(AMS, reportase)
SEJAUH mata memandang, sedalam hati menggali, dan setinggi pikiran menilai, -jujur-, sampai saat ini belum ada sosok capres ideal yang berani memperlihatkan keseriusan melawan korupsi selain DR. Rizal Ramli.
Karena sebagai seorang ekonom senior, Rizal Ramli menyadari betul dampak buruk akibat ulah koruptor yang jelas-jelas dapat menghancurkan ekonomi bangsa di negeri ini. Dan mengingat karena korupsi sudah nampak sekali amat “leluasa digiatkan” oleh para pejabat dan elit di negara ini, maka Rizal Ramli pun dengan tegas menyodorkan 8 (tuntutan) solusi buat KPK untuk segera sama-sama membersihkan Indonesia dari kotoran korupsi yang masif dan sistematis, seperti yang terjadi saat ini.
Solusi itu di antaranya adalah segera melakukan kontrol yang ketat terhadap anggaran. Dan KPK hendaknya lebih berkonsentrasi untuk menuntaskan kasus korupsi besar dan meningkatkan standar etika bagi para pejabat publik.
Menurut Mantan Menko Perekonomian itu, korupsi yang terjadi di Indonesia sudah merupakan kejahatan luar biasa. Jadi, penanganannya pun harus dengan cara-cara luar biasa pula. “Untuk itu, saya minta Pak Busyro dan teman-teman lain di KPK lebih berkosentrasi menuntaskan kasus-kasus besar saja. Jangan terlalu sibuk dengan kasus-kasus ‘recehan’ yang hanya melibatkan para bupati atau walikota,” lontar Rizal Ramli, dalam Focus Group Discussion (FGD), di Gedung KPK, Kamis (12/9/2013).
Kehadiran Rizal Ramli dalam FGD tersebut memang sengaja diundang oleh KPK untuk duduk bersama membahas dan merumuskan solusi dalam memberantas korupsi politik yang melanda negeri ini.
Dijelaskannya, korupsi yang melibatkan para walikota dan bupati memang juga suatu kejahatan yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat di daerah. Tetapi, menurut aktivis mahasiswa 77-78 itu, dibandingkan korupsi yang dilakukan para pejabat publik di level pusat yang jumlah kerugian negaranya jauh lebih besar, membuat korupsi para pejabat di daerah tersebut menjadi kurang relevan ditangani KPK.
Apalagi, katanya, sebagai lembaga superbody, KPK memiliki banyak keterbatasan, terutama jumlah penyidiknya sedikit. “Sehingga sebaiknya KPK lebih berkonsentrasi menuntaskan kasus-kasus yang melibatkan ‘big fish’. Penyimpangan obligasi rekapitalisasi perbankan, skandal Bank Century, kasus Hambalang, dan skandal IT pada Pemilu 2009 adalah beberapa kasus besar yang sangat menciderai keadilan publik. Sampai kini kasus-kasus itu sepertinya jalan di tempat tanpa diketahui bagaimana penuntasannya,” ungkit Rizal Ramli.
Mengenai kontrol yang ketat terhadap anggaran, Rizal mengungkapkan, korupsi di era SBY ini jauh lebih vulgar dibandingkan di zaman Pak Harto. Pada masa Soeharto berkuasa, katanya, korupsi terjadi sekitar 30 persen dari anggaran pembangunan di APBN dan terjadi saat eksekusi di lapangan. “Tetapi di era SBY, korupsi sudah terjadi sejak pembahasan APBN di Badan Anggaran DPR. Ditambah korupsi di lapangan, diperkirakan besarnya mencapai 45 persen dari total anggaran,” ujar Rizal Ramli, satu-satunya tokoh nasional yang sangat getol sejak dulu mengkritik penguasa yang dinilainya dzolim dan merugikan rakyat kecil.
Solusi lain yang dilontarkan Capres paling ideal versi LPI ini adalah peningkatan standar etika para pejabat publik. Menurutnya, di negara-negara maju yang standar etikanya sudah tinggi, seorang pejabat yang baru terindikasi melakukan korupsi langsung dihadapkan pada dua pilihan, yakni: mengundurkan diri atau dipecat.
Mantan Menteri Keuangan ini juga mengaku amat prihatin kepada Presiden SBY yang menyatakan baru akan menjatuhkan sanksi kepada menterinya jika sudah berstatus tersangka. “Ini menunjukkan standar etika para pejabat publik kita sangat rendah. Harusnya begitu terindikasi korupsi, Presiden bisa memecat atau meminta menterinya mengundurkan diri. Selain untuk memperlancar proses hukum, pemecatan menteri yang terindikasi korupsi juga sekaligus agar tidak menjadi beban bagi kinerja kabinet secara keseluruhan,” imbuhnya.
Hal menarik yang ikut disarankan sebagai solusi oleh sosok yang juga pernah mengenyam dunia jurnalistik sebagai seorang redaktur di salah satu majalah akademik ini adalah, bahwa jika Indonesia mau keluar dari keterpurukan akibat korupsi yang masif dan sistematis, maka hendaknya tingkatkan standar etika Pers. Misalnya, apabila ada pejabat yang sudah terindikasi atau bahkan tersangka korupsi, maka jangan lagi diberitakan kecuali jika itu mengenai dugaan kasus (korupsi) yang tengah dialaminya.
Sedangkan empat solusi lainnya yang disodorkan oleh Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP) ini, yaitu: Stop Politik Uang, Ganti Sistem Pemilu yang Korup, Reformasi Pembiayaan Parpol oleh Negara, dan Perberat Hukuman Terhadap Koruptor.
Jika didalami, katanya, embrio koruptor itu diawali dari praktek politik uang yang dapat secara leluasa dilakukan oleh para elit parpol ketika mengikuti Pemilu maupun Pemilukada. Dan dari sinilah pintu masuk pertama para koruptor untuk selanjutnya dapat dengan leluasa pula melahap uang negara secara berjamaah. Sehingga itu ada baiknya jika saat ini segera mengganti sistem Pemilu yang diikuti dengan Reformasi Pembiayaan Parpol oleh negara.
Mengenai pembiayaan Parpol oleh negara, Rizal Ramli mengaku sudah menghitung anggarannya hanya sekitar Rp5 Triliun per tahun. Ini jauh lebih rendah dibandingkan korupsi berjamaah yang dilakukan Parpol dan para politisinya yang saat ini sekitar Rp60 Triliun pertahun.
“Dengan dibiayai oleh negara, Parpol tidak lagi sibuk mencari dana secara tidak sah dan melanggar hukum. Selanjutnya Parpol bisa berkonsetrasi untuk mencari kader-kader yang berkualitas dan berintegritas,” tutup Rizal Ramli, sosok intelektual yang kini masih “tersembunyi” sebagai capres tetapi namanya mulai berada di hati dan pikiran masyarakat karena keberanian dan kualitasnya dalam memperjuangkan kepentingan orang banyak.