(AMS, Artikel)
SANGAT terasa, dan sungguh amat terasa. Yakni, “agenda”
Reshuffle Kabinet Kerja jilid II kali ini benar-benar terasa sangat “panas”.
Panas, bukan karena sangat ramai diperbincangkan hingga
ke warung-warung kopi hangat. Tetapi, sangat terasa panas karena diduga kuat adanya
desakan keras dari kubu Jusuf Kalla (JK) terhadap Presiden Jokowi agar segera
melakukan reshuffle.
Andai memang benar JK telah mendesak dengan keras Presiden
Jokowi agar segera melakukan reshuffle kabinet, maka itu berarti JK sedang
memunculkan “kegaduhan” baru.
Namun sungguh disayangkan, kegaduhan reshuffle
tersebut dimunculkannya bukan karena adanya menteri yang terdekteksi KKN,
melainkan diduga dan lebih cenderung karena adanya menteri yang dinilai telah
mengusik “kepentingan” di balik bisnisnya (JK).
Dan jika memang demikian, maka kegaduhan reshuffle
dari JK tersebut sepertinya bukan untuk mengusir “tikus-tikus”. Tetapi sangat
boleh jadi adalah untuk memanggil “kawanan tikus” dengan jumlah yang lebih
banyak lagi. Dan hal seperti ini biasa dalam “strategi peperangan”, yakni ketika
salah satu pihak sudah merasa terdesak, maka pihak tersebut pasti sangat mengharap
adanya “pasukan” tambahan untuk memperkuat benteng pertahanan.
Dan meski tanpa melibatkan penajaman analisis pun, apabila
ingin jujur mengamati situasinya seperti yang digambarkan di atas (tentang
tikus dan strategi peperangan), maka kiranya tak sulit menemukan apa yang
menjadi penyebab JK begitu sangat keras mendesak Presiden Jokowi untuk segera
melakukan reshuffle kabinet.
Desakan keras itu bahkan “dibocorkan” oleh orang dekat
JK sendiri. Bahwa, JK memang sudah sejak lama mendesak dengan tekanan kalimat
keras kepada Presiden Jokowi agar segera melakukan reshuffle kabinet: “Pilih saya atau dia,” ujarnya menirukan ucapan JK kepada Presiden Jokowi. Dan “dia”
yang dimaksud ternyata adalah Rizal Ramli.
Kenapa harus Rizal Ramli? Sebab, dari dulu (sejak era
SBY) hingga kini tak ada satu menteri atau seorang pejabat pun (kecuali kini
satu-satunya Rizal Ramli) yang berani melawan dan “mengusik kelakuan” JK. Yakni
kelakuan yang sangat lebih cenderung MEMANFAATKAN KEKUASAAN/JABATANNYA untuk
memuluskan bisnis perusahaannya. Dan jika ada menteri yang berani, maka reshuffle
menjadi pilihan yang tak bisa ditawar-tawar. Dan kiranya inilah yang sedang
kembali “dipamerkan” oleh JK.
Mengapa Rizal Ramli berani mengusik kelakuan JK
tersebut? Secara umum, tentulah karena kelakuan JK seperti itu sangat kental diwarnai
dengan kegiatan KKN. Dan secara khusus, karena Rizal Ramli sejak sebagai
aktivis mahasiswa telah berani tampil memimpin aksi pergerakan melawan Suharto,
meski di saat itu ia harus dipenjara oleh rezim Orba hanya karena sangat ingin mewujudkan
cita-cita Trisakti.
Dan lihatlah, apa yang diperjuangkan (dikepret) oleh Rizal
Ramli di dalam pemerintahan saat ini seluruhnya adalah sangat relevan dengan
cita-cita Trisakti. Sementara apa yang sedang digiatkan JK (sejak mendampingi
SBY) boleh dikata sangat berlawanan dengan TRISAKTI, yakni “TRISAKIT”.
Kalau Trisakti yang sedang diperjuangkan oleh Presiden
Jokowi saat ini, adalah mencakup 3 cita-cita yang menjadi kehendak rakyat menuju
Indonesia Hebat, yakni:
TRISAKTI :
1. Berdaulat dalam bidang politik;
2. Berdikari dalam bidang ekonomi; dan
3. Berkepribadian dalam kebudayaan.
Sedangkan “Trisakit” yang sepertinya sedang diperjuangkan
oleh JK saat ini, adalah juga mencakup 3 cita-cita, namun itu nampaknya hanya menjadi
kehendak pribadi dan kelompok tertentu saja menuju Indonesia Hancur, yakni:
“TRISAKIT”
1. Berbisnis dalam bidang politik
2. “Bermuncikari” dalam bidang ekonomi, dan
3. Berkepribadian ganda sebagai pengusaha dan penguasa.
Disebut “TRISAKIT” karena ketiganya jika berhasil
dilakukan, dilaksanakan dan diwujudkan dengan baik, maka diyakini hanya membuat
hati rakyat menjadi tersakiti, juga dipastikan kedaulatan bangsa dan negara
ini hanya dikuasai secara tidak SEHAT oleh orang-orang yang seolah-olah ingin
berbakti dan mengabdikan dirinya secara tulus, tetapi terselip kepentingan
besar untuk memperkaya diri dan kelompoknya saja dengan bermain cantik dan
licik. Sehingga jika “TRISAKIT” ini dibiarkan menjadi sebuah “tradisi” di dalam
setiap suksesi kepemimpinan di negeri ini, maka Indonesia hanya akan menemui
KEHANCURAN.
Olehnya itu, jika dihubungkan dengan desakan keras JK yang
bernada mengancam kepada Presiden Jokowi dengan melontarkan kalimat: “Pilih
saya atau dia (Rizal Ramli)”, maka sesungguhnya inilah saat yang paling tepat
buat Presiden Jokowi untuk benar-benar memilih yang mana: “Pilih Rizal Ramli
atau JK” = “Pilih Trisakti atau Trisakit”?
Disebut saat yang paling tepat, sebab cita-cita “Trisakit”
ini (mohon jangan salah eja) sebetulnya sudah berlangsung sejak 12 tahun silam, cuma
di waktu itu rezim yang berkuasa tidaklah menjadikan Trisakti sebagai “landasan
ideologi” di dalam kabinetnya.
Sehingganya, silakan Bapak Jokowi mengunakan hak
prerogatif yang Bapak miliki sebagai presiden, dan rakyat saat ini ingin melihat Bapak Presiden berpihak
dan memilih yang mana.
Dan setelah Bapak Presiden sudah memilih, maka di saat bersamaan rakyat tentu dengan sendirinya sudah mampu melihat dengan mata telanjang, tidak berandai-andai dan mengira-ngira lagi tentang posisi Bapak.
Atau dengan kata lain, ketika Bapak Presiden sudah memilih salah satu di antara keduanya, maka di saat itulah akan sangat terlihat di mana sesungguhnya keberpihakan serta kehormatan Bapak Presiden berada.
Dan setelah Bapak Presiden sudah memilih, maka di saat bersamaan rakyat tentu dengan sendirinya sudah mampu melihat dengan mata telanjang, tidak berandai-andai dan mengira-ngira lagi tentang posisi Bapak.
Atau dengan kata lain, ketika Bapak Presiden sudah memilih salah satu di antara keduanya, maka di saat itulah akan sangat terlihat di mana sesungguhnya keberpihakan serta kehormatan Bapak Presiden berada.