(AMS, Artikel)
SEBAGIAN besar orang Indonesia mengenal Abu Nawas sebagai
“sosok legendaris” yang sangat licik dan penuh lelucon. Ia menggunakan
kecerdikannya dengan memutarbalikkan logika secara licik.
Disebut demikian, karena kelicikannya mampu membalikkan
“situasi”, misalnya pada suatu kebenaran menjadi pembenaran untuk hanya “memenangkan”
kepentingan tertentu.
Itulah pada zamannya, jika seorang raja dianggap
mencontoh sikap Abu Nawas, maka raja tersebut dapat dianggap sebagai raja serakah
yang tak punya wibawa dan kehormatan. Sebab, setiap tindakannya yang salah bisa
dapat dibalik menjadi benar dengan menggunakan pola kelicikan Abu Nawas. Dan
pola licik seperti ini tentu saja sangat tidak sehat dan hanya merugikan orang
banyak.
Dan pada zaman sekarang, publik pun menilai bahwa hingga
saat ini sejumlah pejabat di negeri ini ada yang menganut “sikap Abu Nawas” di
dalam pemerintahan demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari negara.
Dan salah satu pejabat yang diduga kuat sangat menonjol saat ini sebagai “Abu
Nawas” adalah Jusuf Kalla (JK).
Siapa yang tak kenal JK? Ya, seorang pengusaha lokal
yang tiba-tiba berhasil membuat bisnisnya meroket dan menggurita di mana-mana, hingga kemudian
sangat sukses menjadi pengusaha papan atas di negeri ini setelah dirinya mampu
menjelma menjadi seorang pejabat negara.
Olehnya itu, JK saat ini di mata publik boleh dikata lebih
“identik” dan lebih cocok disebut sebagai seorang pengusaha serakah pro-bisnis daripada
seorang pejabat negara yang pro-rakyat.
Presiden Jokowi memang juga adalah seorang pengusaha,
tetapi selama diberi kepercayaan sebagai pejabat negara, Jokowi tak punya
ambisi besar memanfaatkan jabatannya untuk membesarkan dan menguntungkan
perusahaannya.
Tengok saja ketika menjabat sebagai Walikota Solo
periode 2005 hingga 2012. Menurut banyak pihak, Jokowi tidak pernah mengizinkan putera sulungnya yang berbisnis katering untuk mengerjakan proyek-proyek
Pemkot. Namun nanti ketika Jokowi naik jadi Gubernur di DKI, puteranya itu pun
baru mulai mengerjakan proyek Pemkot Solo.
Begitupun dengan Ridwan Kamil, yang punya perusahaan konsultan arsitektur berkelas internasional bernama “Urbane”. Ketika diberi
kepercayaan menjadi Walikota Bandung, Ridwan Kamil langsung meminta perusahaannya
untuk tidak aktif mengejar proyek.
“Saya akan vakum sejenak. Etiknya kan saya tidak boleh mroyek
(memberi dan menerima proyek bisnis untuk perusahaannya). Saya sendiri yang
melarang Urbane ambil proyek pemerintah di Bandung selama saya menjabat. Takut
jadi fitnah,” ujar Ridwan Kamil.
Dan bukan hanya proyek pemerintah, Ridwan juga
melarang perusahaannya mencari proyek swasta. “Sama, (proyek swasta) tidak
juga. Ini sebenarnya merugikan buat kantor (perusahaan) saya. Memang, aturan
ini tidak tertulis. Tapi saya tidak mau jadi perbincangan di belakang. Rezeki mah Allah yang mengatur,” ujar Ridwan.
Selain Jokowi dan Ridwan, saat ini juga ada sosok
Rizal Ramli yang memang sejak dulu, baik di dalam maupun di luar pemerintahan yang
senantiasa tegas memperlihatkan keberpihakannya kepada rakyat, yakni secara tegas
dan keras menolak pihak-pihak yang memanfaatkan jabatannya dengan berbisnis untuk mendapatkan keuntungan
berlipat-lipat dari negara.
Sikap yang diperlihatkan oleh Jokowi sejak menjabat
Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga kini sebagai Presiden RI, juga
dengan Ridwan Kamil dan Rizal Ramli, diharapkan seharusnya bisa dicontohi oleh
JK.
Sayangnya, harapan seperti ini nampaknya terbalik. Artinya,
JK yang seharus diharapkan bisa memberi contoh yang baik kepada pejabat yang
usianya jauh lebih muda dibanding dirinya, malah itu tidak terjadi. Karena pada
kenyataannya JK-lah yang kelihatannya harus mencontoh sikap dari pejabat muda
seperti Presiden Jokowi, Ridwan Kamil, Rizal Ramli dan sejumlah pejabat
pro-rakyat lainnya.
Dan memang, jika ingin disebut sebagai negarawan yang
telah senior arif dan bijaksana, maka JK memang seharusnya malu terhadap
Presiden Jokowi, Ridwan Kamil, Rizal Ramli dan para pejabat pro-rakyat lainnya
serta kepada rakyat, bukan malah tambah serakah mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya
dari negara.
Artinya, JK sepatutnya segera dan cepat-cepat menyetop
ambisi dan nafsu bisnisnya di dalam pemerintahan. Bukan tambah tua dengan tambah
kaya-raya, lalu tambah merasa lebih berkuasa dengan seolah-olah negara ini
milik pribadi dan perusahaan sendiri. Bukan begitu seorang negarawan!
Memang betul, JK sudah pernah dua kali menjadi menteri,
dua kali menjadi wapres. Dan JK bahkan pernah dianugerahi sebagai “Bapak
Perdamaian” atas keterlibatannya selaku “penengah” pada sejumlah daerah konflik
di tanah air.
Tetapi, semua itu tidak harus berarti membiarkan
secara leluasa seorang seperti JK untuk seenaknya “melahap” uang negara, yakni
dengan cara mengajak keluarga juga koleganya untuk memonopoli dan mendominasi
bisnis di dalam pemerintahan secara sesuka hati.
Kasihan para pahlawan kita juga dulu rela mengorbankan
nyawanya untuk kebaikan negeri ini. Tetapi lihatlah! Meski para pahlawan itu
telah berjasa besar, namun para keluarga mereka tidak harus merasa tinggi hati,
atau arogan, dan merasa sok menguasai negeri ini, tidak seperti itu! Malah di
sana-sini kondisi anak-cucuk pahlawan kita saat ini banyak yang hidupnya susah
dan miskin.
Olehnya itu, pihak-pihak lain sebaiknya tidak
menjadikan alasan karena “Bapak Perdamaian” lalu membiarkan JK seenaknya memanfaatkan
serta menyalahgunakan jabatan dan kekuasaannya untuk menguasai bisnis secara kongkalikong
dan tidak fair. Janganlah seperti
itu!
Sebab jangan lupa, jika pejabat sudah tidak fair, maka
sangat bisa disebut ia telah melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Sebetulnya ada sangat banyak bertebaran informasi yang bisa dijadikan indikasi, bahwa betapa JK sangat lebih cenderung memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan bisnisnya.
Dan yang sedang ramai dibicarakan saat ini adalah
kabar yang menyebut, bahwa ada proyek anak JK yang dinilai telah “merampok” Pertamina.
Yakni, disebutkan PT Bumi Sarana Migas (BSM, Grup perusahaan JK) yang dipimpin oleh Solihin Kalla, anak Jusuf Kalla, telah mendapatkan proyek pembangunan terminal penyimpanan dan re-gasifikasi LNG Bojanegara di Banten senilai US$500 juta
(Rp.6,5 Triliun). Pokok-pokok kesepakatan (head of agreement/HoA) pun telah
diteken oleh BSM dengan pertamina, 1 April 2015 yang lalu.
Berdasarkan catatan Bisnis, proyek terminal
re-gasifikasi LNG Bojanegara tersebut direncanakan berkapasitas 500 juta mmscfd (Million Standard Cubic Feet per Day). Dan Pertamina akan menggunakan fasilitas tersebut
selama 20 tahun untuk regasifikasi LNG.
Belakangan, proyek tersebut memunculkan aroma tak
sedap. Lalu tercium ke berbagai pihak, seperti sejumlah LSM, aktivis, pengamat
serta sejumlah kalangan lainnya.
Tak luput International NGO for Indonesia Development
(INFID) juga melihat indikasi adanya penyalahgunaan kewenangan dan nepotisme dalam proyek pembangunan terminal LNG (Liquefied Natural Gas/Gas Alam Cair) di
Bojonegara-Banten, Jawa Barat tersebut.
Melalui Khoirun Nikmah selaku Program Manager INFID mengatakan,
bahwasanya tidak wajar bila PT Bumi Sarana Migas milik anak Wapres JK, yakni
Solihin Kalla mendapat proyek tersebut tanpa melalui proses tender dari PT
Pertamina (Persero). Dan menurutnya, hal tersebut telah menabrak dan melanggar
Perpres.
“Proyek di atas Rp.5 Miliar berdasarkan Peraturan
Presiden (Perpres) No.4 tahun 2015 harus ada tender. Menurut saya seluruh
perusahaan harus diperlakukan sama dan pemerintah termasuk BUMN juga berlaku
adil dengan semua perusahaan,” tutur Khoirun, yang juga aktivis alumni
Universitas Brawijaya itu kepada Aktual.com, Selasa (12/4)
Dan inilah jawaban dari pihak Pertamina yang terkesan “Abu
Nawas”. Yakni, menurut penjelasan Vice President Corporate Communication
Pertamina, Wianda Pusponegoro, persetujuan kerjasama itu hanya berdasarkan
feasibility study.
“Pertimbangan itu lebih ke arah pengajuan feasibility study dari PT Bumi Sarana Migas,” kata Wianda. Artinya, hanya karena BSM sudah dianggap memiliki beberapa partner dan berpengalaman melakukan konstruksi, sehingga ini kemudian yang membuat Pertamina harus menabrak Perpres dan serta-merta menunjuk BSM untuk mengerjakan proyek tersebut.
“Pertimbangan itu lebih ke arah pengajuan feasibility study dari PT Bumi Sarana Migas,” kata Wianda. Artinya, hanya karena BSM sudah dianggap memiliki beberapa partner dan berpengalaman melakukan konstruksi, sehingga ini kemudian yang membuat Pertamina harus menabrak Perpres dan serta-merta menunjuk BSM untuk mengerjakan proyek tersebut.
Mendengar alasan “konyol” dari Pertamina tersebut kemudian
mengundang reaksi keras dari sejumlah kalangan.
“Enak jadi anak Wakil Presiden, semua proyek basah
gampang diperoleh tanpa lelang (tender), hanya punya feasibility studi Pertamina
langsung mau dengan PT Bumi Sarana Migas,” sindir Ucok SkyKhadafi selaku Direktur Center for Budget Analysis (CBA).
Karena sangat sarat unsur kolusi dan nepotisme, CBA
pun mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar melakukan audit investigasi
atas potensi kerugian yang diderita oleh negara akibat dikelola pihak swasta,
karena dia berkeyakinan pihak Pertamina punya kemampuan untuk menangani sendiri
proyek itu.
Selanjutnya, CBA juga meminta DPR agar segera
membentuk Pansus guna menyelidiki proyek yang menurutnya tidak masuk akal, -Abu
Nawas, gitu!
“Biasanya proyek seperti ini Pertamina sangat serakah,
kok kali ini Pertamina pasrah? Ini mencurigakan karena sumber daya pertamina
sanggup mengerjakan proyek ini,” pungkasnya.
Penilaian sama juga datang dari Ketua Umum Federasi
Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu, Arief Poyuono, yang menduga kuat adanya
kongkalikong dari proyek itu, serta menolak keras alasan “ngawur” dari pihak
Pertamina tersebut.
“Ini (alasan Pertamina) feasibility study Gaya Abu Nawas
dari PT Bumi Sarana Migas milik keluarga Wapres JK, yang pasti pelanggaran yang
dilakukan oleh Direksi Pertamina yakni melanggar UU Persaingan Usaha, yaitu ada
dugaan konspirasi tanpa melalui tender terbuka,” lontar Arief.
Arief menyebutkan, biaya dan resiko dalam kerjasama
dengan PT BSM sangat merugikan negara. Sebab, semua resiko pembangunan pipa
sepanjang 150 Km ditanggung Pertamina. Artinya, infrastruktur jaringan pipa gas
ke Muara Tawar, itu yang bangun Pertamina, tapi anehnya kepemilikan saham
Pertamina hanya 15% di Stasiun Fasilitas Pendukung untuk LNG itu.
Kemudian, disebutkan juga, bahwa semua keterlambatan
pasokan gas LNG ke Stasiun Fasilitas Pendukung LNG ke konsumen ditanggung oleh
Pertamina, sedangkan PT BSM tidak menanggung resiko apapun.
“Semua resiko dilimpahkan ke Pertamina. Lalu mana
resiko yang harus ditanggung oleh PT BSM? Di sini BSM hanya jadi broker untuk
mencari pendanaan pada proyek fasilitas pendukung LNG dari Tokyo Gas dan
Mitsui,” ungkapnya.
Bukan hanya itu, menurutnya, proyek ini merupakan
bentuk "perampokan" terhadap Pertamina, karena sesunggunya Pertamina mampu
mengerjakan proyek ini tanpa harus melakukan kerjasama dengan PT BSM.
“Kalau untuk proyek ini, Pertamina bisa jalan sendiri
kok, atau mengandeng Pertagas. Pertamina kan
pemasok Gas LNG yang baru punya pesaing yaitu PGN. Artinya Pertamina punya
captive-market sendiri dan market-leader di sektor penjualan LNG,” ujarnya.
Olehnya itu dengan tegas, bersama sejumlah LSM, aktivis dan
pihak-pihak lainnya, Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu itu pun mengaku akan
melaporkan masalah tersebut ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yakni
dengan dugaan adanya persekongkolan jahat dalam tender.
Selain ke KPPU, mereka tersebut juga bertekad akan melaporkan
ke KPK karena proyek ini diduga syarat dengan korupsi dan gratifikasi. Dan
semua langkah tersebut akan diikuti juga dengan melayangkan surat resmi ke DPR
untuk membatalkan proyek tersebut. “Kalau model kerjasamanya seperti ini, (maka)
diduga petinggi Pertamina atau petinggi di kementerian BUMN yang titip saham di
proyek ini,” pungkas Arief.
Dan juga jangan lupa, bahwa bukankah saat ini yang menjabat sebagai
Komisaris Utama di Pertamina adalah sahabat JK sejak SMA, yakni Tanri Abeng, yang juga mantan Menteri BUMN yang pertama di era
Orde Baru, dan tentu saja ini patut diduga adalah untuk memperkuat posisi JK connection bisnis di Pertamina?
Hiduup... Abu Nawas...!!!