Monday, 9 September 2013

Indonesia: Dulu Negara Agraris, Sekarang Negara “Artis”?


(AMS, opini)
BELANDA, Portugis dan negara lain dulu sangat tergila-gila ingin menguasai Indonesia. Mereka dengan penuh nafsu tak tanggung-tanggung mengerahkan segala kemampuan dan kekuatannya, berani serta rela mati bertempur (berperang) demi dan untuk memiliki Indonesia.

Kegilaan para negara penjajah ini sangat beralasan. Yakni, karena Indonesia adalah negara yang memiliki tanah serta lahan pertanian yang subur membentang, -tentu saja dengan hasil yang melimpah.

Memang, dulu lahan pertanian kita amat luas, dan sampai sekarang masih sangat subur. Dulu juga kita punya banyak petani yang menjadi tulang punggung yang mampu memenuhi kebutuhan pangan buat rakyat kita. Sampai itulah negara kita dikenal sebagai negara agraris.

Tetapi sekarang, lahan pertanian kita setiap tahun terus menyempit, petani kita juga pun pasti makin berkurang. Dan anehnya, ahli-ahli di bidang pertanian kita malah semakin bertambah, bahkan Presiden kita pun seorang doktor pertanian, tetapi mengapa kondisi pertanian kita sekarang kok malah semakin memprihatinkan…??? Dan lebih gila lagi, saat ini malah tidak sedikit kebutuhan pokok pangan untuk konsumsi kita ternyata banyak berasal dari negara luar, alias impor.

Di mana lahan pertanian kita yang luas itu?? Ke mana para petani-petani ulung kita?? Dan apa yang dilakukan oleh para pakar dan ahli-ahli kita di bidang pertanian..??? Coba tanyakan Belanda dan Portugis, mereka pun pasti ikut sangat bingung menjawab pertanyaan ini..?!?!

Bukannya solusi yang dicari lalu digerakkan dengan full-power, eee..malah pemerintah ikut mengeluh. Tengok dan cari saja di Google, lalu baca keluhan pemerintah tentang masalah yang sedianya harus diatasi itu, ternyata malah ikut mengeluh, bahkan seakan melempar kesalahan kepada pihak lain. Sehingga, saling melempar kesalahan pun tak jarang terjadi di lingkup para menteri. Gila kan..???

Misalnya, Hatta Rajasa pernah menyalahkan menteri pertanian tentang harga sejumlah bahan pokok melonjak tajam, terutama harga daging sapi dan daging ayam. “Tanya menteri pertanian kenapa lambat rekomendasi, kenapa lambat impornya,” lontar Hatta Rajasa seperti yang dilansir oleh liputan6.com

Dalam hal produksi pertanian yang menurun, menteri pertanian malah sempat menyalahkan iklim sebagai penyebabnya. “Turunnya pencapaian angka produksi tidak lain karena adanya perubahan iklim yang secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan ketersediaan pangan,” ujar Menteri Pertanian (Mentan) Suswono seperti yang dilansir oleh seruu.com.

Lalu, menteri perdagangan (Mendag) dengan sinis pun “ikut-ikutan” menyalahkan anomali cuaca sebagai biang tak terkendalinya harga pangan di pasar.

Namun seperti yang dikutip oleh itoday, Mendag yang ikut-ikutan menyalahkan cuaca ini dinilai secara tidak langsung sesungguhnya telah menyalahkan Mentan yang tak mampu mengantisipasi anomali cuaca tersebut. Dan salah-menyalahkan ini pun tentu saja dipandang hanya akan menimbulkan kegaduhan antarpejabat pemerintah.

Fenomena saling salah-menyalahkan atas penanganan tugas masing-masing ini adalah bukti ketidakbecusan dan sulitnya pemerintah mengatasi masalah yang sedang dihadapi di negeri ini. Itu baru masalah di bidang pertanian..!! Belum masalah lainnya..??

Kini lahan pertanian kita setiap tahun makin menyempitan. Menurut data Kementerian Pertanian, saat ini konversi lahan pertanian mencapai 140 ribu hektar per tahun untuk berbagai kepentingan. Alih fungsi lahan pertanian ini terutama adalah untuk pembangunan infrastruktur, perkebunan skala besar, pariwisata dan perumahan.

Selain berdampak pada berkurangnya produksi pangan, alih fungsi lahan pertanian ini juga berdampak pada hilangnya sumber penghidupan petani, meningkatnya konflik agraria, kriminalisasi dan pelanggaran HAM/HAP terhadap petani. Tetapi, masalah-masalah inilah yang justru sulit diatasi oleh pemerintah.

Maka masihkah saat ini Indonesia disebut negara Agraris? Ketika ada masalah, para pejabatnya malah mengeluh, -lalu saling melempar kesalahan, ibarat sedang memainkan sebuah telenovela atau film sinetron di layar kaca. Dan beberapa di antaranya juga sibuk melakukan pencitraan. Sementara rakyat, termasuk para petani seakan dipaksa untuk menjadi penonton setia.

Sebagai doktor pertanian, Presiden kita juga justru nampaknya tak bisa mengembangkan pembangunan di bidang pertanian. Padahal, di saat bidang pertanian dalam keadaan sulit seperti inilah sebetulnya kesempatan SBY untuk memperlihatkan kemampuannya sebagai doktor pertanian. Tetapi sayangnya, ia justru lebih tertarik menggarap empat album lagu.

Tak heran, jika saat ini banyak orang Indonesia yang kini berlomba-lomba untuk menjadi artis penyanyi dan artis film, karena seorang presiden (jabatan tertinggi) saja ternyata “tergila-gila” ingin menjadi artis.

Hhmmm… ternyata untuk menjadi artis harus jadi presiden dulu. Dan untuk menjadi presiden..harus jadi artis dulu, ya …??? (Heheheeee….)

Sehingga, sekali lagi jangan heran, jika di negara Agraris ini telah bermunculan banyak grup band (Boy-Band and Girls Band), yang sebetulnya menurut saya ini karena “ulah” Presiden yang telah memberi contoh kepada para generasi muda. Dan jika dicermati, ini adalah contoh yang justru kurang mendidik, karena bisa meracuni otak generasi muda. Saya katakan begitu, karena anak saya bersama teman-temannya (begitu pun dengan remaja lainnya), sejak mengenal sejumlah boy-band, langsung mengidolakan boy-band tersebut. Bahkan begitu banyak yang seakan terhipnotis, berteriak histeris memanggil nama boy-band idolanya itu, baik ketika konser live panggung maupun via televisi.

Fenomena ke-artis-an saat ini memang sangat menggiurkan karena penuh dengan kehidupan glamor dan penghasilan yang sangat lumayan, sangat jauh berbeda dengan kehidupan para petani kita saat ini.

Sehingga jika memang kondisi pertanian kita dari hari ke hari makin menurun, maka mungkin ada baiknya tak perlu lagi diadakan Sensus Pertanian (Agraris). Adakan saja Sensus Artis.

Dan satu hal lagi, selama ini saya yakin 90 persen artis tidak pernah merasakan krisis moneter, apalagi kalau hanya soal harga kebutuhan pangan yang meninggi. Justru semakin melemah nilai Rupiah, maka semakin kuat posisi tawar para artis.

Dan jika melihat kondisi saat ini, maka menurut saya, SBY nampaknya sudah berhasil “menyulap” negara Agraris ini menjadi negara Artis (artis penyanyi dan artis film). “Saya tidak paham ada pemimpin yang mendapat (gelar) doktor dalam bidang pertanian tapi pertanian kita hancur, budget untuk sektor pertanian berkurang,” ujar Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli seperti yang dilansir oleh rmol.com