yang berhasil menurunkan beban Utang Luar Negeri sebesar 9 Miliar Dolar AS. Dan tentu ini merupakan sebuah ironi di alam Reformasi.

Dan dari proses politik menuju pelengseran Gus Dur, apakah ada konspirasi yang terselip andil JK atau tidak. Entahlah? Yang jelas, begitu Gus Dur lengser, JK kembali berhasil nongol dan mendapat jatah dalam Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati Soekarnoputri.

Mungkin Presiden Megawati kala itu sedang lupa dengan dugaan kasus KKN yang melilit JK, atau memang ingin berbaik hati kepada JK. Entahlah? Yang jelas, JK malah naik kelas menjadi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Di situlah JK kembali mulai berkibar. Sambil membenahi pilar-pilar perusahaannya (misalnya mendapat pinjaman dana dari Jamsostek sebesar Rp.200-an Miliar, dll), JK pun aktif tampil bermanuver melalui pencitraan sebagai sosok perdamain pada sejumlah peristiwa konflik di tanah air.

Dan setelah merasa dirinya cukup populer, dengan kesiapan fulus segudang dari hasil “panen” grup perusahaannya, JK pun kemudian menyatakan siap maju sebagai Cawapres mendampingi SBY pada Pilpres 2004.

Dan benar saja, ambisi JK untuk menjadi Wapres pun tercapai melalui Pilpres 2004 tersebut. Namun sebagai Wapres, JK tampaknya lebih dominan daripada Presiden SBY, sehingga publik bingung: “Siapa sebetulnya yang berposisi sebagai presiden?”. Dan dari kebingungan publik itulah JK dijuluki “The Real President”.

Sifat dominan JK yang kala itu awalnya membuat SBY lebih banyak diam, boleh jadi karena faktor cost-politics yang telah digelontorkan pada masa kampanye Pilpres 2004 adalah lebih banyak berasal dari brankas JK. Sebab bukankah sebelumnya memang SBY tak punya pundi-pundi fulus yang bisa diandalkan dalam pertarungan pilpres tersebut?

Julukan sebagai The Real President semakin nampak ketika kebijakan-kebijakan menyangkut pelaksanaan mega-proyek, bisa leluasa dikuasai dan dimonopoli oleh grup perusahaan JK. Dan hal ini sangat sulit dibendung oleh Presiden SBY. Parahnya, SBY malah nampak lebih memilih bernyanyi dan membuat album lagu sebagai cara menghibur diri sekaligus mencurahkan isi hatinya.

Sayangnya, upaya menghibur diri melalui bernyanyi tak cukup membuat SBY bisa menahan “nafsu”. SBY pun kemudian terindikasi terbawa arus dengan irama yang dimainkan oleh JK. SBY akhirnya dikabarkan juga mengikuti gaya dan cara-cara JK dalam bermain proyek.

Namun publik tak menolak untuk membenarkan, bahwa selain sangat patut diduga telah banyak melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), JK juga sering terkesan memaksakan keinginanan dan pendapatnya kepada presiden. “Lagi zaman Pak SBY sebagai presiden, juga sering JK beda pandangan. Makanya di selanjutnya (JK) tak dipakai lagi (sebagai cawapres),” ujar Ruhut, Senin (22/6).

Padahal, menurut Ruhut, baik wapres maupun para pembantunya di kabinet harus sadar bahwa yang dipilih rakyat adalah sang presiden, bukan cawapresnya. Buktinya memang ketika maju sebagai Capres pada Pilpres 2009, perolehan suara JK hanya berada di posisi terakhir.

Meski informasi tentang dugaan KKN tersebut banyak dibongkar secara terang benderang dan tersiar serta dipublikasikan di berbagai media massa, termasuk media online, namun karena Era Reformasi benar-benar telah berhasil dijadikan bangkai oleh pemilik Kekuatan Baru tersebut, maka JK dipastikan masih selalu bisa tidur dengan nyenyak.

Padahal sejumlah sumberyang bertebaran di mana-mana sudah sering meneriakkan begitu kentalnya KKN yang telah dilakukan oleh seorang JK.

Menurut mereka, membongkar KKN JK saat sebagai wapres SBY memang sulit, karena JK kelihatannya memang tidak terlibat langsung. Tapi untuk membuktikan JK terlibat dalam KKN secara tidak langsung, sangat mudah terdeteksi.

Sebagai Wapres, JK memang mustahil untuk mengurus dan menangani langsung teknis proyek. Tetapi secara politis, JK cukup memberi komando atau perintah agar grup bisnisnya (Bukaka, Bosowa, Kalla) yang “wajib” mendapat proyek.

Dan pihak yang sangat tahu bentuk KKN JK saat menjadi Wapres 2004-2009, sudah pasti adalah Presiden SBY, Ibu Ani, para menteri beserta staf-staf pembantu lainnya, yang mungkin juga mereka ikut terlibat dan dilibatkan dalam menyukseskan KKN JK yang di kala itu hampir semua sektor menjadi sasaran KKN JK.

Sejumlah pengamat, aktivis serta pegiat anti-korupsi sebelumnya juga acapkali memperingatkan Jokowi jelang Pilpres 2014 agar tidak menggandeng JK sebagai Cawapres. Sebab ketika mendampingi SBY, “syahwat” JK sebagai Wapres nampak hanya lebih banyak tersalurkan ke kepentingan bisnis grup perusahaannya.

”Masyarakat anti-korupsi sangat marah dan kecewa pada Jokowi kalau berdampingan dengan Jusuf Kalla yang diduga kuat KKN di era SBY dan Gus Dur dulu,” ujar Abdulrachim, salah seorang aktivis 78 dan peneliti independen, seraya menyebutkan secara detail daftar proyek-proyek raksasa yang dikuasai oleh grup perusahaan keluarga JK atas “rekomendasi politik” dan perintah JK sebagai Wapres SBY.

Dengan mengamati rentetan sepak-terjang dan kiprah JK sejauh ini, jika mau jujur, memang belumlah ada yang bisa ditunjuk sebagai prestasi, pengabdian tanpa pamprih, apalagi pengorbanan secara mulia dari seorang JK.

Yang lebih cenderung diperlihatkan JK sejauh ini justru adalah “syahwat” bisnis yang menggebu-gebu yang dapat membuat cita-cita Era Reformasi menjadi “mandul”.

Jika kemudian hari ini ada seorang bernama Rizal Ramli sebagai Menko yang berani melawan JK, itu tidak lain lantaran Rizal Ramli sangat menolak dan muak terhadap “syahwat” bisnis JK yang sangat tinggi, yang apabila terus dibiarkan maka hanya membuat negara ini di kuasai oleh kaum neokapitalis dan neokolonialis. Ujung-ujungnya, rakyat dipastikan akan kehilangan kedaulatan di negara demokratis ini.

Lalu mengapa Jokowi pada akhirnya memilih JK untuk kembali jadi Wapres? Jawabnya, maybe no maybe yes: sumber dana kampanye lagi-lagi berasal dari JK.

Ketika mengetahui jawaban maybe no maybe yes tersebut, hampir seluruh pengunjung di sebuah warkop berpandangan, betapa mulus dan hebatnya Era Reformasi ini berjalan jika Jokowi berpasangan dengan orang seperti Rizal Ramli.

 “Sayangnya, Rizal Ramli tak punya berkarung-karung duit, juga tak punya kekuatan politik sebagai kader parpol seperti JK,” ujar seorang pengunjung yang mengaku yakin, bahwa Indonesia takkan bisa berubah seperti yang dicita-citakan dalam Era Reformasi bila JK masih memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan bisnisnya.

Olehnya itu, dengan menyadari kondisi ekonomi bangsa yang makin sulit akibat mandulnya Era Reformasi, maka tak sedikit kalangan pun meminta agar JK sebaiknya mengundurkan diri sebagai Wapres. Sebab terbukti telah diberi kesempatan dua kali menjadi Wapres tetapi JK lagi-lagi tak mampu menghilangkan kecenderungan KKN-nya.

Parahnya, kini malah terindikasi JK secara berjamaah bersama saudagar sekoleganya serta para mafia yang berusaha ingin menyingkirkan Rizal Ramli, sebab dinilai hanya menjadi penghalang utama kesuksesan dalam membagi-bagi uang negara melalui proyek-proyek yang telah dijatah.


Waduh, kalau benar-benar Rizal Ramli akan disingkirkan, maka ini bukan lagi “syahwat” bisnis, tetapi sudah jadi “syahwat” para begal...?!?!