Friday 29 April 2016

“Virus” yang Melumpuhkan Demokrasi dan Ekonomi Bangsa itu Bernama Pengpeng


(AMS, Artikel
ISTILAH “Pengpeng” pertama kali diperkenalkan oleh Rizal Ramli. Ia adalah salah satu tokoh pergerakan perubahan yang memang sejak dulu dikenal sangat “gila”. Gila dalam arti, bahwa meski harus berhadapan dengan risiko seburuk apapun terhadap dirinya, ia selalu pantang menyerah dan tetap melakukan perlawanan kepada pemerintahan yang dinilainya otoriter. Termasuk ketika ia dengan sangat keras memperjuangkan hak-hak dan menuntut keadilan untuk rakyat, ia malah harus dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim Orde Baru.

Dan kini, perjuangan Rizal Ramli itupun tidak harus terputus meski telah berada dalam pemerintahan. Justru ia sadar, bahwa posisinya di dalam pemerintahan saat ini adalah kesempatan untuk benar-benar ingin membantu Presiden Jokowi dalam mewujudkan Trisakti dan Nawacita, yang sekaligus juga merupakan cita-cita seluruh bangsa di negeri ini.

Tetapi Rizal Ramli melihat sangat mustahil Presiden Jokowi bisa mewujudkan cita-cita tersebut apabila “tradisi” buruk era Orde Baru masih saja leluasa dilaksanakan di era reformasi seperti saat ini.

Dan “tradisi” buruk yang dimaksud, misalnya, cara-cara otoriter (sok berkuasa sendiri dan sewenang-wenang), yakni salah satunya dengan memanfaatkan jabatan sebagai alat untuk makin memperkaya diri dan kelompoknya saja, --di mana pada ujung-ujungnya dari tradisi buruk ini adalah hanya menimbulkan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) secara berjamaah.

Di sini rakyat Indonesia seharusnya segera sadar, bahwa di situlah titik dan pusat masalah yang sesungguhnya di negeri ini, karena dengan masalah itu pula yang membuat negeri ini makin dipenuhi oleh mafia-mafia. Sebab, yang memicu munculnya masalah-masalah tersebut, tak lain dan tak bukan adalah karena adanya “pergerakan serakah” dari pengUSAHA yang rangkap sebagai pengUASA, dan ini persis seperti yang digeluti oleh penguasa rezim Orde Baru.

Dan meski “pergerakan serakah” Orde Baru dengan era Reformasi ada perbedaan, namun tujuannya tetap sama, yakni sama-sama ingin memperkaya diri (keluarga) dan kelompoknya. Bedanya, Soeharto jadi penguasa dulu lalu menjadi pengusaha. Sekarang (di era Reformasi), menjadi pengusaha dulu lalu selanjutnya berusaha mati-matian menjadi Penguasa.

Terus-terang saya “sedih” dengan sebuah ketidak-adilan: Jika Presiden Soeharto bisa dilengserkan dengan salah satu alasan karena keluarganya sangat mendominasi dan telah mencampur-adukkan urusan bisnis dengan urusan negara, tetapi hari ini (di era Reformasi) mengapa justru alasan tersebut malah sangat leluasa kembali dipertontonkan? Mana keadilan dari rakyat (mahasiswa dan seluruh aktivis) memperlakukan rezim Soeharto dulu?

Sungguh, saya belum melihat keadilan itu diperjuangkan dengan serius, kecuali dari sosok yang bernama Rizal Ramli yang hingga kini masih konsisten menolak “tradisi-tradisi” buruk era Orde Baru tersebut, yang salah satunya ia dengan lantang meneriakkan menolak “dwifungsi Pengpeng”, yakni seseorang yang rangkap sebagai pengUSAHA-pengUASA.

Menurut Rizal Ramli, pengusaha itu adalah pekerjaan mulia, begitupun adanya dengan penguasa juga mulia. Tetapi itu akan menjadi bahaya yang sangat serius apabila keduanya disatu-padukan dan ditekuni di dalam lingkungan pemerintahan. Sebab, pemerintahan bukanlah perusahaan, begitupun perusahaan bukanlah pemerintahan. Dan jika ini tetap dipaksa untuk disatukan (dirangkap) maka rakyat yang pasti menjadi korban.

Sebetulnya bukan hanya Rizal Ramli yang menyadari bahaya Pengpeng. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sudah pernah menyampaikan pandangannya tentang bahaya Pengpeng.

Presiden SBY menyatakan, kolusi atau campur-aduk penguasa dan pengusaha merupakan biang kehancuran bangsa dan negara.

Pandangan tersebut sama dan sebangun dengan pemikiran seorang pemenang Nobel Ekonomi, Mancur Olson. Pada awal 1980-an, Olson mengembangkan teori tindakan kolektif dalam rangka menjelaskan jatuh dan bangunnya suatu bangsa (The Rise and Decline of Nations).

Dalam buku tersebut, Olson membahas teori tindakan kolektif dalam kaitan hubungan pengusaha dengan penguasa. Dicari sebab-musababnya, mengapa suatu negara mengalami kemunduran, sementara negara-negara lainnya justru tidak mengalaminya.

Dari pemikirannya, Olson pun menemukan satu faktor utama yang menyebabkan kehancuran suatu bangsa, yakni gangguan koalisi pengusaha yang berkolusi dengan penguasa dalam sistem kelembagaan negara.

Kebijakan yang lahir dari proses lobi kolusif seperti ini bisa mengalami komplikasi dan mengalami disorientasi tujuan untuk melakukan efisiensi dalam ekonomi. Kelompok ini dan birokrasi yang dipengaruhinya cenderung menjadi proteksionis, oligopoli-monopoli, dan antipersaingan sehingga akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengacaukan dinamika sistem internal.

Dan manfaat lobi tersebut sangat besar untuk kelompok mereka sendiri, kecenderungan kebijakan seperti ini cenderung berlanjut dalam jangka panjang. Kondisi ini menyebabkan hancurnya aspek efisiensi, keadilan tertindas, sampai akhirnya memukul ekonomi rakyat karena digantikan ekonomi konglomerasi yang ugal-ugalan. Dan ujung-ujungnya akan memunculkan Kleptokrasi (“pemerintahan para maling”)

Inilah wajah ekonomi kita sebenarnya, yang diwariskan dari ekonomi Orde Baru dan cenderung telah dilanjutkan pada masa demokrasi ini. Insentif dan manfaat lobi tersebut hanya didistribusikan pada kalangan terbatas terkait dengan kelompok kecil tersebut.

Karena itu, Olson menyebut kelompok ini sebagai kelompok small distributional coalition, koalisi kecil yang melakukan lobi kepada penguasa dan mendistribusikan manfaat perburuan rente ekonominya kepada kalangan kecil pula. Namun, biaya ekonomi dan sosialnya tersebar ke seluruh sistem sosial ekonomi dan masyarakat luas.

Di sini aspek keadilan ekonomi tak terwujud karena tertutup ekonomi konglomerasi. Ketika koalisi semakin besar dan besar, beban proteksi, beban inefisiensi, dan beban rente ekonomi jadi semakin besar. Inilah yang kemudian jadi sebab kemandekan pertumbuhan ekonomi dan kehancuran bangsa, yang dimulai dari kehancuran ekonomi kemudian menjalar pada kehancuran sosial dan politiknya, di mana elit-elit politik bisa dengan mudah lebih memilih menjadi “budak” di hadapan kelompok pengusaha-penguasa ini daripada menjadi pejuang rakyat.

Dan elit-elit politik serta para aktivis yang masih “steril” harusnya segera membenahi kondisi yang sangat “berbahaya” seperti saat ini. Yakni dengan segera membuat arsitektur hukum ekonomi, aturan main, UU dan norma yang memisahkan negara dan pasar secara baik.

Juga segera membedakan peran penguasa dan pengusaha, serta tidak mencampuradukkannya. Hukum ekonomi harus diimplementasikan secara detail dan cermat di setiap sudut sistem pemerintahan. Titik kritis ekonomi Orba berakar dari permasalahan ekonomi politik ini. Kehancuran ekonomi Orba tak lain berakar dari campur-aduk peranan penguasa dan pengusaha, hukum ekonomi lemah, dan tak ada aturan main pemisahan penguasa dan pengusaha.

Apalagi saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah sepakat dan menilai, bahwa hampir 90 persen terjadinya korupsi disebabkan adanya perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha.

Dan jangan lupa, bahwa pergantian Kabareskrim (Komjen Buwas) itu juga sebetulnya sangat mengisyaratkan betapa “eratnya hubungan” penguasa dengan para pemilik kekuatan ekonomi atau para saudagar/pengusaha. Bahkan terasa bahwa para saudagar/pengusaha itu bisa mempengaruhi kebijakan penguasa.

Hal tersebut menandakan, bahwa “rezim saudagar” atau korporatokrasi telah mengendalikan negeri ini dengan sangat leluasa, dan tentu saja ini sangat berbahaya, sebab pemerintahan akan dijalankan berdasarkan “untung-rugi” yang dapat menyebabkan rakyat selalu menjadi korban.

Salah satu bahayanya, adalah kebijakan penguasa bisa dipengaruhi oleh para saudagar/pengusaha atau kapitalis. Akibatnya, lahirlah banyak kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan para saudagar/kapitalis, bukan berpihak pada kepentingan rakyat.

Selain itu, ada bahaya yang sangat mengerikan jika negeri ini dikendalikan oleh Pengpeng. Yakni, penegakan hukum pun bisa mereka “perjual-belikan”, dan menyetirnya sesuka hati. Jika menyerempet (mengusik dapur) mereka, upaya penegakan hukum akan dihentikan dengan berbagai alasan, termasuk alasan mengganggu perekonomian.

Rezim saudagar juga membawa bahaya lainnya, yaitu penanganan urusan rakyat dikelola dengan menggunakan logika saudagar (logika bisnis). Rakyat diposisikan layaknya konsumen (pembeli) yang harus membayar berbagai pelayanan negara.

Dan di saat bersamaan, negara diposisikan layaknya penyedia/penjual barang dan jasa. Pengelolaan urusan rakyat pun dijalankan dengan logika untung-rugi. Jika dianggap beban maka akan dihilangkan, seperti subsidi. Dan ini sangat jelas bertentangan dengan konsep “penguasa negara/pemerintah” sebagai pihak yang harus melayani dan melindungi rakyatnya.

Sehingga itu, negeri yang dipimpin oleh seseorang yang giat menyatu-padukan sikapnya sebagai pengusaha dan penguasa (Pengpeng) sesungguhnya adalah merupakan “mimpi” yang sangat buruk bagi rakyatnya. Sebab dalam perjalanannya negeri tersebut akan senantiasa diwarnai KKN, kesewenang-wenangan makin merajalela, termasuk dapat menyumbat "denyut" demokrasi dengan cara-cara yang tak sehat, misalnya dengan suap, kongkalikong, dan lain sebagainya.

Wahai seluruh rakyat di negeri ini, bukalah mata lebar-lebar, jauhkan pemikiran subjektif (kesukuan, kedaerahan, satu rumpun keluarga, dll), lalu lihatlah kondisi negeri kita saat ini yang begitu sudah sangat parah.

Lihatlah! Mafia-mafia bermunculan, dan korupsi terjadi di mana-mana tak hanya terjadi di lembaga yudikatif, peradilan, tetapi juga ada di legislatif dan eksekutif. Dan kondisi yang sangat parah ini sesungguhnya telah diketahui oleh rakyat dan juga pemerintah.

Namun lucu dan anehnya, pemerintah hingga detik ini sepertinya telah kehilangan kekuasaan dan sangat lemah untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Mengapa? Karena negeri yang demokrasi ini sepertinya telah berubah menjadi negeri kleptokrasi, yakni negeri yang dipimpin oleh para pencuri kelas kakap.

Dan hal tersebut pernah dibenarkan oleh advokat senior (alm) Adnan Buyung Nasution, dan juga diakui oleh pengajar Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Gun Gun Heryanto, yang mengatakan ”Indonesia semakin terperangkap dalam pusaran kleptokrasi.”

Olehnya itu, jika mencermati ulasan dari atas, maka sangat jelas bahwa betapa rusak dan fatalnya negeri ini jika dipimpin oleh seorang yang “Pengpeng”. Dan jika saat ini ada pihak-pihak yang membela “keleluasaan dan keserakahan” Pengpeng yang di dalam pemerintahan sangat jelas cenderung memanfaatkan jabatannya untuk makin memperkaya diri, maka pihak-pihak tersebut adalah bagian dari Pengpeng, sang perusak demokrasi dan perekonomian rakyat di negeri ini. Sehingganya, jangan heran jika para buruh pun hingga saat ini selalu saja sengsara akibat kebijakan-kebijakan yang  hanya menguntungkan Pengpeng.

Salam perubahan dan kebangkitan bangsa menuju Indonesia Hebat. Dan selamat hari Buruh “May Day” 1 Mei 2016, semoga negeri ini terbebas dari “Pengpeng”, amiinn..!!!