Friday, 8 April 2016

Dulu JK Bisa Leluasa Karena Berhasil Menundukkan SBY Agar Tidak Menerima Rizal Ramli Menjadi Menteri? Tapi Sekarang: No Way!


(AMS, Artikel)
SEJAUH ini, betapa sangat banyak sudah kita menghabiskan waktu dan energi untuk sama-sama berusaha “mengatasi” seluruh masalah bangsa dan negara tercinta ini. Namun dari masa ke masa, masalah-masalah tersebut hanyalah “muncul-tenggelam”, bahkan ada yang menghilang dengan menyisakan tanda tanya dan misteri yang tak kunjung terjawab hingga kini. Sehingga dari situ memaksa lahirnya sebuah istilah: “Melawan Lupa”.

Namun mungkin ada baiknya kita tak perlu menghabiskan waktu dan mengerahkan energi terlalu banyak lagi, terhadap rentetan masalah bangsa dan negara yang bertubi-tubi muncul dan berserakan di mana-mana saat ini. Sebab, masalah-masalah yang ada saat ini sebagian besar hanyalah merupakan “masalah cabang” yang berasal dari sebuah “sumber masalah”.

Artinya, terasa percuma mengatasi “masalah cabang” jika “sumber masalah” tak bisa diatasi. Sebab, masalah-masalah yang ada saat ini adalah merupakan akibat dari “masalah inti” yang belum jua bisa diatasi hingga saat ini. Apakah itu?

Yakni, dari masa ke masa kita sepertinya selalu saja melakukan pembiaran dan memberikan kesempatan kepada pengusaha serakah seperti Jusuf Kalla (JK) untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Di mana sebetulnya tanpa sadar, bahwa di situlah sesungguhnya titik “sentral” munculnya masalah-masalah lainnya. Jadi, jika masalah “sentral” itu bisa kita “atasi”, maka sangat yakin, masalah-masalah bangsa dan negara lainnya akan sangat mudah diselesaikan.

Misalnya, masalah mafia-mafia, seperti mafia migas, termasuk di dalamnya mafia proyek, mafia kegiatan ekspor-impor, mafia pajak, mafia pencurian di sektor perikanan-kelautan, dan lain sebagainya, itu bisa leluasa menjalankan aksinya karena sangat boleh jadi lantaran memiliki beking, yang paling tidak sekelas JK. Masih ingat kasus kondensat TPPI? Kasus Pelindo II (RJ. Lino)? Kasus konflik Freeport “papa minta saham”? Soal Lapindo? Atau ada apa JK membela Sudirman Said dan investor asing soal pengelolaan Blok Masela dengan berupaya menyalahkan dan menyudutkan pandangan Rizal Ramli yang menghendaki di darat?

Di mata sejumlah orang, JK sebetulnya sangat berpotensi menjadi sosok pemimpin yang baik. Dan itu mungkin benar. Tetapi sayangnya, sifat dan naluri serta nafsunya sebagai pengusaha (pedagang) cenderung kelihatan sangat serakah hingga membuat dirinya kini menjadi seorang yang sangat licik dan licin. Dan rasanya inilah kelak yang membuat dirinya TAK PANTAS dicatat dalam sejarah sebagai negarawan yang arif, adil, dan tulus dalam mengabdikan diri untuk negeri ini.

Mari menengok kilas perjalanan seorang JK yang mampu “meretas” menjadi seorang politikus, pejabat negara (menteri), lalu berhasil menjelma menjadi sosok pemimpin, itu sangat kelihatan karena hanya ditopang oleh kekayaannya sebagai seorang pengusaha. Bukan karena idealismenya, atau nasionalisme, dan bahkan bukan karena sebuah pergerakan perjuangan yang lahir dari “pori-pori” penderitaan rakyat, tetapi ia “lahir” sebagai pemimpin dari hasil “rekasaya politik” yang ditunjang oleh jaringan “otot-otot” bisnisnya. Sehingga ketika JK berhasil menjadi pemimpin di negeri ini, maka tentunya ia akan lebih cenderung untuk dapat lebih memompa dan memperkuat otot-otot bisnisnya.

Jika demikian, maka JK mampu maju ke arena pertarungan politik itu sesungguhnya hanya bagai “sedang bermain judi”, yakni dengan berani mencurahkan dan mempertaruhkan segala yang dimilikinya (fasilitas dan kekayaannya) sebagai seorang PENGUSAHA demi meraih kedudukan tinggi di pemerintahan sebagai seorang PENGUASA.

Ia berani mempertaruhkan itu, bukan karena benar-benar ingin sepenuhnya mengabdikan dirinya secara tulus untuk bangsa dan negara ini, melainkan karena ia lebih cenderung ingin mewujudkan “mimpi-mimpi indahnya”: Yaitu, agar perusahaan-perusahaan bisnisnya bisa dengan MUDAH dan MULUS mendapatkan serta memonopoli (menguasai) proyek-proyek dan bisnis-bisnis raksasa di negeri ini.

Dan upaya untuk mewujudkan mimpi-mimpi indahnya sekaligus keserakahannya itupun berhasil ia geliatkan. Yakni, ketika dirinya berhasil masuk dalam Kabinet Persatuan Presiden KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan, JK diketahui melakukan kegiatan keji dan hina sebagai pejabat negara (menteri), yaitu KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

Mengetahui pemerintahannya sedang digerogoti oleh JK, Presiden Gus Dur ketika itupun langsung memecatnya secara tidak hormat. Boleh jadi ketika itu Gus Dur memandang pejabat (menteri) seperti Jusuf Kalla hanya bagai sampah yang hanya mengotori pemerintahannya sekaligus dapat membuat era Reformasi menjadi busuk.

Menurut sumber, JK banyak memasukkan adik dan keluarganya ke Bulog. Selain itu, ia diduga telah melakukan intervensi dengan memenangkan tender PLTN untuk adiknya. Juga JK diduga telah melakukan monopoli usaha di Bekasi, dan di sejumlah daerah lainnya.

Dugaan kelakuan busuk (KKN) JK tersebut terungkap dalam Rapat Konsultasi Tertutup antara Pemerintah dan DPR di Gedung DPR, Jakarta (27 April 2000). Presiden Gus Dur mengungkapkan, bahwa JK sebagai Menteri Perdagangan harus dipecat karena terlibat dalam sejumlah kasus Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).  Informasi mengenai hal tersebut saat itu kemudian dibenarkan Ketua Fraksi Partai Golkar, Eki Syachrudin, kepada Pers usai rapat konsultasi di hari itu.

Sayangnya, Gus Dur mengungkapkan kasus KKN yang dilakukan JK tersebut hanya disampaikan di hadapan sekitar 40 pimpinan dan sejumlah anggota Dewan yang mengikuti Rapat Konsultasi tertutup tersebut. Karena sudah dinilai cukup bukti, Gus Dur sebagai presiden ketika itu pun merasa cukup mengambil tindakan tegas dengan langsung memecat JK tanpa harus mengajukan masalahnya ke proses hukum yang justru akan lebih bertele-tele dan hanya menghabiskan waktu serta materi yang tidak sedikit.

Nampaknya pemecatan tersebut merupakan tamparan keras dan hantaman yang amat memalukan dalam hidup JK. Sehingga sepertinya JK menaruh dendam terhadap Gus Dur dan para loyalisnya.

Dari pasca pemecatan tersebut, ada intuisi kemudian yang mengganggu di pikiran saya: “Jangan-jangan karena dendam, JK lalu berperan besar dalam melengserkan Gus Dur dari kursi presiden? Apa iya?? Entahlah?! Yang jelas, begitu Megawati Soekarnoputri naik mengganti kedudukan Gus Dur sebagai presiden, nama JK malah kembali nongol di jajaran kabinet Gotong Royong, dan tak tanggung-tanggung posisi JK malah di atas lebih tinggi dari sebelumnya, yakni sebagai Menko Kesra. Sementara, para loyalis Gus Dur tak satupun yang diberi kedudukan di dalam kabinet, seperti Rizal Ramli dan Mahfud MD.

Namun sebagai mantan Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli tentu sangat tahu persis karakter, niat-niat dan kelakuan “busuk” JK. Sehingga sebagai salah satu tokoh pergerakan perubahan (aktivis) sejak dulu, pun sebagai loyalis Gus Dur, Rizal Ramli pun tak ingin tinggal diam.

Yakni, Rizal Ramli sudah pasti bertekad dan menyatakan perang melawan KKN yang dilakukan oleh pejabat negara seperti JK yang lebih cenderung mendahulukan urusan pribadi serta bisnis daripada bangsa dan negara. Sehingga itu, Rizal Ramli bertekad untuk tidak membiarkan negara ini secara leluasa dikuasai oleh orang seperti JK yang kelihatannya sering berusaha tampil bagai malaikat tetapi sesungguhnya berhati iblis.

Dan sepertinya, JK pun sudah mengetahui bahwa Rizal Ramli ibarat “titisan” Gus Dur yang selalu menjadi penghambat dalam mengejar impiannya untuk menjadi pengusaha super-sukses dengan menggunakan kekuasaan sebagai sang penguasa. Sehingga itu, nampaknya JK pun bertekad untuk tidak membiarkan mimpi-mimpi indahnya dikacaukan oleh Rizal Ramli.

Dan untuk sementara, JK nampaknya berhasil melaksanakan tekadnya tersebut. Yakni, pada Kamis tengah malam, pukul 23.40 WIB (21 Oktober 2004), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengumumkan susunan kabinetnya, dan ternyata nama Rizal Ramli tidak termasuk di dalamnya. Padahal sebelumnya, Rizal Ramli sudah mendapat kepastian dari istana Presiden sebagai salah satu menteri yang akan mengisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB).

Boleh jadi karena adanya tarik-menarik dan “kebimbangan” Presiden SBY kala itu yang membuat pengumuman susunan kabinet tersebut menjadi tertunda 3 jam 40 menit, dari rencana sedianya akan diumumkan pada pukul 20.00 WIB.

Dan tentu saja sangat bisa ditebak, bahwa 3 jam 40 menit itu telah digunakan oleh JK sebagai Wapres untuk “membujuk” Presiden SBY agar segera mencoret nama Rizal Ramli sebagai Menko Perekonomian sebelum diumumkan.

Dan itu berarti, bahwa baru pertama kali dalam sejarah hak prerogatif seorang Presiden berhasil dikebiri dan hilang total hanya dalam waktu 3 jam 40 menit. Ironisnya dan sungguh memilukan, itu terjadi di era Reformasi. Dan dalam spasi waktu itu pula (3 jam 40 menit) sekaligus menandakan bahwa JK benar-benar “merdeka” selama 5 tahun ke depan untuk memompa otot-otot seluruh bisnis perusahaannya, yakni dengan leluasa memonopoli dan “menyedot” keuntungan dari proyek-proyek raksasa tanpa harus diganggu dan dihambat oleh orang seperti Rizal Ramli.

Mau tahu, sejumlah bisnis (proyek) yang leluasa disedot oleh perusahaan JK ketika menjabat wapres mendampingi Presiden SBY? Woww... sangat banyak, 7 generasi keturunan JK belum tentu habis menikmati hasil dari keberhasilannya memanfaatkan waktu 3 jam 40 menit “mengebiri” hak Prerogatif Presiden SBY tersebut. Di bawah ini adalah hanya sebagian kecil di antaranya:

Yakni, diketahui grup Bosowa milik Aksa Mahmud (adik ipar JK), pada tahun 1997/1998 adalah termasuk 20 debitur terbesar Bank Mandiri yang macet. JK yang menjabat sebagai komisaris utama PT. Semen Bosowa dan Aksa Mahmud sebagai dirut waktu itu dianggap harus bertanggungjawab terhadap kredit macet perusahaan tersebut di Bank Mandiri sebesar Rp1,4 Triliun.

Alhasil, masalah dan kesulitan JK atas kondisi perusahaannya pada tahun 1997/1998 tersebut tiba-tiba “membaik” ketika karena JK berhasil menjadi pejabat negara. Hal tersebut terlihat dari hasil laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bahwa Bank Mandiri pernah menghapusbukukan sebagian utang milik perusahaan milik Kalla tersebut.

Kemudian, Kalla Grup, Bukaka Grup dan Bosowa Grup, Intim Grup yang semuanya merupakan bisnis keluarga JK, “kebanjiran” proyek besar ketika JK menjabat sebagai Wapres 2004-2009. Antara lain, pembangunan PLTA di Sulawesi Selatan, Bukaka mendapat order pembangunan PLTA di Ussu di Kabupaten Luwu Timur berkapasitas 620 MW, PLTA senilai Rp 1,44 triliun di Pinrang. Bukaka juga membangun PLTA dengan tiga turbin di Sungai Poso, Sulawesi Tengah, berkapasitas total 780 MW.

Selanjut, Bukaka juga terlibat dalam pembangunan pipa gas alam oleh PT Bukaka Barelang Energy senilai 750 juta dolar AS  atau setara dengan Rp 7,5 triliun yang akan terentang dari Pagar Dea, Sumatera Selatan ke Batam; pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) senilai 92 juta dolar AS atau Rp 920 miliar di Pulau Sembilang dekat Batam; pembangunan pembangkit listrik tenaga gas di Sarulla, Tarutung, Sumatera Utara yang akan menghasilkan 300 MW. Ada juga rencana pembangunan 19 PLTA berkekuatan 10.000 MW. Dan ini dinilai berbahaya secara ekonomi karena JK mendorong BPD-BPD se-Indonesia yang membiayainya dengan mengandalkan dana murah di bank-bank milik pemda tersebut.

Tidak puas dengan mencoret nama Rizal Ramli sebagai calon Menko Perekonomian, JK mungkin kecolongan namun mengetahui bahwa Rizal Ramli sedang “berkibar” pada jabatannya sebagai Presiden Komisaris di PT. Semen Gresik (sekarang PT. Semen Indonesia), serta-merta diberhentikan oleh Menteri BUMN yang ketika itu dijabat oleh loyalis JK, yakni Sofyan Djalil. Sehingga, kembali JK pun merasa “merdeka penuh” dari para penghambat “bisnisnya” seperti Rizal Ramli, dan JK lagi-lagi bisa leluasa “mengendalikan” dan “membagi-bagikan” proyek-proyek menengah hingga raksasa kepada perusahaan keluarga dan koleganya.

Dan sebetulnya banyak proyek-proyek besar yang telah “dilahap” oleh grup bisnis perusahaan keluarga JK. Dan contoh di atas hanyalah sebagian kecil, dan artikel ini bisa jadi buku tebal jika mau memuat dan membahas secara detail daftar proyek-proyek yang telah dilahap oleh perusahaan keluarga dan kolega JK selama menjabat wapres di era Presiden SBY. Makanya sesudahnya, JK yang terlanjur keenakan itu makin kelihatan “nafsu” dan keserakahannya untuk dapat lebih menguasai negara ini, yakni dengan berusaha maju menjadi calon presiden pada pilpres 2009. Untung saja ketika itu Tuhan tidak merestuinya menjadi presiden.

Setelah 5 tahun “menjanda”, JK dengan mengerahkan segala upayanya akhirnya mampu “membujuk dan menggoda” Jokowi, hingga kemudian JK pun berhasil dipinang dan menang sebagai wapres mendampingi Presiden Jokowi pada Pilpres 2014.

Ketika itu dari pengamatan saya, saya melihat Jokowi bukannya tak mengetahui “kelakuan dan kebiasaan buruk” JK. Bahkan saya yakin, Jokowi tentu sangat tahu persis “motivasi” JK untuk kembali ngotot menjadi wapres. Boleh jadi,  karena ini adalah pertarungan di dunia politik maka (sekali lagi boleh jadi) Jokowi hanya “memanfaatkan” ambisi JK yang sangat kuat untuk kembali menjadi wapres. Tahukan konsekuensi seperti apa yang harus dipenuhi oleh orang ambisius dari pengusaha tulen yang ingin menjadi seorang penguasa???

Jika hal itu benar, maka Jokowi tak salah, bahkan sudah tepat meminang JK untuk kembali menjadi wapres. Tetapi, sekali lagi, JK sepertinya tak sadar bahwa dirinya cuma dimanfaatkan, salah satunya yang paling utama adalah dalam hal cost-politic untuk kesuksesan meraih kemenangan pada Pilpres 2014 tersebut.

Dan hal tersebut sekaligus merupakan penjelasan bahwa PDIP sesungguhnya bukanlah partai ABG yang baru kemarin belajar soal politik. Mereka (PDIP) tahu persis bagaimana memanfaatkan “situasi” yang sulit (karena tak punya cost-politic yang cukup) tetapi ingin tampil sebagai parpol pemenang untuk mengabdikan diri kepada bangsa dan negara ini. Dan jangan lupa, seburuk-buruknya PDIP yang mungkin punya catatan kelam di masa lalu, namun satu-satunya paprol yang di dalamnya mengalir kadar ideologi perjuangan kerakyatan yang tinggi adalah PDIP.

Maaf, saya saat ini bukan kader PDIP. Saya cuma Ketua Tingkat Provinsi Partai Kedaulatan di salah satu provinsi. Partai Kedaulatan adalah partai yang tidak terkenal, tetapi saya telah dua kali Pemilu meloloskan partai kecil ini dalam verifikasi parpol di daerah saya.

Ya, partai saya hanyalah partai kecil yang tak perlu diperhitungkan, namun saya samasekali tak ingin rakyat kecil juga ikut tidak diperhitungkan. Olehnya itu saya berusaha untuk objektif melihat secara riil kondisi saat ini, dan tidak ingin membiarkan orang tua bernama Jusuf Kalla leluasa menggiring bangsa dan negara ini ke jurang kehancuran yang paling dalam demi mendapat kepuasaan keluarga dan kelompoknya saja. Tidak!!!

Rakyat saat ini sesungguhnya telah banyak yang sadar namun tak punya kekuatan karena DPR sebagai wakil rakyat kelihatannya lebih memilih bungkam. Atau apakah sebagian besar anggota DPR sudah sulit bersuara dan bergerak karena terlalu kekenyangan disuap oleh orang seperti JK? Sungguh sebuah pilihan yang sangat hina jika itu yang terjadi!?!

Seharusnya DPR tak perlu membuang-buang waktu, energi, serta anggaran yang terlalu banyak untuk mencari dan mengatasi persoalan-persoalan di negeri ini. Cukup tengoklah dengan kelopak mata hati, maka akan terlihat bahwa JK sesungguhnya adalah “sumber masalah” dan “sumber kegaduhan” di negeri ini. Atasilah itu, maka persoalan-persoalan lain akan dapat dengan mudah teratasi!

Apalagi juga rakyat sudah banyak yang sangat tahu dan paham. Bahwa kehadiran JK sebagai seorang pengusaha yang mampu “menjelma” sebagai salah seorang penguasa (pemimpin) di negeri ini, selama ini jika ditarik dari awal kemunculannya, sesungguhnya sangat-sangatlah jelas lebih cenderung dan lebih banyak menyakiti hati rakyat kecil, dan pada saat bersamaan lebih banyak menyenangkan serta memuaskan hidup kelompoknya saja, yakni perusahaan-perusahaan keluarga serta koleganya. Lalu mengapa DPR masih saja bungkam?

Saat ini rakyat juga sudah mulai banyak yang sadar, bahwa prinsip maupun model kepemimpinan orang yang memiliki kecenderungan seperti JK ini sesungguhnya sangatlah tidak cocok di negeri ini. Sebab, ia akan menghalalkan segala cara, termasuk tidak segan-segan menabrak konstitusi jika ambisi serta kepentingannya belum tercapai.

Lihat saja, “kegemaran buruk” JK ketika menjadi pendamping Presiden SBY, saat ini kembali ingin dilakukannya pada diri Presiden Jokowi. Misalnya, Menteri ESDM Sudirman Said yang kelihatannya begitu sangat jelas “menjadi budak” dan tunduk kepada JK, bukan kepada presiden maupun kepada rakyat: yaitu mulai dari masalah subsidi (kenaikan) harga BBM, kaitan Kontrak Kerja Freeport (termasuk “drama papa minta saham”), mengenai aroma proyek listrik 35 ribu MW; seputar pertentangan metode pengelolaan Kilang Gas Blok Masela, dan lain sebagainya.

Untung saja, Presiden Jokowi masih lebih “cerdik” dengan bergegas memasukkan Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman dan Sumber Daya yang membawahi Kementerian ESDM. Jika tidak, maka bisa dipastikan JK bersama konco-konconya hari ini sudah berpesta-pora menikmati keberhasilannya atas sejumlah kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan bangsa dan negara ini, seperti soal Freeport, Blok Masela, dan sebagainya.

Artinya, kalau dulu JK bisa leluasa menjalankan “agenda-agenda bisnisnya” dengan mulus tanpa hambatan karena di saat itu berhasil “menundukkan” Presiden SBY agar tidak menerima Rizal Ramli menjadi menteri, namun untuk sekarang ini “No Way! And not anymore!!”. Sebab, Rizal Ramli tentu tidak akan pernah sedikitpun memberikan kesempatan kepada JK untuk dapat “menundukkan” Presiden Jokowi yang bertekad ingin mewujudkan Trisakti yang dijabarkan dalam Nawacita.

Olehnya itu, terima kasih kepada Bapak Presiden Jokowi, yang meski bertubuh kurus (sama dengan badan saya) tetapi sikap dan keputusan-keputusan Bapak Presiden Jokowi terhadap persoalan tersebut dapat membuat “gemuk” ekonomi bangsa dan negara ini.

Namun rakyat saat ini tentu sangat berharap kepada Bapak Presiden Jokowi agar dalam waktu dekat ini jika ada reshuffle kabinet, maka disarankan untuk mengisinya dengan menteri-menteri yang sekelas dengan sosok Rizal Ramli.

Dan hal yang tak kalah pentingnya, rakyat tentu juga sangat berharap agar Bapak Presiden Jokowi jangan pernah sekalipun mau “tunduk” kepada Wapres JK apabila “membujuk dengan sesuatu apapun” untuk meloloskan sebuah rencana yang dapat dianggap hanya menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan kepentingan bangsa dan negara.

Dan kepada Bapak Jusuf Kalla (JK), sangatlah baik dan amat bijaksana apabila Bapak saat ini segera bergegas mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebab, semakin Bapak bertahan di jabatan itu, maka akan makin membuat kehormatan dan nama baik keluarga Bapak menjadi hilang, bahkan hancur berkeping-keping.

Pun sebaiknya Bapak tak perlu menghabiskan energi untuk memaksakan diri melawan situasi buruk yang sebetulnya Bapak ciptakan sendiri. Apalagi pada era teknologi informasi yang begitu pesat kemajuannya seperti saat ini, membuat "arus keterbukaan" mustahil untuk mampu Bapak bendung.

Misalnya, di saat Bapak kerap mengajak dengan tegas kepada rakyat Indonesia agar dapat taat pajak, namun belakangan justru 4 (empat) keluarga Bapak dikabarkan tidak taat pajak, menyusul terbongkarnya dokumen Panama Papers, masing-masing adalah Solihin Kalla (anak JK), Ahmad Kalla (adik JK), Aksa Mahmud (adik ipar JK) dan Erwin Aksa (keponakan JK). Sehingganya, keempat keluarga Bapak itu pun terhindar dari pajak yang seharusnya masuk ke kantong negara untuk pembiayaan pembangunan.

Tentu saja hal itu merupakan salah satu “kelalaian besar” bagi seorang pejabat tinggi negara seperti Bapak karena tak mampu mengarahkan KELUARGA SENDIRI untuk tidak menghindari kewajibannya sebagai wajib pajak. Dan sungguh, hal tersebut selain sebagai pelanggaran moral, juga adalah merupakan kegiatan ilegal dan melanggar aturan, yang sudah pasti telah menjatuhkan kehormatan Bapak. Dan coba contohilah Perdana Menteri Islandia S. Gunnlaugsson yang secara hormat mengundurkan diri dari jabatannya karena namanya terungkap dalam Panama Papers.

Olehnya itu sekali lagi, amat baik dan sangat bijaksana jika Bapak segera mengundurkan diri di saat kehormatan dan rasa malu masih tersisa (meski sedikit) pada diri Bapak saat ini. Kecuali jika Bapak benar-benar-benar tak punya lagi rasa malu dan sadar telah kehilangan kehormatan, maka silakan Bapak tetap bertahan di jabatan yang kini tak lagi sebagai anugerah itu melainkan telah berubah menjadi malapetaka akibat ambisi dan keserakahan Bapak sendiri!

Salam Damai, dan Salam Perubahan pro-rakyat!