(AMS, Artikel)
USIA perjalanan pemerintahan
Presiden Jokowi saat ini telah memasuki hitungan 1 tahun 5 bulan. Dan hingga
pada usia ini, boleh dikata belum banyak kinerja yang patut dibanggakan dan
ditunjuk sebagai prestasi gemilang untuk dipersembahkan kepada rakyat.
Yang ada hanyalah langkah pemerintahan
yang saat ini nampak berjalan secara sempoyongan, hingga cenderung kehilangan
arah dan melenceng dari tujuan yang ingin dicapai, yakni mewujudkan Trisakti.
Mengapa?
Sangat bisa ditebak. Yakni karena
di dalam pemerintahan saat ini telah terjadi “matahari kembar”. Yaitu terdapat sosok
Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) yang lagi-lagi kerap bertindak seolah-olah
sebagai presiden. Entah hal itu dilakukan secara sadar atau tidak, yang jelas, JK
disebut-sebut juga pernah bertindak sebagai “matahari kembar” ketika
mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dan ketika itu peran JK sangat
dominan dibanding SBY.
Pada era pemerintahan SBY, tak
sedikit “kelakuan” JK sebagai wapres mengarah seolah-olah selaku presiden atau
matahari kembar. Beberapa “kelakuan” JK tersebut dapat ditengok pada sejumlah
kegiatan.
Misalnya,Pengadaan Helikopter Bencana
(2006): Sebagai Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi (pada pascabencana Tsunami
di Aceh dan Nias), JK memerintahkan pembelian 12 helikopter bekas dari Jerman. Helikopter
jenis BO 105 itu dibeli melalui PT. Air Transport Services (ATS), perusahaan
yang terafiliasi dengan Bukaka (grup perusahaan milik JK).
Pada November 2006, helikopter tersebut
tiba di Indonesia, tapi tak bisa langsung dioperasikan. Bea Cukai menyegelnya
karena PT. ATS belum membayar pajak impor Rp 2,1 Miliar. Namun tiba-tiba, pada
7 Desember 2006, Presiden SBY menulis memo kepada Menteri Keuangan dan Menteri
Perhubungan untuk mencabut segel helikopter tersebut. Usut demi usut, memo itu
ternyata dibuat atas permintaan lisan JK. Alasannya, pembelian itu tidak
bermasalah.
Kemudian Pembangunan Proyek Jalan
Tol (2007): Kantor Wakil Presiden membuat rancangan peraturan baru tentang Jalan
Tol. Semua ruas jalan tol trans-Jawa yang terbengkalai harus “diselamatkan”
dengan cara pengalihan konsesi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun
2005, penjualan konsesi tak diperbolehkan jika ruas jalan tol belum beroperasi.
Draf itu ditolak oleh Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sri menolak bila proyek tol yang
terkatung-katung diteruskan dengan cara merevisi peraturan. Kalla jalan terus
dengan memutuskan pengalihan konsesi cukup dengan dasar surat keputusan Menteri
Pekerjaan Umum. Maka, salah satu pemegang konsesi, PT Lintas Marga Sedaya,
menjual sahamnya ke Expressway Berhad, perusahaan Malaysia. Lintas Marga adalah
konsorsium yang antara lain dimiliki oleh PT Bukaka Teknik Utama (Grup
perusahaan JK). Jadi, JK nampak sekali memaksakan sebuah kebijakan agar
bisnisnya yang mandeg bisa dijual ke pihak lain.
Selanjutnya Pembangkit Listrik
Tenaga Batu Bara (2007): Pembangkit listrik berkapasitas total 10 ribu megawatt
ini rencananya digerakkan oleh Konsorsium Bangun Listrik Nasional yang terdiri
atas PT. Bukaka Teknik Utama, PT. Bakrie & Brothers, PT. Medco Energi, PT.
Inti Karya Persada Teknik (milik Bob
Hasan), dan PT. Tripatra (milik Iman Taufik, pemilik tak langsung PT Bumi
Resources).
Pembiayaan proyek tersebut akan
dikucurkan pemerintah lewat penerbitan surat utang 2,5 Miliar Dollar AS per
tahun selama tiga tahun. Menurut JK,
untuk mempercepat proyek, tender perlu diubah menjadi lebih sederhana, yakni hanya
melihat performa perusahaan. “Tendernya pun harus crashprogram. Kalau tidak
begini, potensi kerugian per hari mencapai lebih dari Rp 100 Miliar,” ujar JK.
Sri Mulyani tak setuju pendanaan proyek ini karena dibiayai dana asing. Namun JK punya komentar sendiri yang bernada egois dan sangat arogan, “Presiden dan wakil presidenlah yang akan menanggung risiko, bukan menteri.”
Sri Mulyani tak setuju pendanaan proyek ini karena dibiayai dana asing. Namun JK punya komentar sendiri yang bernada egois dan sangat arogan, “Presiden dan wakil presidenlah yang akan menanggung risiko, bukan menteri.”
Lalu Suspensi Saham Bakrie (2008):
Bursa Efek Indonesia pada 7 Oktober 2008 menyetop perdagangan enam emiten dari
Grup Bakrie, yakni PT. Bumi Resources Tbk, PT. Bakrie Sumatera Plantation Tbk,
PT. Bakrieland Development Tbk, PT.
Bakrie & Brothers Tbk, PT. Energi Mega Persada Tbk, dan PT. Bakrie Telecom
Tbk. Sebelum disuspen, harga saham perusahaan tersebut sedang menukik.
Sepuluh hari kemudian BEI
mencabut suspensi untuk Bakrie Sumatera, Bakrieland, dan Bakrie Telecom. Pada
awal November, bursa juga mencabut suspensi Bumi Resources. Akibatnya, harga
saham perseroan kian melorot. JK berang dengan pencabutan suspensi itu. Menurut
dia, pemerintah perlu memperpanjang suspensi saham PT. Bumi Resources dengan
dalih melindungi pengusaha nasional. “Masak, Bakrie hanya sedikit dibantu
satu-dua hari tidak boleh?,” katanya.
Hal-hal di atas adalah hanya
sebagian contoh yang dapat ditunjuk sebagai penggambaran “matahari kembar” dari
“kelakuan” JK sebagai wapres yang doyan bertindak menyerupai presiden. Dan hal
itu dilakukan oleh JK karena diduga kuat agar bisa mendapatkan “mata-pencaharian
ganda” di dalam pemerintahan, yakni selain sebagai penguasa juga sekaligus
sebagai pengusaha.
Artinya, JK selain mendapat gaji dari negara sebagai wapres, di saat bersamaan ia juga mendapat kesempatan untuk menyedot keuntungan sebanyak-banyaknya dari negara dengan melibatkan secara “mulus” perusahaan-perusahaannya pada setiap proyek-proyek raksasa.
Artinya, JK selain mendapat gaji dari negara sebagai wapres, di saat bersamaan ia juga mendapat kesempatan untuk menyedot keuntungan sebanyak-banyaknya dari negara dengan melibatkan secara “mulus” perusahaan-perusahaannya pada setiap proyek-proyek raksasa.
Dari situ saya pun berpandangan dari
hati yang paling dalam sebagai rakyat, bahwa sejauh ini saya memandang JK
bukanlah sosok negarawan yang benar-benar ingin mengabdikan diri untuk
kepentingan rakyat, melainkan hanyalah sosok yang lebih cenderung mengikuti
naluri dan “syahwatnya” sebagai seorang pengusaha (pedagang) yang lebih
mengutamakan kepentingan kelompok tertentu (koleganya) dan keuntungan bisnisnya.
Coba ditengok saja, ketika menjabat Wapres, bisnis perusahaan JK dan keluarganya berkembang supercepat dan meroket. Yakni pada
kurun lima tahun kekuasaannya (2004-2009), grup bisnis keluarga JK benar-benar kebanjiran
memperoleh berbagai proyek skala besar. Dan sekali lagi, sungguh sangat enak
menjadi seorang JK: “sudah dapat gaji dan fasilitas mewah dari negara, di saat
bersamaan dapat keuntungan bisnis dari negara pula???”
Selain pada contoh di atas, “kelakuan”
lainnya yang kerap menggambarkan JK sebagai sosok “matahari kembar” adalah
misalnya, pada penentuan dan penunjukkan posisi menteri yang sedianya menjadi
hak prerogatif presiden, diduga kuat kerap dikebiri oleh JK dengan memasukkan “orang-orangnya”
sebagai menteri, baik di era SBY maupun di era Jokowi saat ini. Akibatnya, di
dalam kabinet para menteri bekerja tidak satu komando. Sebab, menteri yang
dimasukkan oleh JK sudah pasti hanya cenderung tunduk dan loyal kepada JK,
demikian pula sebaliknya.
SEKJEN PDIP (HASTO) TEKANKAN PARA
MENTERI HARUS SE-IDEOLOGI DENGAN PRESIDEN, YAKNI TRISAKTI
Dalam suatu wawancara di salah
satu stasiun TV swasta seputar rencana reshuffle Kabinet Kerja jilid 2, Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto memaparkan, bahwa persoalan terkait dengan
reshuffle merupakan hak prerogatif presiden.
Hasto menyebutkan, reshuffle dilakukan
bukan untuk menyenangkan semua orang, tetapi dipakai untuk memperkuat
konsolidasi pemerintahan agar Presiden Jokowi dapat mempercepat program-program
kerakyatan yang menjadi komitmen Presiden Jokowi melalui Nawacita.
Untuk mencapai hal tersebut,
Hasto setidaknya memaparkan tiga kriteria yang harus dimiliki oleh seorang
menteri di dalam Kabinet Kerja. Yang pertama, menurut Hasto, adalah kapasitas
leadership-nya. “Ini sangat penting, kapasitas leadership di dalam menjabarkan
Trisakti yang menjadi komitmen ideologis dari Bapak Jokowi yang dijabarkan
melalui nawacita,” ujar Hasto.
Dalam penjelasannya, Hasto dengan
sangat terang menggambarkan betapa pentingnya merekrut seorang menteri yang memiliki
roh dan jiwa Trisakti, serta hanya tunduk dan loyal kepada Presiden. Dan di mata publik tentu saja hal yang digambarkan
Hasto tersebut telah tercermin pada diri Menko Rizal Ramli.
Sebab, selama ini memang Rizal Ramli adalah sosok Menteri Koordinator yang sangat jelas-jelas banyak menentang kebijakan yang nyata-nyata bertentangan dengan Trisakti, yakni kebijakan-kebijakan yang diduga lahir dari kubu JK. Sehingga tak heran, Rizal Ramli sejauh ini pula kerap berseteru dengan "orang-orang JK" yang berada di dalam pemerintahan. Bahkan terakhir, Rizal Ramli dengan terang-terangan mengatakan, "My boss is President Jokowi, not anybody else",-- Bos saya adalah Presiden Jokowi, bukan orang lain.
Pernyataan Rizal Ramli tersebut terlontar lantaran gerah dan geram melihat adanya sejumlah sikap dan kebijakan dari kubu JK yang dianggap tidak pro-kerakyatan yang ujung-ujungnya dapat memicu kejengkelan dan kebencian rakyat terhadap Presiden Jokowi. Olehnya itu Rizal Ramli sama sekali tak ingin rakyat membenci Presiden Jokowi karena "ulah" Wapres JK yang sejak era SBY memang doyan bertindak seolah-olah sebagai presiden.
Sebab, selama ini memang Rizal Ramli adalah sosok Menteri Koordinator yang sangat jelas-jelas banyak menentang kebijakan yang nyata-nyata bertentangan dengan Trisakti, yakni kebijakan-kebijakan yang diduga lahir dari kubu JK. Sehingga tak heran, Rizal Ramli sejauh ini pula kerap berseteru dengan "orang-orang JK" yang berada di dalam pemerintahan. Bahkan terakhir, Rizal Ramli dengan terang-terangan mengatakan, "My boss is President Jokowi, not anybody else",-- Bos saya adalah Presiden Jokowi, bukan orang lain.
Pernyataan Rizal Ramli tersebut terlontar lantaran gerah dan geram melihat adanya sejumlah sikap dan kebijakan dari kubu JK yang dianggap tidak pro-kerakyatan yang ujung-ujungnya dapat memicu kejengkelan dan kebencian rakyat terhadap Presiden Jokowi. Olehnya itu Rizal Ramli sama sekali tak ingin rakyat membenci Presiden Jokowi karena "ulah" Wapres JK yang sejak era SBY memang doyan bertindak seolah-olah sebagai presiden.
Dalam konteks yang sama, Hasto juga menyebutkan, bahwa saat ini ada menteri-menteri yang justru tidak memahami
pro-kerakyatan dari Presiden Jokowi. “Mereka (menteri-menteri tersebut) mendorong
liberalisasi ekonomi, mereka hanya ngurus impor beras yang seharusnya Presiden
Jokowi lebih memilih upaya untuk membangun kemampuan petani untuk berproduksi,”
ujar Hasto.
Yang kedua sebagai syarat menteri,
menurut Hasto, tentu saja aspek-aspek manajerialnya. “Bagaimanapun juga menjadi
menteri dia bukan pegawai tinggi biasa, dia adalah sosok yang menguasai hal
ikhwal kementerian yang dipimpinnya, dia adalah sosok pemerintahan sehari-hari
sehingga dari kebijakan dan keputusan politik yang diambil untuk mempercepat
berbagai penyelesaian persoalan-persoalan ekonomi yang menjadi tema sentral
dari kampanye Bapak Jokowi itu harus menjadi kriteria utama,” tutur Hasto.
Selanjutnya yang ketiga, menurut
Hasto lagi, adalah soliditas di antara jajaran kementerian itu sendiri. Karena
seluruh kerja menteri merupakan sebuah kerja bersama di dalam Kabinet Kerja.
“Dia (para menteri) bukan
mewakili orang-perorang. PDI Perjuangan sendiri sebagai partai pengusung ketika
Ibu Mega memberi arahan kepada menteri-menteri yang berasal dari PDI Perjuangan
komitmen kami lebih kepada komitmen ideologis (Trisakti). Mbak Puan, Mas Cahyo,
Pak Laoly ketika menjadi menteri dengan Pak Puspayoga menjalankan tugas-tugas
untuk menjalankan Trisakti, dan itulah mandat utama dari partai,” lontar Hasto.
Hasto pun menjelaskan, bahwa menteri
adalah pembantu presiden, dia (menteri) menjalankan pemerintahan sehari-hari,
loyalitas yang utama adalah kepada presiden itu sendiri.
“Menteri-menteri yang berasal
dari PDI Perjuangan sekalipun loyalitas kepada partai dalam perspektif
loyalitas kepada idiologi itu untuk menjabarkan bagaimana Indonesia berdaulat
berdikari dan berkepribadian (Trisakti), itu yang diminta oleh partai bukan
pada kemampuannya untuk mendatangkan sumberdaya bagi partai,” jelas Hasto.
Pada kesempatan tersebut, Hasto
juga menegaskan, bahwa wajib hukumnya bagi menteri untuk loyal kepada Presiden
(tentu saja bukan kepada lainnya, seperti wapres dan lain sebagainya), karena
menteri adalah pembantu Presiden, sehingga menurut Hasto, tidak ada loyalitas
ganda selain kepada Presiden tentunya.
Dari penjelasan dan uraian Hasto
Kristiyanto selaku Sekjen PDI Perjuangan sebagai pihak pengusung utama Jokowi
menjadi presiden tersebut, tentulah dapat ditarik kesimpulan, bahwa betapa
reshuffle kabinet tidak akan efektif apabila hak prerogatif presiden dalam
menentukan menteri harus dikebiri, pun dipengaruhi oleh seorang wapres dengan
turut memaksakan kehendaknya untuk memasukkan atau mengeluarkan orang-orang (menteri)
berdasarkan seleranya.
Dan apabila hal tersebut terjadi,
maka kegaduhan akan terus terjadi pula. Sebab, orang-orang yang diangkat
menjadi menteri atas permintaan atau “tekanan” dari wapres, maka menteri
tersebut bisa dipastikan hanya tunduk dan patuh kepada wapres, bukan kepada
presiden.
Lalu jika hal tersebut tetap harus terjadi, maka sesungguhnya itulah yang
menjelaskan bahwa memang terdapat “matahari kembar”, yakni sama-sama memiliki
kekuasaan dan kewenangan yang sejajar tetapi tidak memiliki selera dan pandangan yang
sama, satunya ke arah Barat, dan satunya lagi ke arah Timur. Lalu rakyat mau di
bawah ke arah mana???