Monday 4 April 2016

Reshuffle Kabinet tak Efektif Jika Masih Ada Sosok Matahari Kembar yang Mencari Mata-pencaharian Ganda dalam Pemerintahan?


(AMS, Artikel)
USIA perjalanan pemerintahan Presiden Jokowi saat ini telah memasuki hitungan 1 tahun 5 bulan. Dan hingga pada usia ini, boleh dikata belum banyak kinerja yang patut dibanggakan dan ditunjuk sebagai prestasi gemilang untuk dipersembahkan kepada rakyat.

Yang ada hanyalah langkah pemerintahan yang saat ini nampak berjalan secara sempoyongan, hingga cenderung kehilangan arah dan melenceng dari tujuan yang ingin dicapai, yakni mewujudkan Trisakti. Mengapa?

Sangat bisa ditebak. Yakni karena di dalam pemerintahan saat ini telah terjadi “matahari kembar”. Yaitu terdapat sosok Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) yang lagi-lagi kerap bertindak seolah-olah sebagai presiden. Entah hal itu dilakukan secara sadar atau tidak, yang jelas, JK disebut-sebut juga pernah bertindak sebagai “matahari kembar” ketika mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dan ketika itu peran JK sangat dominan dibanding SBY.

Pada era pemerintahan SBY, tak sedikit “kelakuan” JK sebagai wapres mengarah seolah-olah selaku presiden atau matahari kembar. Beberapa “kelakuan” JK tersebut dapat ditengok pada sejumlah kegiatan.

Misalnya,Pengadaan Helikopter Bencana (2006): Sebagai Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi  (pada pascabencana Tsunami di Aceh dan Nias), JK memerintahkan pembelian 12 helikopter bekas dari Jerman. Helikopter jenis BO 105 itu dibeli melalui PT. Air Transport Services (ATS), perusahaan yang terafiliasi dengan Bukaka (grup perusahaan milik JK).

Pada November 2006, helikopter tersebut tiba di Indonesia, tapi tak bisa langsung dioperasikan. Bea Cukai menyegelnya karena PT. ATS belum membayar pajak impor Rp 2,1 Miliar. Namun tiba-tiba, pada 7 Desember 2006, Presiden SBY menulis memo kepada Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan untuk mencabut segel helikopter tersebut. Usut demi usut, memo itu ternyata dibuat atas permintaan lisan JK. Alasannya, pembelian itu tidak bermasalah.

Kemudian Pembangunan Proyek Jalan Tol (2007): Kantor Wakil Presiden membuat rancangan peraturan baru tentang Jalan Tol. Semua ruas jalan tol trans-Jawa yang terbengkalai harus “diselamatkan” dengan cara pengalihan konsesi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005, penjualan konsesi tak diperbolehkan jika ruas jalan tol belum beroperasi.

Draf itu ditolak oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sri menolak bila proyek tol yang terkatung-katung diteruskan dengan cara merevisi peraturan. Kalla jalan terus dengan memutuskan pengalihan konsesi cukup dengan dasar surat keputusan Menteri Pekerjaan Umum. Maka, salah satu pemegang konsesi, PT Lintas Marga Sedaya, menjual sahamnya ke Expressway Berhad, perusahaan Malaysia. Lintas Marga adalah konsorsium yang antara lain dimiliki oleh PT Bukaka Teknik Utama (Grup perusahaan JK). Jadi, JK nampak sekali memaksakan sebuah kebijakan agar bisnisnya yang mandeg bisa dijual ke pihak lain.

Selanjutnya Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara (2007): Pembangkit listrik berkapasitas total 10 ribu megawatt ini rencananya digerakkan oleh Konsorsium Bangun Listrik Nasional yang terdiri atas PT. Bukaka Teknik Utama, PT. Bakrie & Brothers, PT. Medco Energi, PT. Inti Karya Persada Teknik (milik  Bob Hasan), dan PT. Tripatra (milik Iman Taufik, pemilik tak langsung PT Bumi Resources).

Pembiayaan proyek tersebut akan dikucurkan pemerintah lewat penerbitan surat utang 2,5 Miliar Dollar AS per tahun selama tiga tahun. Menurut  JK, untuk mempercepat proyek, tender perlu diubah menjadi lebih sederhana, yakni hanya melihat performa perusahaan. “Tendernya pun harus crashprogram. Kalau tidak begini, potensi kerugian per hari mencapai lebih dari Rp 100 Miliar,” ujar JK.

Sri Mulyani tak setuju pendanaan proyek ini karena dibiayai dana asing. Namun JK punya komentar sendiri yang bernada egois dan sangat arogan, “Presiden dan wakil presidenlah yang akan menanggung risiko, bukan menteri.”

Lalu Suspensi Saham Bakrie (2008): Bursa Efek Indonesia pada 7 Oktober 2008 menyetop perdagangan enam emiten dari Grup Bakrie, yakni PT. Bumi Resources Tbk, PT. Bakrie Sumatera Plantation Tbk, PT. Bakrieland Development Tbk,  PT. Bakrie & Brothers Tbk, PT. Energi Mega Persada Tbk, dan PT. Bakrie Telecom Tbk. Sebelum disuspen, harga saham perusahaan tersebut sedang menukik.

Sepuluh hari kemudian BEI mencabut suspensi untuk Bakrie Sumatera, Bakrieland, dan Bakrie Telecom. Pada awal November, bursa juga mencabut suspensi Bumi Resources. Akibatnya, harga saham perseroan kian melorot. JK berang dengan pencabutan suspensi itu. Menurut dia, pemerintah perlu memperpanjang suspensi saham PT. Bumi Resources dengan dalih melindungi pengusaha nasional. “Masak, Bakrie hanya sedikit dibantu satu-dua hari tidak boleh?,” katanya.

Hal-hal di atas adalah hanya sebagian contoh yang dapat ditunjuk sebagai penggambaran “matahari kembar” dari “kelakuan” JK sebagai wapres yang doyan bertindak menyerupai presiden. Dan hal itu dilakukan oleh JK karena diduga kuat agar bisa mendapatkan “mata-pencaharian ganda” di dalam pemerintahan, yakni selain sebagai penguasa juga sekaligus sebagai pengusaha.

Artinya, JK selain mendapat gaji dari negara sebagai wapres, di saat bersamaan ia juga mendapat kesempatan untuk menyedot keuntungan sebanyak-banyaknya dari negara dengan melibatkan secara “mulus” perusahaan-perusahaannya pada setiap proyek-proyek raksasa.

Dari situ saya pun berpandangan dari hati yang paling dalam sebagai rakyat, bahwa sejauh ini saya memandang JK bukanlah sosok negarawan yang benar-benar ingin mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat, melainkan hanyalah sosok yang lebih cenderung mengikuti naluri dan “syahwatnya” sebagai seorang pengusaha (pedagang) yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok tertentu (koleganya) dan keuntungan bisnisnya.

Coba ditengok saja, ketika menjabat Wapres, bisnis perusahaan JK dan keluarganya berkembang supercepat dan meroket. Yakni pada kurun lima tahun kekuasaannya (2004-2009), grup bisnis keluarga JK benar-benar kebanjiran memperoleh berbagai proyek skala besar. Dan sekali lagi, sungguh sangat enak menjadi seorang JK: “sudah dapat gaji dan fasilitas mewah dari negara, di saat bersamaan dapat keuntungan bisnis dari negara pula???”

Selain pada contoh di atas, “kelakuan” lainnya yang kerap menggambarkan JK sebagai sosok “matahari kembar” adalah misalnya, pada penentuan dan penunjukkan posisi menteri yang sedianya menjadi hak prerogatif presiden, diduga kuat kerap dikebiri oleh JK dengan memasukkan “orang-orangnya” sebagai menteri, baik di era SBY maupun di era Jokowi saat ini. Akibatnya, di dalam kabinet para menteri bekerja tidak satu komando. Sebab, menteri yang dimasukkan oleh JK sudah pasti hanya cenderung tunduk dan loyal kepada JK, demikian pula sebaliknya.

SEKJEN PDIP (HASTO) TEKANKAN PARA MENTERI HARUS SE-IDEOLOGI DENGAN PRESIDEN, YAKNI TRISAKTI

Dalam suatu wawancara di salah satu stasiun TV swasta seputar rencana reshuffle Kabinet Kerja jilid 2, Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto memaparkan, bahwa persoalan terkait dengan reshuffle merupakan hak prerogatif presiden.

Hasto menyebutkan, reshuffle dilakukan bukan untuk menyenangkan semua orang, tetapi dipakai untuk memperkuat konsolidasi pemerintahan agar Presiden Jokowi dapat mempercepat program-program kerakyatan yang menjadi komitmen Presiden Jokowi melalui Nawacita.

Untuk mencapai hal tersebut, Hasto setidaknya memaparkan tiga kriteria yang harus dimiliki oleh seorang menteri di dalam Kabinet Kerja. Yang pertama, menurut Hasto, adalah kapasitas leadership-nya. “Ini sangat penting, kapasitas leadership di dalam menjabarkan Trisakti yang menjadi komitmen ideologis dari Bapak Jokowi yang dijabarkan melalui nawacita,” ujar Hasto.

Dalam penjelasannya, Hasto dengan sangat terang menggambarkan betapa pentingnya merekrut seorang menteri yang memiliki roh dan jiwa Trisakti, serta hanya tunduk dan loyal kepada Presiden. Dan di mata publik tentu saja hal yang digambarkan Hasto tersebut telah tercermin pada diri Menko Rizal Ramli.

Sebab, selama ini memang Rizal Ramli adalah sosok Menteri Koordinator yang sangat jelas-jelas banyak menentang kebijakan yang nyata-nyata bertentangan dengan Trisakti, yakni kebijakan-kebijakan yang diduga lahir dari kubu JK. Sehingga tak heran, Rizal Ramli sejauh ini pula kerap berseteru dengan "orang-orang JK" yang berada di dalam pemerintahan. Bahkan terakhir, Rizal Ramli dengan terang-terangan mengatakan, "My boss is President Jokowi, not anybody else",-- Bos saya adalah Presiden Jokowi, bukan orang lain.

Pernyataan Rizal Ramli tersebut terlontar lantaran gerah dan geram melihat adanya sejumlah sikap dan kebijakan dari kubu JK yang dianggap tidak pro-kerakyatan yang ujung-ujungnya dapat memicu kejengkelan dan kebencian rakyat terhadap Presiden Jokowi. Olehnya itu Rizal Ramli sama sekali tak ingin rakyat membenci Presiden Jokowi karena "ulah" Wapres JK yang sejak era SBY memang doyan bertindak seolah-olah sebagai presiden.

Dalam konteks yang sama, Hasto juga menyebutkan, bahwa saat ini ada menteri-menteri yang justru tidak memahami pro-kerakyatan dari Presiden Jokowi. “Mereka (menteri-menteri tersebut) mendorong liberalisasi ekonomi, mereka hanya ngurus impor beras yang seharusnya Presiden Jokowi lebih memilih upaya untuk membangun kemampuan petani untuk berproduksi,” ujar Hasto.

Yang kedua sebagai syarat menteri, menurut Hasto, tentu saja aspek-aspek manajerialnya. “Bagaimanapun juga menjadi menteri dia bukan pegawai tinggi biasa, dia adalah sosok yang menguasai hal ikhwal kementerian yang dipimpinnya, dia adalah sosok pemerintahan sehari-hari sehingga dari kebijakan dan keputusan politik yang diambil untuk mempercepat berbagai penyelesaian persoalan-persoalan ekonomi yang menjadi tema sentral dari kampanye Bapak Jokowi itu harus menjadi kriteria utama,” tutur Hasto.

Selanjutnya yang ketiga, menurut Hasto lagi, adalah soliditas di antara jajaran kementerian itu sendiri. Karena seluruh kerja menteri merupakan sebuah kerja bersama di dalam Kabinet Kerja.

“Dia (para menteri) bukan mewakili orang-perorang. PDI Perjuangan sendiri sebagai partai pengusung ketika Ibu Mega memberi arahan kepada menteri-menteri yang berasal dari PDI Perjuangan komitmen kami lebih kepada komitmen ideologis (Trisakti). Mbak Puan, Mas Cahyo, Pak Laoly ketika menjadi menteri dengan Pak Puspayoga menjalankan tugas-tugas untuk menjalankan Trisakti, dan itulah mandat utama dari partai,” lontar Hasto.

Hasto pun menjelaskan, bahwa menteri adalah pembantu presiden, dia (menteri) menjalankan pemerintahan sehari-hari, loyalitas yang utama adalah kepada presiden itu sendiri.

“Menteri-menteri yang berasal dari PDI Perjuangan sekalipun loyalitas kepada partai dalam perspektif loyalitas kepada idiologi itu untuk menjabarkan bagaimana Indonesia berdaulat berdikari dan berkepribadian (Trisakti), itu yang diminta oleh partai bukan pada kemampuannya untuk mendatangkan sumberdaya bagi partai,” jelas Hasto.

Pada kesempatan tersebut, Hasto juga menegaskan, bahwa wajib hukumnya bagi menteri untuk loyal kepada Presiden (tentu saja bukan kepada lainnya, seperti wapres dan lain sebagainya), karena menteri adalah pembantu Presiden, sehingga menurut Hasto, tidak ada loyalitas ganda selain kepada Presiden tentunya.

Dari penjelasan dan uraian Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDI Perjuangan sebagai pihak pengusung utama Jokowi menjadi presiden tersebut, tentulah dapat ditarik kesimpulan, bahwa betapa reshuffle kabinet tidak akan efektif apabila hak prerogatif presiden dalam menentukan menteri harus dikebiri, pun dipengaruhi oleh seorang wapres dengan turut memaksakan kehendaknya untuk memasukkan atau mengeluarkan orang-orang (menteri) berdasarkan seleranya.

Dan apabila hal tersebut terjadi, maka kegaduhan akan terus terjadi pula. Sebab, orang-orang yang diangkat menjadi menteri atas permintaan atau “tekanan” dari wapres, maka menteri tersebut bisa dipastikan hanya tunduk dan patuh kepada wapres, bukan kepada presiden.

Lalu jika hal tersebut tetap harus terjadi, maka sesungguhnya itulah yang menjelaskan bahwa memang terdapat “matahari kembar”, yakni sama-sama memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sejajar tetapi tidak memiliki selera dan pandangan yang sama, satunya ke arah Barat, dan satunya lagi ke arah Timur. Lalu rakyat mau di bawah ke arah mana???