(AMS, Artikel)
TERKAIT proyek pembangunan Kilang LNG (Liquefied Natural
Gas) Blok Masela, Johan Budi selaku Jurubicara Presiden menyatakan, Presiden
Jokowi sejauh ini sudah mendengar berbagai masukan, dan sudah memahami
argumen-argumen dari berbagai pihak, baik yang berpendapat membangun kilang di
laut (offshore) maupun membangun kilang
di darat (onshore).
“Perhatian utama Presiden adalah bagaimana masyarakat
Maluku Selatan dan Maluku keseluruhan memperoleh manfaat secara maksimal, dari
keberadaan proyek gas Masela tersebut. Tetapi tentu juga memberi manfaat yang
maksimal bagi negara,” ujar Johan.
Jika benar apa yang dikemukakan Johan Budi, maka saat
ini Presiden Jokowi seharusnya sudah bisa segera menetapkan satu pilihan
sebagai keputusan, yakni memilih pembangunan Kilang gas Blok Masela dengan metode onshore (di atas darat), bukan secara
offshore (terapung di tengah laut). Mengapa?
Sebab, publik sudah tahu dalam masalah ini terdapat dua
kubu atau pihak menonjol yang saling berlawanan pendapat (onshore atau offshore),
yakni pihak Sudirman Said beserta cs versus Rizal Ramli bersama rakyat Maluku.
Publik juga sudah banyak memahami tentang Sudirman
Said sebagai Menteri ESDM adalah sosok yang sepertinya beda-beda tipis dengan
RJ Lino, yakni sama-sama pejabat “binaan” Wapres Jusuf Kalla.
Sebagai “binaan”, otak dan otot-ototnya seakan sudah “di-setting”
untuk hanya bergerak jika dapat mendatangkan keuntungan komersial layaknya pengusaha.
Bila settingan sudah mengarah kepada target komersialisasi, maka tak jarang
akan mengorbankan nilai-nilai sosial dan budaya: “Tak mau peduli siapapun yang
akan menghalang-halangi, yang penting bisnis jalan terus”. Dan inilah tabiat
pengusaha yang telah menjadi penguasa.
Begitupun dengan urusan dan penanganan rencana
pembangunan kilang LNG Blok Masela, meski Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman
yang membawahi kementerian ESDM telah berulang-ulang kali secara tegas
mengarahkan agar proyek kilang tersebut dibangun di darat, toh nyatanya
Sudirman Said tetap ngotot untuk dilaksanakan di tengah laut.
Dari situ, Sudirman Said dengan jelas terkesan sangat
membela pihak investor yang juga sangat ngotot menghendaki pembangunan kilang
Blok Masela agar dilakukan di tengah laut, yakni Inpex Corporation dan Royal
Dutch Shell. Tahu kan ada apa di dalam benak pengusaha jika sudah
ngotot-ngototan kayak gitu....???
Yaa... boleh ditebak “makna” ngotot kedua pihak
investor itu, bahwa jika dilakukan di tengah laut maka tentu akan lebih mengenyangkan
dan menguntungkan pihak investor tersebut, sebab dapat memiliki “ruang
pergerakan” yang sangat leluasa.
Dan sebaliknya, jika dilakukan di darat maka akan
sangat menguntungkan rakyat di sekitarnya dan juga bagi bangsa Indonesia secara
keseluruhan, sebab diyakini pemanfaatan minyak dan gas tersebut bisa
memunculkan nilai tambah untuk memberikan multiplier effect bagi rakyat di sekitarnya.
Dari situ, publik pun sangat setuju dengan sikap ngotot
Rizal Ramli selaku Menko Kemaritiman yang menghendaki agar pembangunan Kilang
Blok Masela tersebut dibangun di darat. Sebab, sikap Rizal Ramli tersebut sangat
jelas-jelas lebih memperjuangkan kepentingan rakyat Maluku.
Buktinya, seluruh stakeholder, dan elemen-elemen serta
tokoh-tokoh pemuka masyarakat Maluku mendukung penuh Presiden Jokowi agar
segera mengambil dan menetapkan keputusan proyek Kilang Blok Masela tersebut dengan
metode pelaksanaan pembangunan di darat. Dan sejauh ini, boleh dikata 100
persen masyarakat Maluku sudah bulat menginginkan pengembangan Blok Masela
menggunakan metode onshore atau kilang darat.
Kabar terakhir, salah seorang tokoh masyarakat Maluku
yang juga anggota DPD-RI, Nono Sampono, telah menyatakan sikap penegasan masyarakat
Maluku terkait pembangunan kilang LNG Blok Masela, yakni jika dikaitkan dengan
aspek sosial dan ekonomi maka hanya menyetujui pembangunan di darat.
Menurut Nono Sampono yang pernah aktif sebagai perwira
tinggi di Angkatan Laut berpangkat Letnan Jenderal Marinir ini, bahwa keputusan
masyarakat Maluku yang menghendaki pembangunan kilang di darat itu keluar
setelah dilakukan kajian yang mendalam, yang melibatkan para pakar.
“Kami semua bulat, onshore (di darat). (Ini) Berdasarkan
Musyawarah Nasional Masyarakat Maluku,” ujar Nono.
Nono mengungkapkan, bahwa kehendak masyarakat Maluku
ini telah didukung penuh oleh para gubernur, bupati, dan walikota yang juga
jauh-jauh hari menginginkan pembangunan kilang tersebut dengan metode onshore
(di darat).
“Bahkan Ketua MPR kan mendukung kita. Beliau bilang,
dengarkan apa kehendak masyarakat Maluku,” ujar Nono, Rabu (24/2/2016).
Sehingganya, mantan Komandan Korps Marinir inipun meminta
masyarakat agar tidak terkecoh hitung-hitungan angka yang disodorkan oleh Inpex
dan Shell, yang mengatakan pembangunan di darat memakan biaya lebih besar
dibanding pembangunan di laut (offshore).
Pembengkakan dana yang disampaikan Inpex dan Shell
sudah dibantah keras oleh Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, dengan
menyodorkan angka tandingan. “Ternyata hitungan Menko Maritim justru lebih
berani. Terjadi manipulasi data (dilakukan Inpex-Shell). Makanya kami tetap
mendukung onshore,” tegas Nono yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Basarnas
ini.
Olehnya itu, jika benar-benar ingin mendengar dan
mengikuti suara serta kehendak rakyat, maka Presiden Jokowi tidak sepantasnya
memaksakan keinginan pihak-pihak yang menghendaki pembangunan kilang dengan
metode floating-offshore (terapung di tengah laut). Sebab, suara rakyat Maluku
total menghendaki di darat.