Sunday 17 April 2016

Bukan Pejuang dan Pemimpin Jika Berharap Imbalan Lebih Dari Negara


(AMS, Semi-puisi)
TENGOKLAH sejarah penjajahan di negeri kita ini, wahai bangsaku....
Tengoklah sebentar saja di jendela hati kita masing-masing.
Maka di sana, kita akan sangat jelas melihat: tentang betapa besarnya nafsu para penjajah untuk mengusai kekayaan negeri kita. Bukan hanya penjajah dari luar, tetapi juga penjajah yang lahir di negeri ini.

Lalu, tengoklah pula sejarah perlawanan bangsa kita, wahai bangsaku....
Tengoklah, meski hanya sekilas di sela-sela dinding nurani kita masing-masing. Maka di sana, kita akan bisa sangat jelas memahami: Tentang mengapa pada masa silam para pejuang di negeri ini begitu amat membenci segala bentuk penjajahan?
Lihatlah....!!!
Ada Sultan Hasanuddin, seorang Raja dan Bangsawan Makassar. Beliau rela mengangkat badik, terjun memimpin sebagai pejuang di medan pertempuran, mempertaruhkan jiwa dan raganya.

Wahai bangsaku..., ketahuilah tentang sebuah fakta.
Bahwa, Sang Baginda Sultan Hasanuddin maju sebagai pemimpin dan pejuang, BUKAN karena beliau ingin mendapatkan proyek dan bisnis dari VOC, atau karena INGIN MENDAPATKAN IMBALAN LEBIH BESAR DARI NEGERINYA. Bukan... dan BUKAN karena semua itu!

Tetapi, Sang Baginda "Ayam Jantan dari Timur" itu memimpin dan berjuang, serta mengerahkan nyali otot-otot pengabdiannya, tak lain dan tak bukan adalah untuk mengepret dan mengibaskan sayapnya, guna mengusir serta menumpas segala bentuk KESERAKAHAN para penjajah. Sayangnya, Sang Baginda Sultan Hasanuddin berhasil ditaklukkan oleh VOC karena dibantu oleh Raja Bone, Bugis.

Dan tengoklah pula keperkasaan dan kegigihan Pangeran Diponegoro.
Beliau juga adalah seorang bangsawan Jawa yang tersohor, putra tertua Sultan Hamengku Buwono III. Namun beliau rela tampil sebagai pemimpin, serta berjuang dengan sangat perkasa dan gagah berani melawan penjajah benar-benar murni adalah untuk rakyat, dan sedikitpun bukan karena ingin agar mendapat imbalan yang lebih besar dari negeri ini.

Sayangnya, karena kesantunan Pangeran Diponegoro yang siap diajak berunding justru membuatnya tertangkap oleh Belanda. Dan inilah yang menjelaskan mengapa saat ini ada seorang pejabat negara yang lebih memilih "bersuara dan mengajak diskusi di depan publik" tentang suatu kebijakan yang dianggap "aneh" daripada diajak "berunding dan berkompromi" di balik dinding tertutup.

Dan mari melihat semua pahlawan kita di negeri ini.
Di Aceh, ada:
Teungku Chik di Tiro, Tjut Njak Dhien, Teuku Umar, Iskandar Muda, Cut Nyak Meutia, Teuku Muhammad Hasan, dan Teuku Nyak Arif.

Di Sumatera Utara, ada:
Sisingamangaraja XII, Abdul Haris Nasution, Adam Malik, Amir Hamzah, DI Panjaitan, Tahi Bonar Simatupang, Ferdinand Lumbantobing, Jamin Ginting, Kiras Bangun, dan Zainul Arifin.

Di Sumatera Barat, ada:
Tuanku Imam Bonjol, Abdul Muis, Agus Salim, Abdul Halim, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Abdul Malik Karim Amrullah, Adnan Kapau Gani, Bagindo Azizchan, Hazairin, Ilyas Yakoub, Mohammad Natsir, Muhammad Yamin, Rasuna Said,  dan Sutan Syahrir.

Di Riau dan Kepulauan Riau, ada:
Raja Haji Fisabilillah, Raja Ali Haji, Syarif Kasim II, dan Tuanku Tambusai.

Di Jawa Barat, ada:
Achmad Subarjo, Dewi Sartika, Eddy Martadinata, Gatot Mangkupraja, Iwa Kusumasumantri, Juanda Kartawijaya, Kusumah Atmaja, Maskun Sumadireja, Oto Iskandar di Nata, dan Zainal Mustafa.

Di Jawa Tengah, ada:
RA Kartini, Nyi Ageng Serang, Ahmad Rifa'i, Ahmad Yani, Alimin, Cipto Mangunkusumo, Gatot Subroto,  Janatin, Jatikusumo, Katamso Darmokusumo, Ki Sarmidi Mangunsarkoro, Mangkunegara I, Muhammad Mangundiprojo, Muwardi, Pakubuwono VI, Pakubuwono X, Saharjo, Samanhudi, Siswondo Parman, Siti Hartinah, Slamet Riyadi, Jenderal Sudirman, Albertus Sugiyapranata, Suharso, Sukarjo Wiryopranoto, Supeno, Supomo, Jenderal Suprapto, Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Tirto Adhi Suryo, Urip Sumoharjo, dan Yos Sudarso.

Di DI Yogyakarta, ada:
Hamengkubuwono I, Pangeran Diponegoro, Hamengkubuwono IX, Rajiman Wediodiningrat, Abdul Rahman Saleh, Ki Hajar Dewantara, Ahmad Dahlan, Agustinus Adisucipto, Fakhruddin, IJ Kasimo, Ki Bagus Hadikusumo, Siti Walidah, Sugiyono Mangunwiyoto, Sultan Agung, Suryopranoto, dan Wahidin Sudirohusodo.

Di Jawa Timur, ada:
Untung Surapati, Wahid Hasyim, Abdul Wahab Hasbullah, Cokroaminoto, Basuki Rahmat, Ernest Douwes Dekker, Halim Perdanakusuma, Harun Bin Said, Hasyim Asy'ari, Iswahyudi, Mas Isman, Mas Tirtodarmo Haryono, Mustopo, Sukarni, Ir. Sukarno, Supriyadi, Suroso, Suryo, Soetomo, Mas Mansur, dan Sutomo (Bung Tomo).

Di DKI Jakarta, ada:
Mohammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki, Pierre Tendean, dan WR Supratman.

Di Kalimantan ada:
 Abdul Kadir (Kalbar), Antasari, Hasan Basri, Idham Chalid (Kalsel), dan Cilik Riwut (Kalteng).

Di Sulawesi Selatan, ada:
Sultan Hasanuddin, Andi Abdullah Bau Massepe, Opu Daeng Risaju, La Maddukelleng, Andi Jemma, Andi Mappanyukki, Pongtiku, Pajonga Daeng Ngalie, Ranggong Daeng Romo, Robert Wolter Monginsidi, Andi Sultan Daeng Radja, dan Yusuf Tajul Khalwati.

Di Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo, ada:
Sam Ratulangi, Arie Frederik Lasut, Bernard Wilhelm Lapian, Lambertus Nicodemus Palar, Laksamana Muda John Lie, Maria Walanda Maramis (Sulut), Mohammad Yasin (Sultra), dan Nani Wartabone (Gorontalo).

Di Bali dan NTT, ada:
I Gusti Ngurah Made Agung, Ida Anak Agung Gde Agung, I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Ketut Jelantik, dan I Gusti Ketut Puja (Bali), Herman Johannes, Izaak Huru Doko, dan Wilhelmus Zakaria Johannes (NTT).

Di Maluku dan Papua, ada:
Nuku Muhammad Amiruddin, Pattimura, Martha Christina Tiahahu, Johannes Leimena, dan Karel Satsuit Tubun (Maluku), Frans Kaisiepo, Johannes Abraham Dimara, Marthen Indey, dan Silas Papare (Papua).

Mereka-mereka itu pahlawan bangsa yang telah berjuang dan sebagian besar pernah tampil sebagai sosok pemimpin, yang rela mengorbankan jiwa dan raganya tanpa berharap IMBALAN LEBIH DARI NEGARA, apalagi memanfaatkan jabatan atau kedudukannya dalam menghisap keuntungan dari negara.

Juga, semua pahlawan tersebut, maupun para pejuang yang masih hidup saat ini hanya hidup sederhana, dan bahkan tak sedikit yang miskin. Sebab, sekali lagi mereka berjuang dan tampil sebagai pemimpin tidak berharap imbalan lebih  dari negara.

Dan sekarang, cobalah buka lebar-lebar mata pikiran dan hati kita, wahai bangsaku....
Lalu tengoklah... kondisi negeri kita pada saat ini di relung kejujuran yang paling dalam. Maka akan sangat terlihat dengan jelas, bahwa saat ini justru ada sosok yang mengaku ingin berjuang dan mengabdikan dirinya sebagai pemimpin, tetapi kenyataannya justru sangat kelihatan berharap (bernafsu) untuk mengais KEUNTUNGAN DAN IMBALAN YANG LEBIH  DARI NEGARA sebagai pengusaha. Dan ini bukan fitnah, tetapi sebuah kenyataan.

Dan para pahlawan kita yang telah rela menumpahkan darahnya sebagai pejuang di negeri ini pun, sesungguhnya sangat tahu persis, bahwa hanya mereka-mereka yang BERNAFSU untuk mendapatkan IMBALAN LEBIH dengan cara menghisap keuntungan dari negaralah yang pantas disebut sebagai SOSOK PENJAJAH YANG SERAKAH, dan penjajah yang dimaksud adalah penjajah dari LUAR maupun dari DALAM negeri sendiri, yang jika diberi kepercayaan "memegang bendera" (berkuasa), maka bendera pun tentu akan digerogoti dan dilahapnya.

Olehnya itu, (segala bentuk) penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan!

Salam Kebangkitan menuju Perubahan Indonesia lebih Hebat yang bebas dari segala bentuk penjajahan.