(AMS, opini)
MAAF..ini cuma bagian pandangan dan pengamatan saya selaku Ketua Forum Analisa Dinamisasi Politik (FANATIK), bahwa sejak SBY memimpin sebagai presiden, maka negara ini hanya lebih terkesan bagai arena SIRKUS. Ada pawang binatang (mungkin Singa, atau bisa juga Sapi), ada penyanyi seriosa menjerit-jerit, ada wanita berpakaian seksi, ada pesulap, dan ada juga badut-badut, serta lain sebagainya.
Mereka (para pemain sirkus) ini mampu dengan lihainya mempertontonkan banyak atraksi. Hingga para penonton pun dapat terpukau dan kagum dengan aksi akrobatik dari para pemain sirkus tersebut.
Yang amat menonjol dan nampak menarik dari pertunjukan itu adalah adanya atraksi dari para pesulap serta badut-badut “cerdik dan lucu-lucu”. Mereka dengan lincahnya mampu membolak-balikkan dan “mengalihkan” situasi dari tegang menjadi tenang, demikian pula sebaliknya.
Dan sungguh, semuanya mampu diperankan dan diatraksikan oleh para pemain sirkus itu demi mendapatkan keuntungan dan pengakuan sendiri, serta untuk meraih simpatik dan tepuk tangan dari para penonton.
Kalau pun ada pemain akrobatik yang sempat terjatuh dari atraksi ketinggian karena melakukan “kelalaian”, maka pertunjukan tidak harus terhenti, yakni dengan langsung “mengalihkan” perhatian ke pertunjukan lainnya yang lebih menghibur agar penonton tidak merasa kecewa, lalu segera MELUPAKAN kelalaian pemain yang terjatuh itu. Dan begitulah gambaran ataupun pengibaratan tentang negara kita saat ini.
Silakan saja ditengok beberapa “peristiwa dan masalah” yang telah terjadi di republik ini namun belum jua tuntas teratasi. Di antaranya persoalan teroris, narkoba, kemerosotan ekonomi (rupiah anjlok, harga pangan susah dan mahal), juga dengan masalah korupsi dan lain sebagainya, yang semuanya itu dengan mudahnya dapat “dialihkan” dari situasi satu ke situasi lainnya, misalnya cukup dengan main curhat-curhatan, buat album lagu, dan seterusnya.
Juga lihatlah! Di saat tugas-tugas dan masalah-masalah penting negara masih bertumpuk dan menuntut untuk segera diselesaikan (masalah stabilitas ekonomi dan keamanan yang saat ini mengalami “defisit”). Dan menurut saya, semua masalah negara saat ini bisa terjadi adalah terutama akibat kelalaian presiden. Tengok saja saat ini, presiden nampaknya lebih cenderung memilih mengurus partainya daripada bergegas FOKUS menuntaskan masalah-masalah ekonomi dan keamanan tersebut.
Saat ini, saya pun kemudian amat merasakan adanya manuver-manuver politik yang sedang dimainkan dan diatraksikan oleh SBY melalui Partai Demokrat (PD) sebagai partai yang sedang berkuasa saat ini. Tujuannya tentu saja untuk dapat kembali mendapat SIMPATIK dan juga agar bisa mempertahankan kekuasaannya pada Pemilu 2014 mendatang.
Ya, sesungguhnya kini PD sedang “memainkan” sebuah akrobat politik. Namun seluruh lawan politiknya nampaknya tidak begitu menyadari hal ini. Yakni, mereka dengan bangganya dan penuh pecaya diri langsung mendeklarasikan masing-masing figurnya sebagai calon presiden (Capres) tanpa mengukur kemampuan PD.
Pasalnya, mereka memastikan SBY tak mungkin maju lagi untuk ketiga kalinya sebagai Capres. Tetapi mereka nampaknya lupa, bahwa SBY memainkan atraksi saat ini bukanlah agar bisa maju sebagai capres lagi, melainkan adalah ingin melakukan hattrick agar bisa kembali BERKUASA untuk ketiga kalinya melalui partainya.
Jangan lupa, selain jago pencitraan, SBY juga adalah seorang militer yang sudah pasti ahli strategi memenangi peperangan. Dan di dunia politik, SBY malah sudah terbukti dua kali membawa partainya sebagai the ruling party. Ini berarti, SBY adalah juga ahli strategi politik yang amat mengerti dan faham membuat mapping politik yang sangat rapi dan pakem.
Mapping inilah yang sedang coba saya amati dan menganalisanya melalui langkah-langkah politik SBY yang akhir-akhir ini patut dicurigai. Analisa saya tertuju kepada fenomena politik yang tidak lazim, yakni SBY nampaknya justru sedang memanfaatkan sejumlah situasi kontroversi yang sedang terjadi saat ini.
Situasi kontroversi yang saya maksud itu adalah, Partai Demokrat saat ini berada pada situasi terpuruk karena dinilai sebagai sarang koruptor yang melibatkan sejumlah kadernya. SBY sendiri amat menyadari itu sebagai masalah krusial. Tetapi SBY secara politik memandang itu hanyalah sebuah “kelalaian” para kadernya.
Di sinilah kecerdikan SBY mengolah masalah “kelalaian” menjadi nantinya sebuah “kepiawaian”. Ia tahu situasi kontroversi itu sangat menyedot perhatian publik, dan situasi inilah yang sesungguhnya dimanfaatkan dan dimainkan SBY sebagai momen untuk berakrobat.
Akrobat pertama yang dilakukannya, adalah memberi keleluasaan sejumlah kadernya untuk melakukan atraksi “jungkir-balik” sebagai upaya pengalihan situasi ke arah lain. Dan sebagian elitnya tetap diposisikan sebagai pagar betis sekaligus selaku “pawang” untuk “menjinakkan” situasi perdebatan yang bersifat menyerang.
Sementara di sisi lain, SBY juga membiarkan pihak-pihak lainnya untuk tetap melempar kekecewaan dan bahkan kebencian kepada dirinya terhadap situasi keterpurukan PD akibat kasus korupsi tersebut. Dan SBY merasa yakin dapat dengan mudah menangkis situasi yang diperdebatkan itu cukup dengan melalui sebuah CURHAT.
Memunculkan kesan timbulnya faksi di tubuh PD adalah salah satu akrobat yang saya sebut sebagai sebuah atraksi “jungkir balik”. Bahkan SBY pun sangat mahir melakukan atraksi “jungkir-balik” ini. Misalnya, pada suatu hari SBY berkali-kali mengatakan dan menekankan kepada para menterinya agar sebaiknya mengundurkan diri saja jika hanya lebih cenderung mengurus partai politik. Atau dengan jargon Partai Demokrat ”Katakan Tidak pada Korupsi” yang diatraksikan dalam bentuk iklan di layar televisi. Jungkir-balik yang sangat memukau, bukan..???
Bahkan, menurut dugaan dan pengamatan saya, ada “jungkir-balik” yang sangat aneh, yang juga menunjukkan bahwa seakan-akan memang terjadi faksi yang mendorong perpecahan di tubuh PD, namun boleh jadi sesungguh itu hanyalah taktik “pembiaran” SBY agar lawan-lawan politik ikutan fokus menyerang “kelemahan” yang “terlanjur” menjadi keterpurukan PD terhadap kasus korupsi tersebut.
Sungguh amat mengagumkan, kasus korupsi Nazaruddin “diolah” bersama sebagai objek dominan antara PD dan lawan-lawan politiknya. Bedanya, parpol dan pihak-pihak lain mengolah kasus ini dengan menyerang dan mendesak secara intens agar SBY segera menuntaskan masalah Nazaruddin (juga kasus Century dan lain sebagainya) yang diduga melibatkan elit-elit PD itu.
Padahal, tanpa disadari oleh pihak lawan, SBY sesungguhnya “senang” diserang dan didesak seperti itu. Sebab, menurut dugaan saya, SBY juga justru memanfaatkan kasus korupsi Nazaruddin ini secara sistematis dan sistemik yang boleh jadi didahului dengan bargain-politik dengan pihak-pihak tertentu. Sebut saja misalnya, Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh, bahkan dengan Anas Urbaningrum yang terlanjur gesit disebut-sebut ikut terlibat dalam kasus korupsi oleh Nazaruddin, itu adalah “BAGIAN KESEMPURNAAN” dari strategi akrobat yang dimainkan PD saat ini.
Indikasinya, meski belum cukup meyakinkan akan keterlibatannya, tetapi Andi Mallarangeng dengan mudahnya sudah mengambil sikap mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara Angelina Sondakh, yang meski dalam setiap persidangan banyak memberikan keterangan dan jawaban berbelat-belit, toh.. hakim hanya menjatuhkan sanksi di bawah 5 tahun (itu pun sudah termasuk potongan masa tahanan).
Berikutnya, Anas Urbaningrum yang meski pada akhirnya harus dicopot dari posisinya selaku Ketum PD menyusul ikut dijadikannya sebagai tersangka kasus korupsi tersebut, tetapi toh juga Anas masih terlihat adem-adem saja, layaknya orang yang telah terbiasa dan seakan sebelumnya sudah pernah menjalani proses hukum kasus korupsi. Artinya, Anas tidak seperti kebanyakan orang, yang secara psikologis, bila baru berhadapan dengan kasus hukum, maka bisa diyakini akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatannya. Minimal mungkin berat badannya bisa merosot.
Harusnya, begitu ditetapkan sebagai tersangka dan dipecat dari posisi ketum, Anas mestinya bergegas melakukan perlawanan hukum, yakni dengan segera membuktikan ucapannya untuk “membuka lembar halaman demi halaman” itu. Tetapi itu belum dilakukannya. Anas malah membentuk ormas, yang menurut saya, ini ada unsur “kesengajaan” yang saya sebut mungkin inilah sebagai hasil bargain tadi agar PD terlihat makin bisa dibuat heboh, karena telah mendapat “penantang” yang hebat, yakni PPI. Tetapi sesungguh, sekali lagi itu patut diduga hanya bagian dari akrobat PD belaka.
Dugaan ini makin kuat, yakni ketika acara launching peserta konvensi PD (Minggu, 15 September 2013) lalu seakan telah di-setting harus bertepatan dengan acara peresmian Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), ormas milik Anas itu. Dan kehadiran sejumlah kader PD di hari peresmian PPI itulah yang membuat saya kembali jadi bingung. Karena logikanya, sejumlah kader PD tersebut harusnya 99% tidak perlu menghadiri peresmian PPI tersebut. Apakah sejumlah kader yang hadir di PPI itu tidak memikirkan sebelumnya kemungkinan-kemungkinan resiko terburuk yang akan diterimanya? Hmmm...aneh..???
Sehingganya, popularitas PD di hari launching konvensi capres dan peresmian PPI itu kembali mendaki, ditambah pula dengan “keterlibatan” TVRI yang mendapat sorotan tajam karena dianggap memberi perlakuan istimewa acara konvensi capres PD tersebut.
Tak cukup sampai di situ, dan ternyata betul, PD kembali beratraksi “jungkir-balik” dengan mencopot dua kader terbaiknya karena telah “berani” menghadiri peresmian PPI yang dinilai sebagai upaya membelot dalam mendukung mantan Ketua Umum PD melalui ormas tersebut.
Secara logika, “Jungkir-balik” yang satu ini tidak lazim dan terasa aneh bagi saya, sebab pencopotan keduanya tidak dahului dengan peringatan tertulis atau mungkin dengan pemanggilan langsung untuk diberi pilihan kepada kedua bersangkutan: mau ke PPI atau tetap di PD? Harusnya ini yang mesti ditempuh sebelum pencopotan.
Tetapi kemudian secara politik, pencopotan itu pun tidak menjadi aneh lagi, terlebih ketika saya sadar bahwa boleh jadi semua itu sudah di-setting oleh SBY untuk kepentingan pencitraan dan popularitas PD. Sehingga, kader yang dicopot pun (boleh jadi termasuk Anas dan lainnya) bukanlah sebagai korban “sebenarnya”.
Justru menurut saya, yang menjadi korban itu sebenarnya adalah para parpol lain, juga termasuk masyarakat, yakni “korban” kecerdikan strategi akrobat politik dari “guru besar” SBY, yang boleh jadi KPK “ikut andil” di dalamnya sebagai Singa Sirkus.
Perhatikan..! Andi Mallarangeng mengundurkan diri karena dijadikan tersangka, penonton (parpol lain dan lawan-lawan politik PD) pun tepuk tangan. Angelina Sondakh sudah dijatuhi vonis kasus korupsi, penonton kembali tertawa dan bertepuk tangan. Begitu pun saat Anas Urbaningrum dipecat karena dijadikan tersangka, lagi-lagi penonton pun terbahak-bahak dan bertepuk tangan riuh. Penonton tanpa sadar, bahwa sesungguhnya, boleh jadi itulah akrobat yang sedang diatraksikan oleh PD saat ini.
Ya…layaknya permainan sirkus, ada akrobat jungkir-balik, ada pesulap yang pandai memainkan kartu remi dengan amat memukau menarik simpatik, hingga para “penonton” pun senang lalu bertepuk tangan. Dan itulah kiranya yang diharapkan oleh PD dalam mengembalikan citra dan popularitasnya. Sementara yang dipecat tak harus merasa kuatir dan risau, karena ini adalah hanya bagian dari sebuah akrobat yang butuh “pengakuan”, tepuk tangan dan decak kagum dari penonton.
Lalu akrobat seperti apalagi yang akan dipertontonkan oleh SBY dan partainya itu agar bisa melakukan hattrick pada Pemilu 2014 mendatang..?!?
Salam Perubahan…!!!