Monday, 29 February 2016

Terkait Blok Masela, ESDM = “Energi Sudirman Dari Mafia”?

(Ilustrasi)
(AMS, Artikel)
MESKI seluruh elemen masyarakat Maluku secara sangat tegas menolak metode offshore (di laut) terhadap rencana proyek pembangunan Kilang Gas Blok Masela, namun Sudirman Said selaku menteri ESDM tetap berkeras dan ngotot menginginkan metode offshore. Akibatnya, suara kedaulatan masyarakat Maluku pun merasa disepelekan.

Sehingga, ngototnya Sudirman yang sangat nampak melawan kehendak masyarakat Maluku itupun mengundang tanda tanya besar. Dan publik pun mulai penasaran, ada apa sebetulnya di balik kengototan Sudirman Said untuk menggolkan metode offshore proyek pembangunan Kilang Gas Blok Masela tersebut?

Tanda tanya publik semakin besar ketika Sudirman Said tak hanya ngotot, tetapi juga Sudirman Said telah melakukan “perlawanan” terhadap pihak-pihak lain (termasuk masyarakat Maluku) yang menghendaki metode onshore (di darat) atas proyek pembangunan Kilang Gas Blok Masela tersebut.

Bentuk perlawanan tersebut, yakni Sudirman Said meminta pihak-pihak yang ada di luar dirinya (tentu saja termasuk masyarakat Maluku) untuk berhenti berpolemik terhadap rencana proyek Kilang Blok Masela tersebut. Parahnya, Sudiman bahkan seakan-akan menuding pihak-pihak (termasuk masyarakat Maluku) itu sebagai pihak yang pura-pura berjuang untuk rakyat, pembohong, juga sebagai penipu.

“Tidak usah berpolemik. Yang pura-pura berjuang untuk rakyat, yang menipu, yang suka mengklaim paling tahu, yang mau coba mengganti investor Masela, berhentilah membohongi rakyat. Karena suatu saat akan terbongkar niat busukmu,” tuding Sudirman Said, Sabtu (27/2).

Sejumlah pihak pun mengecam tudingan “kasar” yang dilontarkan Sudirman Said tersebut.  Salah satunya dari pengamat pertambangan, Yusri Usman.

Pernyataan Sudirman Said yang mengatakan ada pihak yang melakukan kebohongan (juga menipu) dengan mengatas-namakan rakyat, menurut Yusri, adalah sangat tepat diarahkan pada diri si menteri (Sudirman Said) sendiri. Yusri pun menunjuk contoh kasus Freeport.

“Ucapan Menteri Sudirman tersebut lebih cocok ditujukan ke dirinya sendiri. Contohnya, kasus Freeport dan rencana bebas ekspor mineral mentah dalam rencana revisi UU Minerba itu sama saja Sudirman Said mengajari pengusaha tidak taat terhadap UU dan Peraturan yang berlaku,” ungkap Yusri, Sabtu (27/2).

Yusri pun menduga, bahwa pemberian izin ekspor mineral mentah oleh Sudirman Said hanya untuk kepentingan asing dengan menggunakan elit-elit menekan petugas partai yang bisa mengendalikan Sudirman Said. “Ini jelas-jelas pengkhianatan terhadap UUD 1945 pasal 33. Ini bukan permukatan jahat, tetapi perbuatan jahat terhadap konstitusi,” tegas Yusri.

Kecaman terhadap Sudirman Said juga datang dari sejumlah tokoh dan pemuka masyarakat Maluku. Di antaranya Dr. Sujud Sirajuddin. “Sangat mengherankan, ketika semua orang mendukung pembangunan di darat, tetapi Menteri ESDM seolah memiliki agenda sendiri,” ujarSujud Sirajuddin dalam diskusi terbatas tentang ‘Blok Masela  dan Kolonialisasi Abad 21’ di Jakarta, Jumat petang (26/2/2016).

Selain secara tegas menyatakan kebulatan kehendak memilih metode onshore (di darat), dalam diskusi yang dihadiri oleh para tokoh dan pemuka masyarakat Maluku itu juga menyuarakan agar masyarakat Maluku bisa menegur sikap menteri ESDM Sudirman Said. Tetapi peserta diskusi belum menentukan secara jelaskan teguran dalam bentuk apa yang dimaksud.

Sementara itu, Abraham Tulalessy selaku akademisi sekaligus putra Maluku, dalam diskusi tersebut mengatakan, dirinya sudah menyuarakan hal ini dalam berbagai kesempatan, tetapi hingga kini belum digubris, dan ia tidak tahu apa yang mengganjal pemerintah.

Abraham Tulalessy dalam diskusi tersebut menyatakan dengan sangat tegas, bahwa bagi Maluku pembangunan kilang di darat merupakan harga yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. “Omong kosong, kalau multiplier effect (efek ganda) itu ada kalau dibangun di laut. Daripada dibangun di laut, lebih baik Menteri ESDM saja yang ke laut. Kami juga ingin sejahtera dengan kekayaan yang ada di Maluku. Ironis, Maluku yang kaya tetapi jadi provinsi termiskin,” ujar Abraham geleng-geleng kepala.

Budayawan asal Maluku, Heintje Hitalessy juga bersuara menentang keinginan Sudirman Said. Heintje mengatakan, realitas di Maluku menunjukkan mulai dari anak muda sampai ilmuwan dan tokoh masyarakat menghendaki dibangun di darat.

Sehingga itu Heintje mengungkapkan kekesalannya terhadap sikap seorang menteri seperti Sudirman Said yang ingin memaksakan kehendaknya sendiri. Seolah, kata Heintje, ada kepentingan yang lebih kuat dibanding kepentingan rakyat yang menyebabkan keinginan rakyat itu tidak diakomodir.

“Apa yang mereka mau, kalau kemauan rakyat sudah tidak didengar? Semua pemimpin dipilih rakyat, tetapi ketika memimpin mereka lupa dengan untuk apa mereka dipilih. Hormati dan hargai keinginan orang Maluku yang ingin lebih baik dengan kekayaan alam yang ada,” tuturnya.

Heintje pun mengingatkan, keberadaan Blok Masela bukan hanya untuk Maluku, tetapi untuk semua provinsi di tanah air khususnya di kawasan timur akan memperoleh pengaruh ekonomi. Olehnya itu Heintje mengajak semua pihak untuk bersolidaritas (menolak kehendak Sudirman) dalam Blok Masela ini. Dan ajakan Heintje inipun disepakati oleh seluruh tokoh dan pemuka masyarakat Maluku yang hadir dalam diskusi tersebut.

Kemudian kembali kepada pertanyaan di atas, bahwa ada apa sebetulnya di balik sikap Sudirman Said yang begitu sangat ngotot untuk menggolkan metode offshore atas proyek pembangunan Kilang Gas Blok Masela itu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sejumlah media pun telah melakukan penelusuran. Dan hasilnya, dikabarkan terdapat dugaan dan temuan yang mengindikasikan adanya “permainan” serta keterlibatan mafia sehingga membuat Sudirman Said menjadi sangat ngotot.

Yakni, tercium adanya lobi-lobi yang jauh sebelumnya telah dilakukan senilai US$ 1 juta. Yaitu, seorang sosok mantan menteri, pernah melakukan beberapa kali pertemuan dengan pihak manajemen Inpex, perusahaan minyak Jepang yang selama ini menancapkan kukunya di Masela.

Tentu saja, masyarakat pasti sangat terkejut dengan lobi-lobi tersebut yang bernilai besar dari Inpex Masela kepada Firma Konsultan Tridaya Advisory milik Erry Riyana Hardjapamekas, sahabat Menteri ESDM Sudirman Said yang sama-sama pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI).

Erry Riyana Hardjapamekas adalah mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diduga banyak “berperan” dalam mandeknya beberapa kasus besar (big fish) yang ditangani KPK di masa lalu, termasuk di antaranya megaskandal Bank Century.

Begitu pun nama sosok mantan menteri. Belakangan namanya disebutkan bernama Kuntoro Mangkusubroto. Ia adalah mantan menteri pertambangan (1998-1999). Kemudian ia pernah menjabat Direktur Utama PLN (2000); Kepala Badan Pelaksana pada Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (2005); serta Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan di Kabinet Indonesia Bersatu II. Dan sekarang, Kuntoro menduduki jabatan sebagai Komisaris Utama PLN.

Aliran pengucuran uang US$ 1 juta dari Inpex itu disebut-sebut untuk Kuntoro Mangkusbroto dalam dua tahap. Pertama, sebesar US$ 300 ribu (2015), dan yang kedua sebesar US$ 700 ribu (2016).

Dan ternyata, Kuntoro Mangkusubroto memiliki hubungan yang cukup erat dengan Menteri ESDM Sudirman Said. Keduanya bahkan pernah bersama-sama terlibat di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh pasca tsunami 2004.

Selanjutnya, Inpex adalah perusahaan Jepang yang mendapatkan hak mengelola Blok Abadi Masela sejak tahun 1998. Dan Inpex menggandeng Tridaya Advisory sebagai konsultan akhir bulan Agustus 2015.

Sepak terjang Tridaya Advisory dalam “membentengi” Inpex Masela agar membangun kilang LNG dengan metode terapung di laut (Offshore) sebenarnya sudah hampir berhasil. Namun setelah adanya reshuffle Kabinet Kerja jilid 1, terlebih ketika Menko Kemaritiman Rizal Ramli mengepret rencana proyek kilang tersebut, membuat kemudian munculnya situasi yang menyulitkan sepak terjang Tridaya Advisory itu.

Menko Kemaritiman Rizal Ramli semakin keras bersuara menolak upaya penentuan metode offshore (di laut) terhadap proyek pembangunan kilang di Blok Masela itu, sebab selain memang telah dilakukan analisis oleh tim dari Kemenko Kemaritiman, juga karena Rizal Ramli telah melihat adanya gelagat yang sangat “aneh dan ganjil” terhadap upaya penentuan pembangunan kilang tersebut secara offshore (di laut). Yakni, hanya akan menguntungkan perusahaan migas asing dan mafia-mafia pemain migas lainnya, yang akibatnya sangat berpotensi merugikan bangsa dan negara.

Namun tampaknya, Tridaya Advisory tidak lantas berputus asa. Dalam menghadapi penolakan dari Menko Rizal Ramli bersama segenap rakyat Maluku yang begitu masif dan meluas, Tridaya Advisory pun terus bermanuver. Yakni, selain diduga mengerahkan segelintir pihak untuk melakukan propaganda di sejumlah media warga maupun di media sosial lainnya, Tridaya Advisory juga mengeluarkan sebuah dokumen yang menyarankan agar Inpex Corporation tetap melakukan komunikasi dengan SKK Migas dan Kementerian ESDM dalam menghadapi situasi sulit yang ada.

(Salah satu lembar dokumen yang ditulis Tridaya Advisory. Sumber: RMOL)

These public challenges created pressure and an akward situation for the authorized decision maker - in this case Minister ESDM and his subrodinates,” tulis Tridaya Advisory dalam laporan setebal 6 halaman tersebut.

Dalam dokumen itu Tridaya Advisory juga bahkan mengarahkan kepada Inpex agar melakukan “pembangkangan” kepada pemerintah dengan menyatakan bahwa Kemenko Maritim dan Sumber Daya adalah pihak luar yang tidak mempunyai otoritas terkait penentuan pembangunan kilang Blok Masela. Hal ini terlihat dari arahan Tridaya Advisory kepada Inpex agar tetap konsisten menjalin komunikasi hanya dengan otoritas resmi. Artinya, Kemenko Kemaritiman dianggap “institusi tidak resmi”, terlebih memang Sudirman Said tak pernah melakukan komunikasi apalagi koordinasi langsung di Kemenko Kemaritiman.

There will be parties who will have opinions and seems to have a certain degree of power. Regardless of these parties, the Consultant (Tridaya Advisory) strongly suggest that the Company (Inpex Masela) is consistent in maintaining the line of communication only with those who have official authority,” tulis Tridaya Advisory.

Tentu saja upaya Tridaya Advisory itu bukan hanya mengerdilkan peran dan fungsi Kemenko Kemaritiman, tetapi juga sudah merupakan upaya pembodoh-bodohan kepada rakyat. Sebab, dalam struktur pemerintahan Presiden Jokowi dengan jelas di sebutkan, bahwa kementerian ESDM berada di bawah Kemenko Maritim dan Sumber Daya. Artinya apapun yang menjadi “hajatan” Kementerian ESDM haruslah dikoordinasikan secara matang kepada Kemenko Kemaritiman. Sayangnya, justru hal ini tidak dilakukan oleh Sudirman Said.

Hal lain yang menjadi temuan publik adalah adanya invoice pembayaran jasa konsultasi dari Inpex kepada Tridaya Advisory pada periode 28 Agustus - 27 November 2015 sebesar Rp 1,425 Miliar. Dalam invoice tersebut ditandatangani oleh Arief T. Surowidjojo yang mewakili Tridaya Advisory.

Arief T. Surowidjojo adalah pengacara yang punya peran dalam megaskandal Bank Century. Arief merupakan pengacara Sri Mulyani, mantan Menkeu RI dan mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang menyetujui bailout untuk Bank Century pada November 2008, total Rp 6,7 Triliun.

Selain beberapa temuan tersebut, ada lagi temuan lain yang juga dapat menambah keyakinan publik bahwa “energi dan semangat” Sudirman Said untuk menggolkan metode offshore (di laut) sepertinya memang hanya lebih menguntungkan pihak asing dan “kelompoknya” saja. Yakni, adanya bercokol “orang Inpex” di dalam lingkungan Kementerian ESDM sebagai Staf Ahli Menteri ESDM yang membawahi bidang Mineral dan Energi, yaitu Farchad Mahmud. Dan lagi-lagi publik akan kaget ketika mengetahui bahwa Farchad Mahmud juga pernah terlibat sebagai staf UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) di bawah kepemimpinan Kuntoro Mangkusubroto.

Dan dari sejumlah temuan tersebut di atas, maka jangan salahkan jika publik nantinya ada yang menyimpulkan bahwa boleh jadi “Energi Sudirman Dari Mafia”, bisa disingkat menjadi “ESDM”. Kalau bukan dari mafia lalu mengapa begitu sangat “berenergi” melawan kehendak masyarakat Maluku yang secara terang benderang menghendaki pembangunan Kilang Blok Masela secara onshore (di darat)? Dan diyakini, "energi" Sudirman ini dengan sendirinya akan berkurang dan bahkan hilang apabila ia tak lagi di ESDM.

Olehnya itu semoga Presiden Jokowi tidak menjadi pihak yang ikut memberi “energi” kepada Sudirman Said dalam menggolkan metode offshore (di laut)! Amiinn.!!!