(AMS, Artikel)
MEMBACA dan memperhatikan seluruh komentar yang ada pada
setiap postingan artikel di halaman Fan-Page saya, terutama artikel yang
menyangkut “kelakuan” Jusuf Kalla (JK) yang cenderung mencampur-adukkan urusan bisnis
keluarga dan urusan negara di dalam pemerintahan, membuat saya bisa tahu
siapa-siapa yang benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat, juga
siapa-siapa yang mendukung “kelakuan” JK itu. Yakni sebuah “kelakuan” yang
menjadi salah satu penyebab Presiden Soeharto dilengserkan.
Dan umumnya, komentar-komentar (pihak-pihak) yang
membela JK bisa muncul adalah hanya karena faktor satu suku, ---sekali lagi
hanya faktor satu suku. Jelas saja itu sangat-sangatlah subjektif, dan bahkan
boleh dikata sangat picik.
Sebab, saya menulis artikel-artikel tersebut berdasar
dari pandangan-pandangan publik (yang terdiri banyak suku di NKRI ini), dan
berharap tanggapan dari apa yang saya tulis tersebut kepada semua pihak agar
dapat memahami kebenaran dan kesalahan di negeri ini hendaknya tidak berdasar
pada ke-suku-an.
Kembali kepada masalah JK. Saya sungguh bangga dan
sangat hormat terhadap Baharuddin Lopa (BL). JK dan BL (juga dengan saya) satu
asal, yakni sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan. Bedanya, JK Suku Bugis,
sementara BL adalah Suku Mandar (saya Suku Makassar). Di sini, rakyat Indonesia
“wajib” tahu, bahwa di Sulawesi Selatan itu terdapat empat suku, yaitu Suku
Makassar, Bugis, Mandar, dan Suku Toraja.
Dan sejauh ini, sudah ada sejumlah sosok dari keempat
suku tersebut yang berhasil “tembus” di dalam lingkungan pemerintahan pusat. Di
antaranya:
1. Ryaas Rasyid (Makassar, --mantan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara);
2. Jusuf Kalla (Bugis, --mantan menteri dua kali, dan
sekarang untuk kedua kalinya pula sebagai Wakil Presiden);
3. Baharuddin Lopa (Mandar, mantan Jaksa Agung)
4. Laksamana TNI Rudolf Kasenda (Toraja, mantan Kepala
Staf Angkatan Laut periode 1986-1989)
Kembali kepada rasa kebanggaan dan hormat saya kepada
Baharuddin Lopa. Di mana seharusnya kita (khususnya orang Sulawesi Selatan, dan
seluruh rakyat Indonesia pada umumnya) tentulah sangat mengharapkan “lahirnya
kembali” sosok seperti beliau (Baharuddin Lopa) di saat seperti ini, yakni saat-saat
di mana rakyat sangat teramat membutuhkan “pembelaan” dari oknum-oknum pejabat
yang rakus alias tamak.
Sekali lagi, jujur, sebagai orang Sulawesi Selatan
saya (apalagi orang Mandar) tentulah sangat bangga dengan sosok Baharuddin Lopa
yang benar-benar menjalankan dan menjaga amanah (jabatan) yang negara berikan
kepadanya.
Dan sebaliknya, saya dengan tegas harus menyatakan,
bahwa saya samasekali tidak bangga apalagi harus hormat kepada orang yang
berasal dari Sulawesi Selatan (meski sesama suku pun), namun di saat berada
dalam pemerintahan (di pusat) ia justru hanya lebih cenderung menjadikan jabatannya
sebagai KESEMPATAN untuk mengais keuntungan dari negara dan lalu menumpuk kekayaan
keluarga dan kelompoknya saja, yakni di saat jeritan dan tangisan rakyat miskin
masih sangat nyaring terdengar dari Sabang sampai Merauke.
Sehingga itu, saya sesungguhnya sangat-sangat dan
teramat malu sebagai orang Sulawesi Selatan jika mempunyai oknum pejabat negara
yang hanya kelihatan sangat cenderung memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan
dan keuntungan bisnis dari negara.
Dari situlah seharusnya budaya Siri’ na-pacce (harga
diri-malu terasa perih) yang menjadi salah satu falsafah Makassar-Bugis-Mandar tersebut
layak untuk segera dihadirkan, yakni untuk menolak oknum-oknum pejabat asal
Sulawesi Selatan yang patut diduga melakukan tindakan-tindakan kurang terpuji (memalukan
karena kurang etis) sebagai pejabat negara yang diberi amanah oleh rakyat, namun
hanya dimanfaatkannya sebagai kesempatan untuk makin memperkaya diri.
Sayangnya, menurut pengamatan saya, Siri’ na-pacce sebaga
falsafah Suku Makassar-Bugis-Mandar tersebut saat ini justru lebih condong di
arahkan ke hal-hal negatif. Misalnya yang kerap terjadi, seseorang kakak membela
mati-matian adiknya meski adiknya tersebut sesungguhnya berada posisi yang
salah, namun karena merasa harus menegakkan Siri’ na-pacce maka apapun si kakak
harus hadapi demi membela si adik. Apalagi kalau si kakak menganut istilah “Sallam-pi
siaturu” (Nanti di belakangan baku atur), maka makin buruklah kondisinya. Dan inilah
satu contoh seseorang yang salah menghayati Siri’ na-pacce tersebut.
Atau dengan contoh lain terhadap penghayatan keliru
dari Siri’ na-pacce: yaa.. seperti saat ini, misalnya, ketika ada orang asal
Sulawesi Selatan yang berhasil menjadi pejabat negara, boleh jadi karena
euforia yang berlebih-lebihan, sehingga meski kiranya sang pejabat tersebut melakukan
kesalahan-kesalahan dan tindakan yang tidak etis sebagai seorang pejabat negara,
para “pendukungnya” langsung tidak pikir-pikir membela-bela dengan
mengatasnamakan Siri’ na-pacce jika ada yang mengusiknya.
Padahal contoh Siri’ na-pacce yang sebenarnya harus
ditegakkan itu, misalnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Baharuddin Lopa
semasa menjabat Jaksa Agung harus menyidik keterlibatan Nurdin Halid (Bugis)
karena diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi. Baharuddin Lopa harus menyidik
Nurdin Halid adalah salah satu contoh bahwa jika tidak disidik, maka hanya akan
membuat malu (Siri’) buat seluruh rakyat Sulawesi Selatan.
Memang, Baharuddin Lopa sangat dikenal sebagai sosok
pejabat negara yang sangat jujur dan bernyali bak harimau bertaring tajam. Dalam
menunaikan tugasnya, ia tidak kenal warna abu-abu. Sebab baginya, di dalam
negara ini hanya ada warna hitam dan putih. Yaitu, “salah atau benar”. Dan
pilihannya adalah menegakkan kebenaran, dan ia tak ingin memanfaatkan jabatan
(kekuasaannya) itu sebagai kesempatan untuk memperkaya diri.
Makanya, jangan heran, meski semasa hidupnya Baharuddin
Lopa seorang pejabat negara namun kondisi kehidupannya selalu saja sederhana
dan tak ada sedikit pun menonjol ambisinya untuk “mencari hidup di dalam negara”,
justru ia senantiasa berusaha untuk dapat menjadi sosok yang dapat “menghidupkan”
negara melalui perjuangannya meneggakkan kebenaran juga kejujuran.
Kisah tentang Baharuddin Lopa yang sangat jujur seharusnya
menjadi “lagu wajib” yang harus diperdengarkan bagi kita semua, khususnya bagi
para pejabat negara saat ini sebelum menunaikan rutinitasnya.
“Lagu wajib” (kisah) itu adalah, suatu ketika BaharuddinLopa hendak menunaikan ibadah haji. Seorang teman sekolahnya sejak SD sampai perguruan
tinggi yang telah sukses sebagai pengusaha memberinya 10.000 Dolar AS. Baharuddin
Lopa sangat terkejut karena merasa tak pantas sebagai pejabat yang diberi
amanah dari rakyat untuk menerima pemberian seperti itu. Sehingganya, pada kesempatan
pertama Baharuddin Lopa pun bergegas datang ke rumah temannya tersebut lalu mengembalikan uang itu.
Lopa berkata, ”Saya tahu engkau ikhlas, akhlakmu pun
terpuji. Saya tahu pula usahamu berjalan di jalur lurus. Namun, maafkan saya,
saya tidak bisa menerima uang ini. Kita bersahabat saja, ya.” Pengusaha itupun
tidak bisa berkata apa-apa kecuali mengusap air matanya karena terharu.
Dan sungguh itulah sosok pejabat negara yang sangat
patut diteladani. Dan saya bangga dan sangat hormat kepada Baharuddin Lopa.
Beliau adalah sosok orang Sulawesi Selatan tulen yang benar-benar sangat
memegang dan menempatkan falsafah Siri’ na-pacce sesuai dengan tempatnya. Dan
itu tercermin dari setiap sikap serta tindakannya yang selalu ia jaga sebagai
pejabat negara (amanah dari rakyat) agar jangan sampai membuat malu (Siri’)
bagi orang-orang Sulawesi Selatan di mata seluruh daerah (provinsi) lainnya di
tanah air.
Dan... wahai, Baharuddin Lopa, sosok integritasmu
sebagai seorang negarawan pasti akan selalu dicatat dalam sejarah dengan tinta
emas di hati seluruh rakyat Indonesia. Semoga generasi dan penerus perjuangan
dan semangatmu terhdap kebaikan negeri ini bisa bermunculan di masa kini dan di
masa-masa mendatang.
Tak lupa teriring al-Fatihah serta doa: “Yaa... Tuhan
kami, masukkanlah Baharuddin Lopa ke dalam SurgaMU. Amiinn!!!"
Salam Siri’
na-pacce. Dan Salam Perubahan untuk Indonesia Hebat!