MESKI seluruh elemen masyarakat Maluku secara sangat tegas menolak metode offshore (di laut) terhadap rencana
proyek pembangunan Kilang Gas Blok Masela, namun Sudirman Said selaku menteri
ESDM tetap berkeras dan ngotot menginginkan metode offshore. Akibatnya, suara
kedaulatan masyarakat Maluku pun merasa disepelekan.
Sehingga, ngototnya Sudirman yang
sangat nampak melawan kehendak masyarakat Maluku itupun mengundang tanda tanya
besar. Dan publik pun mulai penasaran, ada apa sebetulnya di balik kengototan
Sudirman Said untuk menggolkan metode offshore proyek pembangunan Kilang Gas
Blok Masela tersebut?
Tanda tanya publik semakin besar
ketika Sudirman Said tak hanya ngotot, tetapi juga Sudirman Said telah
melakukan “perlawanan” terhadap pihak-pihak lain (termasuk masyarakat Maluku) yang
menghendaki metode onshore (di darat) atas proyek pembangunan Kilang Gas Blok
Masela tersebut.
Bentuk perlawanan tersebut, yakni
Sudirman Said meminta pihak-pihak yang ada di luar dirinya (tentu saja termasuk masyarakat Maluku) untuk
berhenti berpolemik terhadap rencana proyek Kilang Blok Masela tersebut.
Parahnya, Sudiman bahkan seakan-akan menuding pihak-pihak (termasuk masyarakat
Maluku) itu sebagai pihak yang pura-pura berjuang untuk rakyat, pembohong, juga
sebagai penipu.
“Tidak usah berpolemik. Yang
pura-pura berjuang untuk rakyat, yang menipu, yang suka mengklaim paling tahu,
yang mau coba mengganti investor Masela, berhentilah membohongi rakyat. Karena
suatu saat akan terbongkar niat busukmu,” tuding Sudirman Said, Sabtu (27/2).
Sejumlah pihak pun mengecam
tudingan “kasar” yang dilontarkan Sudirman Said tersebut. Salah satunya dari pengamat pertambangan,
Yusri Usman.
Pernyataan Sudirman Said yang
mengatakan ada pihak yang melakukan kebohongan (juga menipu) dengan mengatas-namakan
rakyat, menurut Yusri, adalah sangat tepat diarahkan pada diri si menteri
(Sudirman Said) sendiri. Yusri pun menunjuk contoh kasus Freeport.
“Ucapan Menteri Sudirman tersebut
lebih cocok ditujukan ke dirinya sendiri. Contohnya, kasus Freeport dan rencana
bebas ekspor mineral mentah dalam rencana revisi UU Minerba itu sama saja
Sudirman Said mengajari pengusaha tidak taat terhadap UU dan Peraturan yang
berlaku,” ungkap Yusri, Sabtu (27/2).
Yusri pun menduga, bahwa
pemberian izin ekspor mineral mentah oleh Sudirman Said hanya untuk kepentingan asing
dengan menggunakan elit-elit menekan petugas partai yang bisa mengendalikan
Sudirman Said. “Ini jelas-jelas pengkhianatan terhadap UUD 1945 pasal 33. Ini
bukan permukatan jahat, tetapi perbuatan jahat terhadap konstitusi,” tegas Yusri.
Kecaman terhadap Sudirman Said
juga datang dari sejumlah tokoh dan pemuka masyarakat Maluku. Di antaranya Dr.
Sujud Sirajuddin. “Sangat mengherankan, ketika semua orang mendukung
pembangunan di darat, tetapi Menteri ESDM seolah memiliki agenda sendiri,” ujarSujud Sirajuddin dalam diskusi terbatas tentang ‘Blok Masela dan Kolonialisasi Abad 21’ di Jakarta, Jumat
petang (26/2/2016).
Selain secara tegas menyatakan
kebulatan kehendak memilih metode onshore (di darat), dalam diskusi yang
dihadiri oleh para tokoh dan pemuka masyarakat Maluku itu juga menyuarakan agar
masyarakat Maluku bisa menegur sikap menteri ESDM Sudirman Said. Tetapi peserta diskusi belum menentukan secara jelaskan teguran dalam bentuk apa yang dimaksud.
Sementara itu, Abraham Tulalessy
selaku akademisi sekaligus putra Maluku, dalam diskusi tersebut mengatakan,
dirinya sudah menyuarakan hal ini dalam berbagai kesempatan, tetapi hingga kini
belum digubris, dan ia tidak tahu apa yang mengganjal pemerintah.
Abraham Tulalessy dalam diskusi
tersebut menyatakan dengan sangat tegas, bahwa bagi Maluku pembangunan kilang
di darat merupakan harga yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. “Omong kosong,
kalau multiplier effect (efek ganda) itu ada kalau dibangun di laut. Daripada
dibangun di laut, lebih baik Menteri ESDM saja yang ke laut. Kami juga ingin
sejahtera dengan kekayaan yang ada di Maluku. Ironis, Maluku yang kaya tetapi
jadi provinsi termiskin,” ujar Abraham geleng-geleng kepala.
Budayawan asal Maluku, Heintje
Hitalessy juga bersuara menentang keinginan Sudirman Said. Heintje mengatakan, realitas
di Maluku menunjukkan mulai dari anak muda sampai ilmuwan dan tokoh masyarakat
menghendaki dibangun di darat.
Sehingga itu Heintje mengungkapkan
kekesalannya terhadap sikap seorang menteri seperti Sudirman Said yang ingin
memaksakan kehendaknya sendiri. Seolah, kata Heintje, ada kepentingan yang
lebih kuat dibanding kepentingan rakyat yang menyebabkan keinginan rakyat itu tidak
diakomodir.
“Apa yang mereka mau, kalau
kemauan rakyat sudah tidak didengar? Semua pemimpin dipilih rakyat, tetapi
ketika memimpin mereka lupa dengan untuk apa mereka dipilih. Hormati dan hargai
keinginan orang Maluku yang ingin lebih baik dengan kekayaan alam yang ada,” tuturnya.
Heintje pun mengingatkan,
keberadaan Blok Masela bukan hanya untuk Maluku, tetapi untuk semua provinsi di
tanah air khususnya di kawasan timur akan memperoleh pengaruh ekonomi. Olehnya itu
Heintje mengajak semua pihak untuk bersolidaritas (menolak kehendak Sudirman) dalam
Blok Masela ini. Dan ajakan Heintje inipun disepakati oleh seluruh tokoh dan
pemuka masyarakat Maluku yang hadir dalam diskusi tersebut.
Kemudian kembali kepada
pertanyaan di atas, bahwa ada apa sebetulnya di balik sikap Sudirman Said
yang begitu sangat ngotot untuk menggolkan metode offshore atas proyek pembangunan
Kilang Gas Blok Masela itu?
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, sejumlah media pun telah melakukan penelusuran. Dan hasilnya, dikabarkan
terdapat dugaan dan temuan yang mengindikasikan adanya “permainan” serta keterlibatan mafia sehingga membuat Sudirman Said menjadi sangat ngotot.
Yakni, tercium adanya lobi-lobi yang jauh sebelumnya telah dilakukan senilai US$ 1 juta. Yaitu, seorang sosok
mantan menteri, pernah melakukan beberapa kali pertemuan dengan pihak manajemen
Inpex, perusahaan minyak Jepang yang selama ini menancapkan kukunya di Masela.
Tentu saja, masyarakat pasti
sangat terkejut dengan lobi-lobi tersebut yang bernilai besar dari Inpex Masela
kepada Firma Konsultan Tridaya Advisory milik Erry Riyana Hardjapamekas,
sahabat Menteri ESDM Sudirman Said yang sama-sama pendiri Masyarakat
Transparansi Indonesia (MTI).
Erry Riyana Hardjapamekas adalah mantan
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diduga banyak “berperan” dalam
mandeknya beberapa kasus besar (big fish) yang ditangani KPK di masa lalu,
termasuk di antaranya megaskandal Bank Century.
Begitu pun nama sosok mantan
menteri. Belakangan namanya disebutkan bernama Kuntoro Mangkusubroto. Ia adalah
mantan menteri pertambangan (1998-1999). Kemudian ia pernah menjabat Direktur
Utama PLN (2000); Kepala Badan Pelaksana pada Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Aceh-Nias (2005); serta Kepala Unit Kerja Presiden bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan di Kabinet Indonesia Bersatu II. Dan
sekarang, Kuntoro menduduki jabatan sebagai Komisaris Utama PLN.
Aliran pengucuran uang US$ 1 juta
dari Inpex itu disebut-sebut untuk Kuntoro Mangkusbroto dalam dua tahap.
Pertama, sebesar US$ 300 ribu (2015), dan yang kedua sebesar US$ 700 ribu
(2016).
Dan ternyata, Kuntoro
Mangkusubroto memiliki hubungan yang cukup erat dengan Menteri ESDM Sudirman
Said. Keduanya bahkan pernah bersama-sama terlibat di Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (BRR) Aceh pasca tsunami 2004.
Selanjutnya, Inpex adalah
perusahaan Jepang yang mendapatkan hak mengelola Blok Abadi Masela sejak tahun
1998. Dan Inpex menggandeng Tridaya Advisory sebagai konsultan akhir bulan
Agustus 2015.
Sepak terjang Tridaya Advisory
dalam “membentengi” Inpex Masela agar membangun kilang LNG dengan metode
terapung di laut (Offshore) sebenarnya sudah hampir berhasil. Namun setelah
adanya reshuffle Kabinet Kerja jilid 1, terlebih ketika Menko Kemaritiman Rizal
Ramli mengepret rencana proyek kilang tersebut, membuat kemudian munculnya situasi
yang menyulitkan sepak terjang Tridaya Advisory itu.
Menko Kemaritiman Rizal Ramli
semakin keras bersuara menolak upaya penentuan metode offshore (di laut)
terhadap proyek pembangunan kilang di Blok Masela itu, sebab selain memang
telah dilakukan analisis oleh tim dari Kemenko Kemaritiman, juga karena Rizal
Ramli telah melihat adanya gelagat yang sangat “aneh dan ganjil” terhadap upaya
penentuan pembangunan kilang tersebut secara offshore (di laut). Yakni, hanya
akan menguntungkan perusahaan migas asing dan mafia-mafia pemain migas lainnya,
yang akibatnya sangat berpotensi merugikan bangsa dan negara.
Namun tampaknya, Tridaya Advisory
tidak lantas berputus asa. Dalam menghadapi penolakan dari Menko Rizal Ramli
bersama segenap rakyat Maluku yang begitu masif dan meluas, Tridaya Advisory pun
terus bermanuver. Yakni, selain diduga mengerahkan segelintir pihak untuk
melakukan propaganda di sejumlah media warga maupun di media sosial lainnya,
Tridaya Advisory juga mengeluarkan sebuah dokumen yang menyarankan agar Inpex
Corporation tetap melakukan komunikasi dengan SKK Migas dan Kementerian ESDM
dalam menghadapi situasi sulit yang ada.
(Salah satu lembar dokumen yang ditulis Tridaya Advisory. Sumber: RMOL) |
“These public challenges created
pressure and an akward situation for the authorized decision maker - in this
case Minister ESDM and his subrodinates,” tulis Tridaya Advisory dalam laporan
setebal 6 halaman tersebut.
Dalam dokumen itu Tridaya
Advisory juga bahkan mengarahkan kepada Inpex agar melakukan “pembangkangan”
kepada pemerintah dengan menyatakan bahwa Kemenko Maritim dan Sumber Daya
adalah pihak luar yang tidak mempunyai otoritas terkait penentuan pembangunan
kilang Blok Masela. Hal ini terlihat dari arahan Tridaya Advisory kepada Inpex
agar tetap konsisten menjalin komunikasi hanya dengan otoritas resmi. Artinya,
Kemenko Kemaritiman dianggap “institusi tidak resmi”, terlebih memang Sudirman Said tak pernah
melakukan komunikasi apalagi koordinasi langsung di Kemenko Kemaritiman.
“There will be parties who will
have opinions and seems to have a certain degree of power. Regardless of these
parties, the Consultant (Tridaya Advisory) strongly suggest that the Company (Inpex
Masela) is consistent in maintaining the line of communication only with those
who have official authority,” tulis Tridaya Advisory.
Tentu saja upaya Tridaya Advisory
itu bukan hanya mengerdilkan peran dan fungsi Kemenko Kemaritiman, tetapi juga
sudah merupakan upaya pembodoh-bodohan kepada rakyat. Sebab, dalam struktur
pemerintahan Presiden Jokowi dengan jelas di sebutkan, bahwa kementerian ESDM
berada di bawah Kemenko Maritim dan Sumber Daya. Artinya apapun yang menjadi
“hajatan” Kementerian ESDM haruslah dikoordinasikan secara matang kepada Kemenko
Kemaritiman. Sayangnya, justru hal ini tidak dilakukan oleh Sudirman Said.
Hal lain yang menjadi temuan
publik adalah adanya invoice pembayaran jasa konsultasi dari Inpex kepada
Tridaya Advisory pada periode 28 Agustus - 27 November 2015 sebesar Rp 1,425 Miliar.
Dalam invoice tersebut ditandatangani oleh Arief T. Surowidjojo yang mewakili
Tridaya Advisory.
Arief T. Surowidjojo adalah
pengacara yang punya peran dalam megaskandal Bank Century. Arief merupakan
pengacara Sri Mulyani, mantan Menkeu RI dan mantan Ketua Komite Kebijakan
Sektor Keuangan (KKSK), yang menyetujui bailout untuk Bank Century pada
November 2008, total Rp 6,7 Triliun.
Selain beberapa temuan tersebut,
ada lagi temuan lain yang juga dapat menambah keyakinan publik bahwa “energi
dan semangat” Sudirman Said untuk menggolkan metode offshore (di laut)
sepertinya memang hanya lebih menguntungkan pihak asing dan “kelompoknya” saja.
Yakni, adanya bercokol “orang Inpex” di dalam lingkungan Kementerian ESDM
sebagai Staf Ahli Menteri ESDM yang membawahi bidang Mineral dan Energi, yaitu
Farchad Mahmud. Dan lagi-lagi publik akan kaget ketika mengetahui bahwa Farchad
Mahmud juga pernah terlibat sebagai staf UKP4 (Unit Kerja Presiden
Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) di bawah kepemimpinan Kuntoro
Mangkusubroto.
Dan dari sejumlah temuan tersebut
di atas, maka jangan salahkan jika publik nantinya ada yang menyimpulkan bahwa boleh
jadi “Energi Sudirman Dari Mafia”, bisa disingkat menjadi “ESDM”. Kalau bukan
dari mafia lalu mengapa begitu sangat “berenergi” melawan kehendak masyarakat
Maluku yang secara terang benderang menghendaki pembangunan Kilang Blok Masela
secara onshore (di darat)? Dan diyakini, "energi" Sudirman ini dengan sendirinya akan berkurang dan bahkan hilang apabila ia tak lagi di ESDM.
Olehnya itu semoga Presiden Jokowi tidak menjadi
pihak yang ikut memberi “energi” kepada Sudirman Said dalam menggolkan metode
offshore (di laut)! Amiinn.!!!