Sunday 24 April 2016

Saya Hanya Bangga dan Sangat Hormat Kepada Pejabat Negara Seperti Baharuddin Lopa


(AMS, Artikel
MEMBACA dan memperhatikan seluruh komentar yang ada pada setiap postingan artikel di halaman Fan-Page saya, terutama artikel yang menyangkut “kelakuan” Jusuf Kalla (JK) yang cenderung mencampur-adukkan urusan bisnis keluarga dan urusan negara di dalam pemerintahan, membuat saya bisa tahu siapa-siapa yang benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat, juga siapa-siapa yang mendukung “kelakuan” JK itu. Yakni sebuah “kelakuan” yang menjadi salah satu penyebab Presiden Soeharto dilengserkan.

Dan umumnya, komentar-komentar (pihak-pihak) yang membela JK bisa muncul adalah hanya karena faktor satu suku, ---sekali lagi hanya faktor satu suku. Jelas saja itu sangat-sangatlah subjektif, dan bahkan boleh dikata sangat picik.

Sebab, saya menulis artikel-artikel tersebut berdasar dari pandangan-pandangan publik (yang terdiri banyak suku di NKRI ini), dan berharap tanggapan dari apa yang saya tulis tersebut kepada semua pihak agar dapat memahami kebenaran dan kesalahan di negeri ini hendaknya tidak berdasar pada ke-suku-an.

Kembali kepada masalah JK. Saya sungguh bangga dan sangat hormat terhadap Baharuddin Lopa (BL). JK dan BL (juga dengan saya) satu asal, yakni sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan. Bedanya, JK Suku Bugis, sementara BL adalah Suku Mandar (saya Suku Makassar). Di sini, rakyat Indonesia “wajib” tahu, bahwa di Sulawesi Selatan itu terdapat empat suku, yaitu Suku Makassar, Bugis, Mandar, dan Suku Toraja.

Dan sejauh ini, sudah ada sejumlah sosok dari keempat suku tersebut yang berhasil “tembus” di dalam lingkungan pemerintahan pusat. Di antaranya:
1. Ryaas Rasyid (Makassar, --mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara);
2. Jusuf Kalla (Bugis, --mantan menteri dua kali, dan sekarang untuk kedua kalinya pula sebagai Wakil Presiden);
3. Baharuddin Lopa (Mandar, mantan Jaksa Agung)
4. Laksamana TNI Rudolf Kasenda (Toraja, mantan Kepala Staf Angkatan Laut periode 1986-1989)

Kembali kepada rasa kebanggaan dan hormat saya kepada Baharuddin Lopa. Di mana seharusnya kita (khususnya orang Sulawesi Selatan, dan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya) tentulah sangat mengharapkan “lahirnya kembali” sosok seperti beliau (Baharuddin Lopa) di saat seperti ini, yakni saat-saat di mana rakyat sangat teramat membutuhkan “pembelaan” dari oknum-oknum pejabat yang rakus alias tamak.

Sekali lagi, jujur, sebagai orang Sulawesi Selatan saya (apalagi orang Mandar) tentulah sangat bangga dengan sosok Baharuddin Lopa yang benar-benar menjalankan dan menjaga amanah (jabatan) yang negara berikan kepadanya.

Dan sebaliknya, saya dengan tegas harus menyatakan, bahwa saya samasekali tidak bangga apalagi harus hormat kepada orang yang berasal dari Sulawesi Selatan (meski sesama suku pun), namun di saat berada dalam pemerintahan (di pusat) ia justru hanya lebih cenderung menjadikan jabatannya sebagai KESEMPATAN untuk mengais keuntungan dari negara dan lalu menumpuk kekayaan keluarga dan kelompoknya saja, yakni di saat jeritan dan tangisan rakyat miskin masih sangat nyaring terdengar dari Sabang sampai Merauke.

Sehingga itu, saya sesungguhnya sangat-sangat dan teramat malu sebagai orang Sulawesi Selatan jika mempunyai oknum pejabat negara yang hanya kelihatan sangat cenderung memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan dan keuntungan bisnis dari negara.

Dari situlah seharusnya budaya Siri’ na-pacce (harga diri-malu terasa perih) yang menjadi salah satu falsafah Makassar-Bugis-Mandar tersebut layak untuk segera dihadirkan, yakni untuk menolak oknum-oknum pejabat asal Sulawesi Selatan yang patut diduga melakukan tindakan-tindakan kurang terpuji (memalukan karena kurang etis) sebagai pejabat negara yang diberi amanah oleh rakyat, namun hanya dimanfaatkannya sebagai kesempatan untuk makin memperkaya diri.

Sayangnya, menurut pengamatan saya, Siri’ na-pacce sebaga falsafah Suku Makassar-Bugis-Mandar tersebut saat ini justru lebih condong di arahkan ke hal-hal negatif. Misalnya yang kerap terjadi, seseorang kakak membela mati-matian adiknya meski adiknya tersebut sesungguhnya berada posisi yang salah, namun karena merasa harus menegakkan Siri’ na-pacce maka apapun si kakak harus hadapi demi membela si adik. Apalagi kalau si kakak menganut istilah “Sallam-pi siaturu” (Nanti di belakangan baku atur), maka makin buruklah kondisinya. Dan inilah satu contoh seseorang yang salah menghayati Siri’ na-pacce tersebut.

Atau dengan contoh lain terhadap penghayatan keliru dari Siri’ na-pacce: yaa.. seperti saat ini, misalnya, ketika ada orang asal Sulawesi Selatan yang berhasil menjadi pejabat negara, boleh jadi karena euforia yang berlebih-lebihan, sehingga meski kiranya sang pejabat tersebut melakukan kesalahan-kesalahan dan tindakan yang tidak etis sebagai seorang pejabat negara, para “pendukungnya” langsung tidak pikir-pikir membela-bela dengan mengatasnamakan Siri’ na-pacce jika ada yang mengusiknya.

Padahal contoh Siri’ na-pacce yang sebenarnya harus ditegakkan itu, misalnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Baharuddin Lopa semasa menjabat Jaksa Agung harus menyidik keterlibatan Nurdin Halid (Bugis) karena diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi. Baharuddin Lopa harus menyidik Nurdin Halid adalah salah satu contoh bahwa jika tidak disidik, maka hanya akan membuat malu (Siri’) buat seluruh rakyat Sulawesi Selatan.

Memang, Baharuddin Lopa sangat dikenal sebagai sosok pejabat negara yang sangat jujur dan bernyali bak harimau bertaring tajam. Dalam menunaikan tugasnya, ia tidak kenal warna abu-abu. Sebab baginya, di dalam negara ini hanya ada warna hitam dan putih. Yaitu, “salah atau benar”. Dan pilihannya adalah menegakkan kebenaran, dan ia tak ingin memanfaatkan jabatan (kekuasaannya) itu sebagai kesempatan untuk memperkaya diri.

Makanya, jangan heran, meski semasa hidupnya Baharuddin Lopa seorang pejabat negara namun kondisi kehidupannya selalu saja sederhana dan tak ada sedikit pun menonjol ambisinya untuk “mencari hidup di dalam negara”, justru ia senantiasa berusaha untuk dapat menjadi sosok yang dapat “menghidupkan” negara melalui perjuangannya meneggakkan kebenaran juga kejujuran.

Kisah tentang Baharuddin Lopa yang sangat jujur seharusnya menjadi “lagu wajib” yang harus diperdengarkan bagi kita semua, khususnya bagi para pejabat negara saat ini sebelum menunaikan rutinitasnya.

“Lagu wajib” (kisah) itu adalah, suatu ketika BaharuddinLopa hendak menunaikan ibadah haji. Seorang teman sekolahnya sejak SD sampai perguruan tinggi yang telah sukses sebagai pengusaha memberinya 10.000 Dolar AS. Baharuddin Lopa sangat terkejut karena merasa tak pantas sebagai pejabat yang diberi amanah dari rakyat untuk menerima pemberian seperti itu. Sehingganya, pada kesempatan pertama Baharuddin Lopa pun bergegas datang ke rumah temannya tersebut  lalu mengembalikan uang itu.

Lopa berkata, ”Saya tahu engkau ikhlas, akhlakmu pun terpuji. Saya tahu pula usahamu berjalan di jalur lurus. Namun, maafkan saya, saya tidak bisa menerima uang ini. Kita bersahabat saja, ya.” Pengusaha itupun tidak bisa berkata apa-apa kecuali mengusap air matanya karena terharu.

Dan sungguh itulah sosok pejabat negara yang sangat patut diteladani. Dan saya bangga dan sangat hormat kepada Baharuddin Lopa. Beliau adalah sosok orang Sulawesi Selatan tulen yang benar-benar sangat memegang dan menempatkan falsafah Siri’ na-pacce sesuai dengan tempatnya. Dan itu tercermin dari setiap sikap serta tindakannya yang selalu ia jaga sebagai pejabat negara (amanah dari rakyat) agar jangan sampai membuat malu (Siri’) bagi orang-orang Sulawesi Selatan di mata seluruh daerah (provinsi) lainnya di tanah air.

Dan... wahai, Baharuddin Lopa, sosok integritasmu sebagai seorang negarawan pasti akan selalu dicatat dalam sejarah dengan tinta emas di hati seluruh rakyat Indonesia. Semoga generasi dan penerus perjuangan dan semangatmu terhdap kebaikan negeri ini bisa bermunculan di masa kini dan di masa-masa mendatang.

Tak lupa teriring al-Fatihah serta doa: “Yaa... Tuhan kami, masukkanlah Baharuddin Lopa ke dalam SurgaMU. Amiinn!!!"

Salam Siri’ na-pacce. Dan Salam Perubahan untuk Indonesia Hebat!