(AMS, Artikel)
ISTILAH
“Pengpeng” pertama kali diperkenalkan oleh Rizal Ramli. Ia adalah salah satu tokoh
pergerakan perubahan yang memang sejak dulu dikenal sangat “gila”. Gila dalam
arti, bahwa meski harus berhadapan dengan risiko seburuk apapun terhadap dirinya,
ia selalu pantang menyerah dan tetap melakukan perlawanan kepada pemerintahan
yang dinilainya otoriter. Termasuk ketika ia dengan sangat keras memperjuangkan
hak-hak dan menuntut keadilan untuk rakyat, ia malah harus dijebloskan ke dalam
penjara oleh rezim Orde Baru.
Dan
kini, perjuangan Rizal Ramli itupun tidak harus terputus meski telah berada
dalam pemerintahan. Justru ia sadar, bahwa posisinya di dalam pemerintahan saat
ini adalah kesempatan untuk benar-benar ingin membantu Presiden Jokowi dalam
mewujudkan Trisakti dan Nawacita, yang sekaligus juga merupakan cita-cita
seluruh bangsa di negeri ini.
Tetapi
Rizal Ramli melihat sangat mustahil Presiden Jokowi bisa mewujudkan cita-cita
tersebut apabila “tradisi” buruk era Orde Baru masih saja leluasa dilaksanakan di
era reformasi seperti saat ini.
Dan “tradisi”
buruk yang dimaksud, misalnya, cara-cara otoriter (sok berkuasa sendiri dan
sewenang-wenang), yakni salah satunya dengan memanfaatkan jabatan sebagai alat
untuk makin memperkaya diri dan kelompoknya saja, --di mana pada ujung-ujungnya
dari tradisi buruk ini adalah hanya menimbulkan KKN (Korupsi, Kolusi,
Nepotisme) secara berjamaah.
Di sini rakyat Indonesia seharusnya segera sadar, bahwa di situlah titik dan pusat masalah yang sesungguhnya di negeri ini, karena dengan masalah itu pula yang membuat negeri ini makin dipenuhi oleh mafia-mafia. Sebab, yang memicu munculnya masalah-masalah tersebut, tak lain dan tak bukan adalah karena adanya “pergerakan serakah” dari pengUSAHA yang rangkap sebagai pengUASA, dan ini persis seperti yang digeluti oleh penguasa rezim Orde Baru.
Dan meski
“pergerakan serakah” Orde Baru dengan era Reformasi ada perbedaan, namun
tujuannya tetap sama, yakni sama-sama ingin memperkaya diri (keluarga) dan
kelompoknya. Bedanya, Soeharto jadi penguasa dulu lalu menjadi pengusaha. Sekarang
(di era Reformasi), menjadi pengusaha dulu lalu selanjutnya berusaha mati-matian
menjadi Penguasa.
Terus-terang
saya “sedih” dengan sebuah ketidak-adilan: Jika Presiden Soeharto bisa
dilengserkan dengan salah satu alasan karena keluarganya sangat mendominasi dan
telah mencampur-adukkan urusan bisnis dengan urusan negara, tetapi hari ini (di
era Reformasi) mengapa justru alasan tersebut malah sangat leluasa kembali
dipertontonkan? Mana keadilan dari rakyat (mahasiswa dan seluruh aktivis) memperlakukan
rezim Soeharto dulu?
Sungguh,
saya belum melihat keadilan itu diperjuangkan dengan serius, kecuali dari sosok
yang bernama Rizal Ramli yang hingga kini masih konsisten menolak “tradisi-tradisi”
buruk era Orde Baru tersebut, yang salah satunya ia dengan lantang meneriakkan
menolak “dwifungsi Pengpeng”, yakni seseorang yang rangkap sebagai pengUSAHA-pengUASA.
Menurut
Rizal Ramli, pengusaha itu adalah pekerjaan mulia, begitupun adanya dengan
penguasa juga mulia. Tetapi itu akan menjadi bahaya yang sangat serius apabila
keduanya disatu-padukan dan ditekuni di dalam lingkungan pemerintahan. Sebab,
pemerintahan bukanlah perusahaan, begitupun perusahaan bukanlah pemerintahan.
Dan jika ini tetap dipaksa untuk disatukan (dirangkap) maka rakyat yang pasti
menjadi korban.
Sebetulnya
bukan hanya Rizal Ramli yang menyadari bahaya Pengpeng. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sudah pernah menyampaikan pandangannya tentang bahaya Pengpeng.
Presiden SBY menyatakan, kolusi atau campur-aduk
penguasa dan pengusaha merupakan biang kehancuran bangsa dan negara.
Pandangan tersebut sama dan sebangun dengan pemikiran seorang
pemenang Nobel Ekonomi, Mancur Olson. Pada awal 1980-an, Olson mengembangkan
teori tindakan kolektif dalam rangka menjelaskan jatuh dan bangunnya suatu
bangsa (The Rise and Decline of Nations).
Dalam buku tersebut, Olson membahas teori tindakan
kolektif dalam kaitan hubungan pengusaha dengan penguasa. Dicari sebab-musababnya,
mengapa suatu negara mengalami kemunduran, sementara negara-negara lainnya
justru tidak mengalaminya.
Dari pemikirannya, Olson pun menemukan satu faktor utama yang menyebabkan kehancuran suatu bangsa, yakni gangguan koalisi
pengusaha yang berkolusi dengan penguasa dalam sistem kelembagaan negara.
Kebijakan yang lahir dari proses lobi kolusif seperti
ini bisa mengalami komplikasi dan mengalami disorientasi tujuan untuk melakukan
efisiensi dalam ekonomi. Kelompok ini dan birokrasi yang dipengaruhinya
cenderung menjadi proteksionis, oligopoli-monopoli, dan antipersaingan sehingga
akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengacaukan dinamika sistem internal.
Dan manfaat lobi tersebut sangat besar untuk kelompok
mereka sendiri, kecenderungan kebijakan seperti ini cenderung berlanjut dalam
jangka panjang. Kondisi ini menyebabkan hancurnya aspek efisiensi, keadilan
tertindas, sampai akhirnya memukul ekonomi rakyat karena digantikan ekonomi
konglomerasi yang ugal-ugalan. Dan ujung-ujungnya akan memunculkan Kleptokrasi (“pemerintahan
para maling”)
Inilah wajah ekonomi kita sebenarnya, yang diwariskan
dari ekonomi Orde Baru dan cenderung telah dilanjutkan pada masa demokrasi ini.
Insentif dan manfaat lobi tersebut hanya didistribusikan pada kalangan terbatas
terkait dengan kelompok kecil tersebut.
Karena itu, Olson menyebut kelompok ini sebagai
kelompok small distributional coalition,
koalisi kecil yang melakukan lobi kepada penguasa dan mendistribusikan manfaat
perburuan rente ekonominya kepada kalangan kecil pula. Namun, biaya ekonomi dan
sosialnya tersebar ke seluruh sistem sosial ekonomi dan masyarakat luas.
Di sini aspek keadilan ekonomi tak terwujud karena
tertutup ekonomi konglomerasi. Ketika koalisi semakin besar dan besar, beban
proteksi, beban inefisiensi, dan beban rente ekonomi jadi semakin besar. Inilah
yang kemudian jadi sebab kemandekan pertumbuhan ekonomi dan kehancuran bangsa,
yang dimulai dari kehancuran ekonomi kemudian menjalar pada kehancuran sosial
dan politiknya, di mana elit-elit politik bisa dengan mudah lebih memilih menjadi
“budak” di hadapan kelompok pengusaha-penguasa ini daripada menjadi pejuang
rakyat.
Dan elit-elit politik serta para aktivis yang masih “steril”
harusnya segera membenahi kondisi yang sangat “berbahaya” seperti saat ini.
Yakni dengan segera membuat arsitektur hukum ekonomi, aturan main, UU dan norma
yang memisahkan negara dan pasar secara baik.
Juga segera membedakan peran penguasa dan pengusaha,
serta tidak mencampuradukkannya. Hukum ekonomi harus diimplementasikan secara
detail dan cermat di setiap sudut sistem pemerintahan. Titik kritis ekonomi Orba
berakar dari permasalahan ekonomi politik ini. Kehancuran ekonomi Orba tak lain
berakar dari campur-aduk peranan penguasa dan pengusaha, hukum ekonomi lemah,
dan tak ada aturan main pemisahan penguasa dan pengusaha.
Apalagi saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
juga telah sepakat dan menilai, bahwa hampir 90 persen terjadinya korupsi disebabkan adanya perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha.
Dan jangan lupa, bahwa pergantian Kabareskrim (Komjen
Buwas) itu juga sebetulnya sangat mengisyaratkan betapa “eratnya hubungan”
penguasa dengan para pemilik kekuatan ekonomi atau para saudagar/pengusaha.
Bahkan terasa bahwa para saudagar/pengusaha itu bisa mempengaruhi kebijakan
penguasa.
Hal tersebut menandakan, bahwa “rezim saudagar” atau korporatokrasi
telah mengendalikan negeri ini dengan sangat leluasa, dan tentu saja ini sangat
berbahaya, sebab pemerintahan akan dijalankan berdasarkan “untung-rugi” yang
dapat menyebabkan rakyat selalu menjadi korban.
Salah satu bahayanya, adalah kebijakan penguasa bisa
dipengaruhi oleh para saudagar/pengusaha atau kapitalis. Akibatnya, lahirlah
banyak kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan para saudagar/kapitalis,
bukan berpihak pada kepentingan rakyat.
Selain itu, ada bahaya yang sangat mengerikan jika
negeri ini dikendalikan oleh Pengpeng. Yakni, penegakan hukum pun bisa mereka “perjual-belikan”,
dan menyetirnya sesuka hati. Jika menyerempet (mengusik dapur) mereka, upaya
penegakan hukum akan dihentikan dengan berbagai alasan, termasuk alasan
mengganggu perekonomian.
Rezim saudagar juga membawa bahaya lainnya, yaitu
penanganan urusan rakyat dikelola dengan menggunakan logika saudagar (logika
bisnis). Rakyat diposisikan layaknya konsumen (pembeli) yang harus membayar
berbagai pelayanan negara.
Dan di saat bersamaan, negara diposisikan layaknya
penyedia/penjual barang dan jasa. Pengelolaan urusan rakyat pun dijalankan
dengan logika untung-rugi. Jika dianggap beban maka akan dihilangkan, seperti
subsidi. Dan ini sangat jelas bertentangan dengan konsep “penguasa negara/pemerintah”
sebagai pihak yang harus melayani dan melindungi rakyatnya.
Sehingga itu, negeri yang dipimpin oleh seseorang yang
giat menyatu-padukan sikapnya sebagai pengusaha dan penguasa (Pengpeng) sesungguhnya
adalah merupakan “mimpi” yang sangat buruk bagi rakyatnya. Sebab dalam perjalanannya
negeri tersebut akan senantiasa diwarnai KKN, kesewenang-wenangan makin merajalela, termasuk dapat menyumbat "denyut" demokrasi dengan cara-cara yang tak sehat, misalnya dengan suap, kongkalikong, dan lain sebagainya.
Wahai seluruh rakyat di negeri ini, bukalah mata lebar-lebar, jauhkan pemikiran subjektif (kesukuan, kedaerahan, satu rumpun keluarga, dll), lalu lihatlah kondisi negeri kita saat ini yang begitu sudah sangat parah.
Wahai seluruh rakyat di negeri ini, bukalah mata lebar-lebar, jauhkan pemikiran subjektif (kesukuan, kedaerahan, satu rumpun keluarga, dll), lalu lihatlah kondisi negeri kita saat ini yang begitu sudah sangat parah.
Lihatlah! Mafia-mafia bermunculan, dan korupsi terjadi
di mana-mana tak hanya terjadi di lembaga yudikatif, peradilan, tetapi juga ada
di legislatif dan eksekutif. Dan kondisi yang sangat parah ini sesungguhnya
telah diketahui oleh rakyat dan juga pemerintah.
Namun lucu dan anehnya, pemerintah hingga detik ini sepertinya
telah kehilangan kekuasaan dan sangat lemah untuk mengatasi masalah-masalah
tersebut. Mengapa? Karena negeri yang demokrasi ini sepertinya telah berubah
menjadi negeri kleptokrasi, yakni negeri yang dipimpin oleh para pencuri kelas
kakap.
Dan hal tersebut pernah dibenarkan oleh advokat senior (alm) Adnan
Buyung Nasution, dan juga diakui oleh pengajar Komunikasi Politik Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Gun Gun Heryanto, yang mengatakan ”Indonesia semakin terperangkap dalam pusaran kleptokrasi.”
Olehnya itu, jika mencermati ulasan dari atas, maka sangat
jelas bahwa betapa rusak dan fatalnya negeri ini jika dipimpin oleh seorang
yang “Pengpeng”. Dan jika saat ini ada pihak-pihak yang membela “keleluasaan
dan keserakahan” Pengpeng yang di dalam pemerintahan sangat jelas cenderung memanfaatkan
jabatannya untuk makin memperkaya diri, maka pihak-pihak tersebut adalah bagian
dari Pengpeng, sang perusak demokrasi dan perekonomian rakyat di negeri ini.
Sehingganya, jangan heran jika para buruh pun hingga saat ini selalu saja sengsara
akibat kebijakan-kebijakan yang hanya
menguntungkan Pengpeng.
Salam perubahan dan kebangkitan bangsa menuju
Indonesia Hebat. Dan selamat hari Buruh “May Day” 1 Mei 2016, semoga negeri ini
terbebas dari “Pengpeng”, amiinn..!!!