(AMS, opini)
SISTEM yang tertuang di seluruh undang-undang yang telah dilahirkan di republik ini, tak hanya belum bisa ditegakkan sepenuhnya, tetapi juga masih banyak hal yang belum diakomodinir guna memenuhi rasa keadilan dalam berbangsa dan bernegara.
Bahkan ada sejumlah undang-undang yang justru hanya menimbulkan dampak buruk, karena dinilai tidak memenuhi kehendak dan kepentingan orang banyak di alam demokrasi saat ini.
Parahnya, undang-undang bahkan tak jarang pula “sengaja” diformat lalu dimunculkan hanya sebagai alat untuk “memuluskan” kepentingan kelompok tertentu saja. Sebab, para pembuat undang-undang (legislator) nampaknya sudah menjadikan tugasnya itu sebagai salah satu “mata-pencaharian” empuk di luar gaji yang negara bayarkan kepadanya. Begitupun dengan undang-undang yang menjadi usulan dari pihak eksekutif.
Di sisi lain, di dunia politik, tidak sedikit pula undang-undang yang terkesan hanya dibuat “alakadarnya”. Mereka (para pembuat undang-undang) seakan memang sengaja enggan memunculkan sebuah aturan sempurna dan utuh, agar masih ada celah yang bisa ditempuh guna melakukan “kejahatan-kejahatan” politik yang dinilai tidak menabrak aturan dan perundang-undangan.
Setidaknya, hal tersebut amat dikeluhkan oleh Calon Wakil Gubernur Jawa Timur Herman Suryadi Sumawiredja. Ia mengungkapkan adanya bentuk pelanggaran (kejahatan) yang belakangan ini telah berkembang dalam proses politik di Indonesia, tetapi sangat disayangkan karena kejahatan tersebut “belum” diatur dalam aturan yang ada.
“Telah berkembang sebuah kejahatan politik baru yang belum dirumuskan dalam Undang-undang. Dan ini sangat perlu untuk dirumuskan segera,” ungkap Herman di Kawasan Tebet, Jakarta, Senin (23/9/2013).
Herman menuturkan, kejahatan politik baru tersebut adalah dengan melakukan penggelembungan dana APBD yang amat besar, yakni khususnya dana untuk belanja operasional menjelang tahun dilaksanakannya pilkada. Misalnya, berbentuk dana belanja hibah dan bantuan sosial, juga belanja bantuan pemerintah desa.
Herman pun menguraikan APBD Jawa Timur (Jatim), dana hibah dan bantuan sosial pada tahun 2007 mencapai Rp 800 Miliar; lalu tahun 2008 meningkat Rp.1,8 Triliun; namun 2009 mengalami penurunan yakni hanya Rp 650 Miliar; selanjutnya 2010 mencapai Rp 730 Miliar.
Kemudian tahun 2011, ungkap Herman, dana hibah dan bantuan sosial ini menjadi Rp.1,2 Triliun, lalu ini kemudian meningkat lagi di tahun 2012 menjadi Rp 4 Triliun lebih.
Peningkatan yang lebih gila lagi, kata Herman, dana hibah dan bantuan sosial ini terjadi pada tahun 2013 yang mencapai Rp 5 Triliun lebih, karena pada tahun ini memang bertepatan dengan waktu pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim, 29 Agustus 2013 yang lalu.
Herman pun menyayangkan, jika penggunaan uang APBD itu adalah untuk meraih dukungan rakyat dalam pemilukada, sebab kenaikan angka dana itu sangat jelas terlihat hanya menguntungkan kubu petahana. Sehingga sosok mantan Kapolda Jatim ini tentu saja merasa perlu untuk menuntut keadilan.
“Kejahatan politik baru ini tidak bisa diadukan ke Bawaslu, polisi, kejaksaan dan juga KPK. Hanya Bisa diajukan dan bisa diputus oleh MK,” lontar Herman pada jumpa pers di Rumah Makan Dapur Selera, Jakarta Selatan, Senin (23/9/2013).
Herman menambahkan, bahwa pihaknya merasa perlu mengajukan masalah ini ke MK bukan karena ngeyel, atau tidak legowo. “Tapi kami emban amanah 6,5 juta pemilih jatim yang sudah memberikan amanahnya ke kami. Mereka menunggu dan meminta kami berusaha maksimal,” kata Herman seraya berharap kepada para pendukungnya di Jatim, juga dengan simpatisan di seluruh tanah air untuk tetap tenang dan berdoa demi memunculkan sebuah perubahan di negeri ini, khususnya di Jawa Timur.
DR. Rizal Ramli yang dimintai tanggapannya mengenai hal ini mengaku sangat kecewa jika ada Pemimpin yang dilahirkan dengan cara-cara curang seperti yang diungkapkan oleh Herman. Sebab, katanya, sistim Pemilu yang tidak jujur dan korup hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang tidak amanah dan pasti korup.
“Itu (menggunakan APBD menjelang Pilkada) adalah termasuk doping money-politics yang telah merusak sistem dan manfaat demokrasi di Indonesia,” ujar Rizal Ramli, Capres paling ideal 2014 versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI).