(AMS, Artikel)
SEBELUMNYA, sebagai pencerahan mari kembali menyimak tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan Trisakti sebagai ideologi sekaligus cita-cita yang telah ditanamkan oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, untuk mengangkat lebih tinggi derajat bangsa ini.
Yakni, bahwasanya Trisakti terkandung tiga nilai strategi yang jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka akan membuat Indonesia menjadi negara “Sakti”. Yaitu: 1). Berdaulat dalam bidang politik; 2). Berdikari dalam bidang ekonomi ; dan 3). Berkepribadian dalam kebudayaan.
1. Berdaulat dalam Bidang Politik;
Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1964, Presiden Soekarno menyebutkan, ketiga prinsip berdikari (Trisakti) ini tidak dapat dipisahkan apalagi dipreteli satu sama lain. Menurutnya, tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdirikari dalam ekonomi. Demikian pula sebaliknya.
Olehnya itu, jika benar-benar serius menjalankan Trisakti, Presiden Soekarno meyakini bangsa Indonesia akan menjadi bangsa berdaulat yang tidak bisa didikte (diatur-atur) oleh dan dari negara mana pun.
Soekarno bahkan berkali-kali menegaskan, bahwa bangsa Indonesia jangan sekali-kali menjadi bangsa pengemis, lebih-lebih kepada kaum imperalis. Namun bukan berarti Indonesia memutuskan diri dari hubungan internasional dengan negara lain. Sebab Soekarno sendiri menerapkan politik bebas aktif, yang tidak berpihak pada salah satu blok dunia, sosialis atau kapitalis. Soekarno malah mengajak ikut proaktif dalam mendorong terciptanya perdamaian dunia.
Dalam politik ini, Soekarno berhasil mengadakan Konferensi Asia-Afrika (KAA), namun karena negara-negara yang hadir memiliki afiliasi politik terhadap kekuatan Komunis, membuat kemandirian politik yang dicita-citakan sulit dibangun, terlebih lagi ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia.
2. Berdikari dalam Bidang Ekonomi;
Berdikari dalam bidang ekonomi berarti kita harus bersandar pada DANA, SUMBER DAYA, dan TENAGA kita sendiri yang memang sangat melimpah di muka bumi Pertiwi ini, yakni dengan mengelolanya sendiri dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya untuk kemaslahatan dan kesejahteraan bangsa kita, bukan dengan menyerahkannya kepada asing.
Pada 28 Maret 1963, Presiden Soekarno mengeluarkan “Deklarasi Ekonomi” (Dekon). Secara umum, Dekon ini sebagai perencanaan pembangunan ekonomi berdikari. Dan Bung Karno meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi pembangunan.
Bung Karno yakin, bahwa rakyat akan menjadi sumber daya ekonomi yang optimal bagi pembangunan bila aktivitas dan kreativitasnya dikembangkan. Ia tanpa tedeng aling-aling mengecam keras cara-cara text-book thinking, atau mengambil begitu saja pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi Barat, tanpa memperhatikan kondisi di Indonesia.
Dalam “Deklarasi Ekonomi” Soekarno menuliskan, bahwa menurut strategi dasar ekonomi Indonesia, maka dalam tahap pertama kita harus menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme.
Tahap pertama, menurut Bung Karno, adalah persiapan untuk tahap kedua. Yaitu tahap ekonomi Sosialis Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia, tanpa “exploitation de l’homme par l’homme”. Dalam masyarakat Sosialis Indonesia tiap-tiap orang dijamin akan pekerjaan, sandang-pangan, perumahan serta kehidupan kultural dan spiritual yang layak. Susunan ekonomi yang demikian inilah yang harus menjadi tujuan segenap kegiatan ekonomi kita, yang harus menjadi tujuan tiap-tiap putera Indonesia.
3. Berkepribadian dalam Kebudayaan;
Dalam bidang Sosial budaya, Bung Karno telah berhasil memperjuangkan Pancasila sebagai kemandirian bangsa Indonesia dengan memiliki ideologi negara sendiri. Soekarno juga telah berhasil mempertahankan persatuan dengan menumpas setiap pemberontakan yang terjadi seperti Permesta,PRRI, DI/NII, dan persoalan Papua.
Secara tegas Bung Karno menolak budaya asing yang bersifat eksploitasi atau penjajahan oleh kekuatan asing. Semangat nasionalisme mengarahkan pada nasionalisasi perusahaan asing menjadi perusahaan milik negara.
Dalam menjelaskan berkepribadian dalam kebudayaan, Bung Karno menegaskan, bahwa budaya kita kaya raya yang harus kita gali. Karenanya, ia menganggap tepat sekali ketika itu diadakan tindakan boikot terhadap film-film Inggris, AS, dll karena dinilai tidak mendidik.
Sebab hal-hal seperti itulah yang justru akan menggeser kepribadian bangsa Indonesia untuk meninggalkan budayanya sendiri, sehingga akan membuat moral dan akhlak para muda-mudi generasi kita menjadi merosot dan hancur. Yang pada akhirnya, kita pun lemah terpuruk dan akan kehilangan kedaulatan politik, dan pada kondisi seperti itu ekonomi bangsa kita akan sangat mudah dikuasai oleh negara lain.
Ingin Wujudkan Trisakti? Dukung Rizal Ramli!
Diakui atau tidak, tekad Presiden Jokowi untuk kembali menghidupkan Trisakti sungguh sangat tepat dan amat patut didukung. Sayangnya, tekad tersebut dinilai sangat sulit diwujudkan. Sebab di dalam lingkaran Pemerintahan sendiri masih bercokol “kekuatan besar” yang tak segan-segan berbuat apa saja (termasuk menggadaikan negara dan “mengemis” kepada asing) demi keuntungan pribadi beserta kelompoknya saja.
Namun Presiden Jokowi nampaknya mulai sadar dan gerah dengan pergerakan “kekuatan besar” tersebut yang tentu saja dinilai sangat bertentangan dengan cita-cita luhur yang terkandung dalam Trisakti.
Dan dengan kesadaran itulah, Presiden Jokowi pun tak tanggung-tanggung menarik seorang tokoh ke dalam kabinet yang dikenal sangat kritis, kesatria (tegas serta berani) karena memiliki jiwa Trisakti yang amat kental, yakni DR. Rizal Ramli.
Sejak saat itu, publik pun mulai membaca dan bahkan berani buka-bukaan, bahwa dimasukkannya Rizal Ramli sebagai salah satu Menteri Koordinator (Menko) ke dalam Kebinet Kerja adalah hal yang sangat positif, dan nampaknya adalah merupakan salah satunya upaya untuk mematahkan dan menghentikan “permainan busuk” Wakil Presiden (Wapres) bersama konco-konconya yang juga ada di dalam kebinet.
Eksekutif Pusat Kajian Energi dan Lingkungan (PKEL), Engkus Munarman, misalnya. Ia mengungkapkan, bahwa Sudirman Said (Menteri ESDM saat ini) sebetulnya adalah sebagai “penjaga gawang” kepentingan bisnis keluarga besar Kalla.
“Masih ingat, bagaimana Sudirman gigih membela pembangunan proyek gas dan alam cair LNG Receiving terminal Bojanegara, Jabar? Proyek senilai Rp.6,8 Triliun itu merupakan kerjasama antara PT. Pertamina (persero) dengan PT. Bumi Sarana Migas. Nah, perusahaan mitra Pertamina itu dimiliki oleh Solihin Jusuf Kalla,” ungkap Engkus.
Engkus pun menilai, Sudirman Said bisa mendapatkan jabatan Menteri ESDM itu adalah berkat rekomendasi Jusuf Kalla. “Maka terjawab sudah kenapa Sudirman ngotot. Dia memberi ‘upeti’ kepada sang majikan agar posisinya aman,” kata Engkus.
Selain itu, Engkus juga menyoal pengangkatan Tanri Abeng menjadi Komisaris Utama Pertamina. “Untuk mengamankan posisinya, beberapa pekan silam, dia (Sudirman Said) bahkan mengangkat karib JK sejak SMA, Tanri Abeng, menjadi Komisaris Utama Pertamina beberapa minggu lalu, menggantikan Sugiharto. Akhirnya memang terbukti, jurus upeti itu terbukti ampuh. Sudirman lolos dari tebasan pedang reshuffle,” jelas Engkus.
Menurut Engkus, setelah menjabat, perusahaan Jusuf Kalla semakin Gemilang. “Itu tidak mengherankan mengingat grup-grup usahanya memperoleh berbagai proyek infrastruktur. Kelompok-kelompok bisnis seperti Bukaka, Bosowa, dan Intim (Halim Kalla) termasuk dalam paket kontraktor pembangunan 19 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kelompok Bosowa mendapat order pembangunan PLTU Jeneponto di Sulsel, tanpa tender,” tuding Engkus.
Dengan adanya “hubungan mesra” Jusuf Kalla dengan Sudirman Said itulah, Engkus pun menduga kuat bahwa Jusuf Kalla Cs telah bahu-membahu menghadapi manuver dan “serangan” dari Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli.
Terobosan dan manuver-manuver Rizal Ramli seperti apa yang dianggap sebagai penghalang oleh Jusuf Kalla Cs?
Hari ini, Sabtu (12/9/2015) adalah tepat sebulan Rizal Ramli menjabat sebagai Menko Kemaritiman dan Sumber Daya. Namun, Rizal Ramli sudah banyak melakukan manuver dan terobosan yang mengarah kepada cita-cita Trisakti. Apa-apa saja itu?
Beberapa jam usai dilantik sebagai Menko, Rizal Ramli langsung “menghadang” upaya Menteri BUMN (Rini Soemarno) yang ngotot membelanjakan ratusan Triliun rupiah (dari hasil utang luar negeri) untuk melakukan pembelian pesawat Airbus oleh PT. Garuda Indonesia.
Dan belum sepekan sebagai Menko, Rizal Ramli juga meminta proyek 35 ribu Megawatt agar ditinjau dan dievaluasi kembali karena tidak realistis dan terkesan hanya mengedepankan ambisi mengerut keuntungan sejumlah kelompok yang terlibat di dalamnya.
Selain itu, Rizal Ramli juga langsung membenahi masa tunggu bongkar-muat (dwell time) di Pelabuhan Tanjung Priok. Pembenahan tersebut meliputi perbaikan arus barang, sistem teknologi informasi, hingga pemberantasan mafia yang selama ini leluasa bermain untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Di saat bersamaan dengan pembenahan dwell time, dua negara (Cina dan Jepang) datang “membujuk” Rizal Ramli dan menawarkan pinjaman dana dalam rangka pembangunan infrastruktur kereta cepat Jakarta-Bandung. Bujukan yang menggiurkan itu justru dicium Rizal Ramli adanya “bau” yang tak sedap.
“Saya enggak peduli beking siapa di belakang (proyek kereta cepat tersebut). Saya sudah bilang sama Pak Presiden, memang di dalam proyek ini ada beking dan ada pejabat yang ingin bisnis,” ujar Rizal, Kamis (13/8/2015). Dan nyatanya memang, tawaran proyek itu kemudian mendapat penolakan dari Presiden Jokowi. Jika saja pejabat lain yang mendapat “bujukan” seperti itu, maka boleh jadi proyek kereta cepat tersebut sudah diterima mentah-mentah dan secara diam-diam.
Bukan cuma itu, Rizal Ramli juga “melabrak” PT. PLN karena diduga ada mafia yang memainkan harga pulsa listrik (token) hingga membebani rakyat sebagai pelanggan. “Mereka (pelanggan) membeli pulsa Rp 100.000, ternyata listriknya hanya Rp 73.000. Kejam sekali, 27 persen kesedot oleh provider yang setengah mafia,” kata Rizal saat konferensi pers di Jakarta, Senin (7/9/2015).
“Kami sangat mengapresiasi apa yang dilakukan Pak Rizal Ramli. Kalau Pak Rizal tak ungkapkan ada 'mafia pulsa listrik', kita semua tak sadar ada yang salah di sistem listrik prabayar di PLN,” ujar Ketua Komisi VIIDPR, Kardaya Warnika, Jumat (11/9/2015).
Dan pada rapat dengan Badan Anggaran DPR, Rabu (9/9/2015) Rizal Ramli menyatakan ketidak-setujuannya terhadap rencana Menteri ESDM yang ingin membelanjakan anggaran 2,4 Miliar Dolar AS atau sekitar Rp.33,6 Triliun (Kurs Rp14.000) untuk membangun storage buat Pertamina.
Rizal Ramli pun mengusulkan, agar pembangunan tempat penyimpanan (storage) minyak tersebut sebaiknya bisa dilakukan oleh pihak yang mengimpor minyak ke Indonesia, karena mereka (pihak pengimpor) yang punya kepentingan bisnis di dalamnya. “Atau diatur supaya kita cuma bayar biaya aksesnya,” kata Rizal seraya menambahkan, bahwa dengan demikian, pengeluaran Pertamina bisa dihemat 2,4 Miliar Dolar AS.
Dengan melihat dan menyimak manuver maupun terobosan Rizal Ramli tersebut, maka bisa dirasakan bahwa ajaran Trisakti mulai kelihatan sedikit berjalan. Dan tentunya, Trisakti serta Nawacita yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi akan bisa dipastikan terwujud apabila para menteri di dalam Kabinet Kerja mampu “bergotong-royong” mengikuti cara-cara dan gaya yang ditempuh oleh Rizal Ramli. Jika tidak, maka Presiden Jokowi sebaiknya jangan segan-segan mencopot menteri-menteri yang terindikasi menghambat terwujudnya Trisakti.
Dan apabila tak sanggup memecat menteri-menteri yang dianggap tidak mampu menjalankan cita-cita Trisakti, maka Jokowi harus siap-siap dan rela untuk dapat dicatat sebagai presiden terburuk yang gagal total sepanjang sejarah kepemimpinan di Indonesia.
Demikian juga halnya dengan Jusuf Kalla (JK), jika tetap bertahan dengan "permainan-permainan" mega-proyek dan tak mampu berkarakter Trisakti, maka JK harus siap-siap dicaci-maki oleh generasi-generasi mendatang karena telah diberi kesempatan dua kali menjabat sebagai Wakil Presiden pada dua kepemimpinan Presiden (SBY dan Jokowi), namun hanya cenderung mengedepankan ambisinya sebagai seorang pengusaha demi meraih keuntungan besar untuk pribadi dan kelompoknya saja.
Demikian juga halnya dengan Jusuf Kalla (JK), jika tetap bertahan dengan "permainan-permainan" mega-proyek dan tak mampu berkarakter Trisakti, maka JK harus siap-siap dicaci-maki oleh generasi-generasi mendatang karena telah diberi kesempatan dua kali menjabat sebagai Wakil Presiden pada dua kepemimpinan Presiden (SBY dan Jokowi), namun hanya cenderung mengedepankan ambisinya sebagai seorang pengusaha demi meraih keuntungan besar untuk pribadi dan kelompoknya saja.