(AMS, Artikel)
SUNGGUH, Ibu Pertiwi hingga saat ini sangat bangga terhadap seorang anak bangsa bernama Kapitan Pattimura yang dulu begitu amat tegas melawan dan mengusir para penjajah dari Maluku. Sebab memang benar-benar luar biasa dengan Maluku ini, yakni sebuah “negeri” subur yang di miliki oleh Indonesia itu.
Buktinya, sejak zaman penjajahan Portugis, --pun hingga saat ini, Maluku ternyata selalu saja menjadi salah satu daerah “idaman dan incaran” utama oleh negara-negara asing untuk dapat dikuasai.
Dulu, pada sekitar abad 16, negara-negara kolonialis harus angkat senjata untuk menguasai Maluku karena sebagai pusat tanaman penghasil rempah-rempah, yakni komoditas yang setara emas kala itu.
Tapi kini, Maluku nampaknya kembali ingin dikuasai oleh negara asing. Kali ini bukan rempah-rempahnya, tetapi limpahan gas yang terkandung di perut bumi Maluku, tepatnya di kawasan Kepulauan Masela-Maluku Barat Daya, atau kini di sebut Blok Masela.
Sebab, negara kolonial mana yang tak tergiur dengan kekayaan tambang dan energi yang dimiliki Indonesia, seperti Blok Masela ini? Gas di Masela saja sudah sangat melimpah dan melebihi negara-negara lain di dunia ini? Kalah kilang di Prelude, Australia yang hanya 3,6 juta ton/tahun. Jumlah ini jauh lebih kecil daripada Blok Masela yang mencapai 7,5 juta ton/tahun. Bahkan bisa mengalahkan Qatar.
“Kalau dikelola dengan baik, kekayaan (gas) ini akan mengalahkan Qatar dalam bidang gas, Qatar itu hidup dari gas,” ujar Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli seraya menambahkan, bahwa gas di Blok Masela takkan habis selama 70 tahun ke depan.
Nah, dengan mengetahui betapa melimpahnya kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia ini, maka tentu membuat negara-negara asing tak bisa tidur nyaman sebelum berhasil menguasai kekayaan alam tersebut untuk kepentingan kemajuan ekonomi mereka, termasuk gas di Blok Masela yang kini menjadi incaran utamanya.
Dan di zaman seperti ini untuk menguasai kekayaan alam Indonesia tersebut, para negara kolonialis tak perlu lagi mengangkat senjata. Mereka cukup melakukan diplomasi dan lobi-lobi kepada pejabat yang gampang disogok dan sebagai penganut neo-liberalisme demi memajukan ekonomi bangsa luar (asing). Dan cara seperti inilah salah satunya yang disebut dengan neo-kolonialisme.
Cara jitu seperti inilah yang selama ini dipraktikkan oleh asing dalam menguras dan memboyong kekayaan-kekayaan alam Indonesia ke negeri mereka. Dan kali ini, untuk menguasai Blok Masela, asing nampaknya tak ingin menyerah, dari dulu terus-terusan “membujuk” pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar dapat membangun Kilang Gas di Blok Masela dengan pola terapung di laut.
Cara jitu seperti inilah yang selama ini dipraktikkan oleh asing dalam menguras dan memboyong kekayaan-kekayaan alam Indonesia ke negeri mereka. Dan kali ini, untuk menguasai Blok Masela, asing nampaknya tak ingin menyerah, dari dulu terus-terusan “membujuk” pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar dapat membangun Kilang Gas di Blok Masela dengan pola terapung di laut.
Untung saja Presiden Jokowi telah memasukkan orang yang punya ideologi Trisakti yang sangat kental seperti Rizal Ramli. Kalau tidak, maka tentulah asing bisa leluasa seenaknya tanpa hambatan menggerogoti kekayaan alam kita itu.
Dan memang, setelah Rizal Ramli pelajari secara saksama dan sangat mendalam mengenai tawaran maupun hasil kajian dari asing seputar rencana membangunan Kilang Gas Blok Masela dengan pola terapung tersebut, maka dengan sangat tegas Rizal Ramli pun menyatakan menolak pola terapung dengan berbagai pertimbangan, lalu dengan sejumlah alasan dan hitung-hitungan rasional Rizal Ramli meminta agar dapat dilakukan secara pipanisasi di darat.
Haposan Napitupulu selaku Tenaga Ahli Bidang Energi di Kemenko Maritim dan Sumber Daya, menjelaskan pola pembangunan kilang gas di darat (pipanisasi) lebih menguntungkan dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, jika dibanding biaya terapung di laut, maka investasi dan biaya operasi di darat lebih rendah;
Kedua, produksi gas yang dialirkan ke darat dapat diproses sebagai LNG dan sekaligus bahan baku untuk industri petrokimia (yang tidak akan terjadi apabila memilih opsi terapung di laut);
Ketiga, LNG dapat disuplai ke pulau-pulau di sekitar Maluku dan NTT untuk pemenuhan kebutuhan energi dengan menggunakan small carrier yang tidak dapat dilakukan jika Kilang LNG dibangun di laut;
Keempat, harga jual produksi gas Blok Masela tidak seluruhnya terpengaruh oleh fluktuasi harga minyak dunia, sebab gas yang dipakai untuk industri petrokimia dijual dengan harga tetap dengan eskalasi tahunan;
Kelima, ketika harga crude mencapai kurang dari US$ 30 per barel seperti saat ini, pola terapung di laut akan menyebabkan hampir seluruh pendapatan negara tersedot untuk membayar cost recovery. Sedangkan jika di darat, yang sebagian gas untuk petrokimia yang harga jual gasnya tidak diikat dengan harga crude, akan tetap memberikan pendapatan yang stabil.
Keenam, pola di darat dikombinasikan dengan industri petrokimia akan memberikan nilai tambah dan penyediaan lapangan kerja yang jauh lebih tinggi daripada jika dibangun di laut.
Berbagai pihak yang juga memberi alasan lain yang turut memperkuat pandangan Menko Rizal Ramli tersebut adalah di antaranya berasal dari Ketua Komisi VII DPR-RI, Kardaya Warnika. “Kalau Pemerintah lebih peduli dengan kepentingan domestik, maka selayaknya menyetujui pembangunan lapangan gas di darat yakni di wilayah Maluku,” lontar Kardaya pada diskusi yang diselenggarakan Forum Tujuh Tiga (Fortuga) ITB, Selasa (6/10/2015), di Jakarta.
Kalau pembangunan lapangan gas (di Blok Masela) itu dibangun di darat, maka kepentingan nasional (rakyat) akan lebih terjamin. Sebaliknya, kalau dibangun di laut maka kepentingan internasional (asing) yang lebih terjamin.
Kardaya sangat setuju, jika pembangunan kilang gas Blok Masela di darat karena dapat memunculkan multi efek dari proyek tersebut untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia, terutama bagi warga lokal di Maluku.
Sementara itu mantan Komisaris Utama PT PLN, Alhilal Hamdi menilai, rencana pembangunan kilang gas abadi Blok Masela, Pemerintah Indonesia “dipaksa” untuk hanya memutuskan (memilih) pola terapung di laut.
Hilal pun seakan merasa ada yang “aneh”. Yakni, proposal yang disampaikan oleh perusahaan gas alam cair asal asing sangat tidak fair, karena tidak memberikan opsi lain kecuali hanya pembangunan dengan pola terapung di laut. “Padahal, pembangunan lapangan gas dengan pola terapung ini akan menghadapi dua tantangan utama, kestabilan operasi dan keselamatan operasi,” ujar Hilal.
Dari diskusi tersebut, Fortuga juga mengusulkan pembangunan lapangan gas abadi Blok Masela itu hendaknya dibangun di darat, setelah melakukan sejumlah kajian ilmiah, baik dari aspek investasi, operasional, profit, maupun keuntungan nasional.
Dalam sebuah catatannya di sebuah media online di Maluku, Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl. Oek. Engelina Pattiasina, yang juga putri asli asal Maluku ini menuliskan adanya tangan kuat di balik “bisnis” gas di Blok Masela. Tetapi Engelina Pattiasina mengaku bersyukur karena ternyata masih ada pejabat negara seperti Rizal Ramli yang sudi bertindak layaknya seorang “Pattimura” dalam mengusir penjajah di Maluku.
“Kita bersyukur karena pemerintah melalui Menko Kemaritiman menyatakan keinginannya untuk membangun LNG (Liquefied Natural Gas) di darat karena itu yang terbaik bagi Masyarakat Maluku,” tulis Engelina Pattiasina.
Tokoh-tokoh kalangan utama dari Maluku juga dengan sangat tegas mendukung langkah Menko Rizal Ramli untuk membangun kilang gas di darat.
“Dalam FGD (Forum Group Discussion) ini, semua pembicara 100 persen ingin di darat. Semua orang Maluku di Maluku, Jakarta, dan luar negeri, termasuk pejabat pemerintah di Jakarta mau di darat. Ini hanya tinggal ESDM sendiri. Kita tidak tahu ada apa dengan sikap ini,” ujar Ilmuwan Dr. Abraham Tulalessy, MSc ketika dihubungi wartawan, di Ambon, Senin (25/1/2016).
FGD tentang Blok Masela ini dihadiri ilmuwan, seperti Prof. Dr. Aholiab Watloly, Prof. Dr. G. Ratumanan, Prof. Dr. Hermin Soeselisa, Prof. Dr. Dessy Norimarna, Prof. Dr. Bob Mosse, Prof. Dr. Thomy Pentury, Dr. Ir. Paul Usmany, Dr. G. Pentury, Dr. Muspida, Dr. Yustinus Malle, Dr. Max Tukan, Dr. Mohamad Bugis, Ir. Daud Ilela Msi, Dr. Tony Litamaputy.
Sehingga Abraham mendesak, semestinya (kementerian) ESDM perlu mendengarkan suara dari berbagai pihak. Sebab, menurut Abraham, Maluku tidak dapat apa-apa kalau kilang itu (dibangun) di laut.
Dikatakannya, Musyawarah Besar Rakyat Maluku juga memutuskan agar kilang di darat. Abraham pun dengan sangat tegas menekankan, bahwa pihaknya meminta ESDM jangan memicu ketidakpuasan bagi Maluku.
“Kami heran, dari 16 kilang yang ada di Indonesia dan di darat memiliki harga yang tidak sebesar di Masela. Ini kan seolah didesain agar kilang dibangun di laut. Masa, harga kilang di darat untuk Masela jauh lebih mahal dibandingkan dengan kilang lain di darat di tempat lain,” lontarnya.
Koordinator Intelektual Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) Prof. Dr. Watloly kepada wartawan, Senin (24/1), juga angkat bicara. Ia mengatakan dengan lantang, bahwa kilang Blok Gas Abadi Masela secara di darat telah menjadi harga mati bagi Maluku.
Apapun yang terjadi, kata Prof. Watloly, masyarakat Maluku menginginkan agar pengelolaan blok migas yang terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) ini harus dilakukan sesuai dengan amanat konstitusi UUD 45 Pasal 33, yakni sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Guru besar Universitas Pattimura ini pun menegaskan, keberadaan kilang di darat akan memberikan dampak ekonomis yang sangat luar biasa bagi Maluku, khususnya wilayah MBD, yang selama ini memang terisolir dan dipandang sebelah mata.
Masyarakat Maluku melalui para tokoh terkemuka ini nampaknya kini benar-benar gerah dengan sikap Kementerian ESDM yang dikomandoi oleh Sudirman Said itu.
Bagaimana tidak, Inpex sebagai investor maupun SKK Migas terkait Blok Masela ini, dalam forum diskusi terungkap bahwa ternyata bukan untuk mengakomodir dan mendengarkan apa yang menjadi keinginan orang Maluku, namun sebaliknya masyarakat “dipaksa” harus mendengar apa yang menjadi keinginan dari para investor.
Olehnya itu, menyikapi kondisi tersebut, para tokoh utama Maluku ini mengaku telah bersurat ke Presiden, agar pengelolaan Blok Masela harus mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat Maluku, bukan untuk memperjuangkan kepentingan dan keuntungan investor. Demikian juga mengenai hak adat dan konstitusi masyarakat jangan sampai dirampas oleh asing beserta pejabat yang mudah disogok.
Akademisi Universitas Hasanudin dan tokoh masyarakat Maluku Tenggara Barat (MTB), Prof. Ishack Ngeljaratan, juga mengatakan, pembangunan gas Blok Masela pola onshore (di darat) akan memberikan dampak positif, karena akan dibutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar, sehingga sumber daya manusia di Maluku, sudah harus dipersiapkan sejak dini.
Begitu juga dengan Dekan Fakultas Hukum Unpatti, Dr Tjance H. Tjiptabudi, secara terpisah menyebutkan, apabila offshore (terapung) maka Maluku akan kesulitan dalam melakukan pengawasan. Sebaliknya, onshore akan memacu pertumbuhan ekonomi rakyat secara pesat dan ada keuntungan multi efek yang dirasakan masyarakat setempat.
Sedangkan desakan offshore (terapung) yang dilakukan pihak yang memihak investor, kata dia, adalah semata-mata hanya untuk mengejar keuntungan dalam waktu jangka pendek.
Sikap para tokoh terkemuka asal Maluku ini sudah sangat terang dan tegas menolak pola terapung, dan mendukung pola pipanisasi di darat. Namun apabila tetap dipaksakan untuk dilakukan dengan pola terapung, maka itu sama halnya Sudirman Said selaku Menteri ESDM bersama Cs rasa-rasanya ingin coba-coba “perang” dengan rakyat Maluku. Kamong dan ale rasa, beta pun rasa seperti itu.