Monday, 15 February 2016

Andai Aku Menteri Pertanian atau Perikanan, Petani dan Nelayan Pasti Kuberi Gaji

(AMS, Artikel)
DAHULU ketika masih kelas 5 Sekolah Dasar (SD), saya sangat gemar menanam bawang merah, lombok kecil, tomat, jagung, bahkan padi. Selain itu, saya juga memelihara berbagai jenis ikan di kolam yang saya buat sendiri. Semuanya kugarap di pekarangan rumah.

Sebelum tidur, biasanya pukul 20.00 hingga 21.30, dan juga sebelum ke sekolah setiap pagi sekitar pukul 5.00, saya rutin memeriksa perkembangan tanaman dan ikan-ikan tersebut. Hari minggu,  adalah waktu panjang yang kuhabiskan untuk berlama-lama dengan senang hati merawat tanaman serta ikan-ikan tersebut. Dan kegemaran ini berlangsung hingga kelas 2 SMP.

Kegemaranku itu membuat ayah dan ibuku banyak tersenyum dan geleng-geleng kepala. Bahkan pernah mereka bertanya sambil tertawa terbahak-bahak kepada saya, “sudah berapa ton hasil tanaman dan ikan-ikan kamu?”

Ayah ibuku memang wajar ketawa terbahak-bahak. Sebab, rumah kami hanyalah Perumnas tipe 30. Ada pekarangan samping ukurannya cuma sekitar 1 meter x 7 meter, dan pekarangan belakang hanya sekitar 3 meter x 5 meter.

Bawang merah, lombok, dan tomat, juga kolam ikan berisi ikan rawa seperti ikan gabus/toman (di daerahku namanya Kanjilo), ikan betik (di daerahku dinamai ikan Balebalang), juga ikan sepat rawa (di daerahku disebut ikan Cambang-cambang) semuanya kutempatkan di pekarangan samping. Sedangkan jagung dan padi di pekarangan belakang.

Kondisi garapan “pertanian dan perikanan” milikku itulah yang membuat ayah dan ibuku tertawa terbahak-bahak. Namun meski demikian, ayah dan ibuku pernah marah besar kepadaku.

Pasalnya, saya pernah kedapatan mengambil 2 liter beras dari dapur untuk kuberikan kepada seorang petani jagung miskin sebagai “bayaran” dari benih yang ia berikan kepadaku. Juga sempat ketahuan menjebol celenganku untuk kuberikan kepada petani padi miskin yang telah memberikanku benih dan pengetahuan tentang bertani.

Dan “kasus” ini memang telah berkali-kali kulakukan, sehingga kala itu saya ketakutan dan sempat lari menyendiri ke rumah teman, tapi tak sempat nginap karena membayangkan “ladang pertanian dan perikananku” akan diobrak-abrik oleh ayahku, namun untung saja itu tidak dilakukannya.

Tetapi sesampai di rumah, saya “disemprot” dengan kata-kata “mutiara”. Empat orang saudaraku juga ikut duduk mendengar ocehan dari bapak dan ibuku.

“Nak, bapakmu itu cuma pegawai negeri golongan rendahan, tiap bulan gaji harus dipotong, masih untung kamu bisa sekolah. Jadi tolong jangan bikin tambah susah keadaan. Belum saatnya kamu membantu orang lain, karena kita juga masih sangat sulit. Nanti kalau memang ada takdirmu jadi menteri, di saat itulah kerahkan seluruh kemampuanmu untuk membantu petani-petani, kalau perlu beri mereka gaji supaya bisa bersemangat bekerja untuk menghasilkan lebih banyak padi, rempah-rempah dan lain-lain,” ujar almarhumah ibuku semasa hidup kala itu, dan saya hanya bisa tertunduk. Sebab memang saat itu gaji ayahku sebagai PNS yang bertugas selaku pemungut retribusi sekitar 75% harus dipotong selama lebih 5 tahun sebagai sanksi atas perbuatan yang ia tidak lakukan. Saudara tirinya, sempat memakai (menjual/mencaplok) nama ayahku untuk memungut retribusi dan bahkan meminjam uang dari pemilik kios dan toko-toko di Kota Makassar, selama berbulan-bulan hasil pungutan itu ia lahap tanpa sepengetahuan ayahku.

Itulah yang menjelaskan mengapa almarhumah ibuku saat itu sesungguhnya sangat bangga namun bercampur sedih ketika mengetahui sikapku tersebut. Dan alasan itu pula yang menjelaskan mengapa ibuku selama bertahun harus menakar nasi dan lauk-pauk alakadarnya untuk disajikan kepada suami dan anak-anaknya.

Dan sejak dari situ, saya hanya bisa berangan-angan menjadi insinyur pertanian, bahkan bercita-cita ingin menjadi seorang menteri pertanian. Sayangnya, Tuhan masih berkehendak lain, tahun 1991 saat ujian masuk perguruan tinggi, dari tiga pilihan (di Unhas fakultas pertanian jurusan pertanian, dan jurusan perikanan, serta jurusan Fisika di IKIP Makassar) saya justru hanya lulus di Jurusan Fisika (MIPA) di IKIP Makassar (sekarang bernama Universitas Negeri Makassar).

Di saat itu kegemaranku bercocok-tanam, juga angan-angan serta harapan almarhumah ibuku semakin terasa sangat sulit terwujud. Terlebih ketika saya lulus diterima sebagai wartawan di salah satu media cetak terkemuka di Kota Makassar.

Hingga pada saat saya mengundurkan diri dari perusahaan media cetak tersebut, justru membuat saya merasa makin mencintai profesi sebagai seorang jurnalis. Bahkan merasa tertantang, hingga kemudian bisa berdiri sendiri dengan mendirikan perusahaan penerbitan majalah di Kota Gorontalo (kampung halaman almarhumah istriku) dengan modal yang sangat minim, alias tanpa suntikan modal dari lembaga keuangan manapun.

Sayangnya, perusahaan media cetak yang telah saya bangun sejak tahun 2000 itu, tahun 2013 harus saya hentikan untuk sementara waktu karena sesuatu dan lain hal, salah satunya masalah pengembangan yang terbentur modal, di mana sejak awal memang saya tak pernah “dikasihani” oleh pihak perbankan, meski selalu mengajukan proposal permohonan modal dalam rangka pengembangan usaha.

Tetapi sudahlah, yang penting saat ini saya tetap bisa menjalani hidup sebagai seorang penulis profesional untuk kebutuhan penerbitan buku dan sejenisnya. Di samping itu saya juga bisa aktif sebagai pengamat independen, pun giat terlibat selaku aktivis penegak kedaulatan rakyat untuk perubahan.

Dan meskipun tak bisa lagi menjadi insinyur pertanian, apalagi menjadi seorang menteri pertanian, namun hingga saat ini hasratku untuk ikut berpartisipasi demi kemajuan negeri ini masih sangat tinggi. Paling tidak sementara ini bisa saya tumpahkan dalam bentuk ide dan saran melalui tulisan-tulisan yang bisa langsung diposting secara online, misalnya di blog pribadi atau di Kompasiana dan juga di media warga lainnya.

Dari situ, saya (juga tentunya dengan seluruh rakyat Indonesia), pastilah sangat berharap kepada pemerintah saat ini agar dapat memunculkan cara dan strategi yang berbeda dibanding pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

Salah satunya tentu saja sangat berharap, kiranya pemerintah saat ini segera memunculkan terobosan yang benar-benar dahsyat di sektor pertanian dan perikanan (kelautan), misalnya sebagaimana “angan-angan” saya sejak kecil, yakni “andai saja saya menjadi Menteri Pertanian atau Perikanan maka pasti petani/nelayan juga akan kuberi gaji tiap bulan layaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS)”.

Sayangnya, yang masih terjadi sampai saat ini adalah uang negara lebih banyak dihabiskan untuk membiayai hidup para PNS. Dan parahnya, meski sudah ada gaji dan tunjangan, namun tak sedikit PNS yang malah “gemar” menilep dan menggerogoti uang negara lainnya (korupsi), tetapi negara nampaknya menutup mata dan pura-pura tak mengetahui “kegemaran” sebagaian besar PNS tersebut. Sudah begitu, mereka (para PNS) malah sangat keseringan menuntut kenaikan gaji pula.

Sementara anggaran untuk kepentingan para petani serta nelayan sangatlah minim. Dan sungguh kasihan, anggaran petani dan nelayan yang sudah minim tersebut malah tak jarang ikut ditilep (dikorupsi) oleh PNS di dinas pertanian juga perikanan di sejumlah daerah.

Dari data APBN 2016 yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan pada Rabu (13/1/2016), tercatat anggaran untuk belanja pemerintah pusat dipatok sebesar Rp.1.325,6 Triliun. Dan sekitar 26 persen dari anggaran tersebut diarahkan untuk  membayar gaji 4,5 juta orang PNS dengan nilai Rp.347,5 Triliun.

Bandingkan dengan porsi anggaran penanganan sektor pertanian yang dialokasikan pada Kementerian Pertanian hanya sebesar Rp.31,5 Triliun. Juga dengan porsi anggaran untuk menggenjot sektor kelautan dan perikanan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan yang hanya dialokasikan sebesar Rp.13,8 Triliun.

Mengetahui kenyataan porsi anggaran gaji PNS yang begitu sangat tinggi dibanding alokasi anggaran untuk sektor “petani dan nelayan” seperti tersebut di atas, maka betapa “lucu nan memprihatinkannya” negeri yang dikenal sebagai negara agraris dan maritim ini.

Wajar saja jika jumlah petani saat ini juga terus berkurang. Sebab, menjadi petani serta nelayan di negeri agraris dan maritim ini belumlah bisa dijamin kesejahteraannya oleh negara.

Kedaulatan pangan pun kini terancam mandul seiring penurunan jumlah petani. Pendapatan petani yang rendah adalah faktor utama menurunnya jumlah petani. Pendapatan petani hanya Rp.9.000 per kapita per-hari. Bahkan bisa Rp7.950 per hari. Para pemuda desa lebih memilih pindah ke kota untuk bekerja di pabrik atau berdagang.

Dengan kondisi seperti itu, sudah pasti produktivitas pertanian dalam negeri jelas akan selalu rendah jika tidak ditopang oleh tenaga kerja (petani) yang memadai. Tetapi justru di situlah masalahnya. Petani saat ini sebagian besar sudah jenuh dan tak bersemangat lagi menjadi petani. 

Dengan jumlah petani yang jumlahnya terus menurun, tentu membuat produktivitas pertanian dalam negeri pun ikut cenderung menurun. Akibatnya, nilai impor pertanian mencapai 2 kali lipat dari persentase ekspor yang hanya 7%. Dan jika masalah ini tak dapat diatasi, maka dalam 10 tahun ke depan pasokan pangan Indonesia akan benar-benar bergantung sepenuhnya pada impor (dari negara luar).

Dari data BPS, tahun 2003 jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) masih mencapai 31,2 juta rumah tangga, namun pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 26,1 juta rumah tangga. Dan sekali lagi, hal ini sudah pasti sangat mempengaruhi produktivitas pertanian dalam negeri yang juga akan terus menurun.

Kondisi tersebut tentu saja merupakan indikasi ancaman terhadap ketahanan pangan kita. Olehnya itu, pemerintah harus segera mengambil terobosan dahsyat dalam memajukan sektor pertanian, juga kelautan dan perikanan. 

Langkah terobosan yang dimaksud adalah seperti yang sering dikumandangkan oleh Menko Kemaritiman dan Sumberdaya, Rizal Ramli, yaitu “Think and act out of the box”. Artinya, kita harus berpikir dan bertindak berbeda dari yang lainnya, yakni di luar dari yang “rutin” atau yang biasa dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya.

Think and act out of the box dalam konteks ini adalah pemerintah hendaknya tidak ragu-ragu untuk segera pula memberi gaji setiap bulannya kepada para petani serta nelayan. Dan jika langkah ini diwujudkan, maka sangat mendatangkan keuntungan bukan hanya buat petani atau nelayan tetapi juga buat seluruh rakyat di negeri ini.

Konsekuensinya, negara memang harus menambah anggaran untuk menggaji petani dan nelayan. Tetapi anggaran tersebut tidak seberapa besar dibanding hasil yang akan dicapai, terutama dalam hal produktivitas pertanian yang diyakini mampu meningkat berkali-kali lipat.

Saya membayangkan, daripada pemerintah mengutang sana-sini untuk hal-hal lain (seperti beli pesawat boing, atau pelaksanaan proyek kereta api cepat, dll), maka sangat mulia jika pemerintah berani mengutang demi memacu produktivitas pertanian dan perikanan kita.

Sebab dengan hasil melimpah yang akan dicapai oleh mereka (petani dan nelayan), maka tentulah itu bukan hanya petani dan nelayan yang akan merasakan sendiri hasilnya, tetapi juga sekaligus akan mampu mengangkat kesejahteraan dan kemakmuran buat seluruh rakyat Indonesia.

Sebab, dengan diberi gaji, petani dan nelayan tentu akan senantiasa bersemangat karena kesulitan pemenuhan kebutuhan mereka selama proses produksi bisa ditanggulangi oleh negara, bukan tengkulak.

Dan dampak positif lain jika petani dan nelayan diberi gaji setiap bulan layaknya PNS adalah dapat mengubah pola pikir anak sekolahan (juga mahasiswa) yang rata-rata ngotot ingin bersekolah (sampai-sampai harus menjual tanah, lahan, juga ternaknya) hanya karena ingin menjadi pegawai negeri sipil.

Artinya, dengan adanya gaji bagi petani dan nelayan, maka para generasi pencari kerja bisa memiliki pilihan agar tidak semata-mata ingin bekerja di kantoran karena memburu gaji sebagai jaminan “menambal” hidup setiap bulannya.

Berikut ini adalah masukan tentang cara dan sistem penggajian petani dan nelayan menurut hitung-hitungan saya. Namun dalam perhitungan ini, saya hanya memunculkan perhitungan khusus gaji petani negeri (bukan petani yang bekerja di atas lahan pertanian berbadan hukum (perusahaan).

Dalam sistem penggajiannya, petani yang mendapat gaji dapat dibagi dalam 4 golongan. Untuk membaginya ke dalam 4 golongan, dapat kita mengambil dasar pada jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) yang dimunculkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 seperti pada tabel 1 di bawah ini.

Penggajian harus berdasar RTUP (bukan perorangan atau perjiwa) karena dalam satu RTUP anggota keluarga yang terdiri dari kepala keluarga, istri dan anak biasanya atau rata-rata ikut terlibat sebagai petani, paling tidak membantu kepala keluarga dalam bertani.


1. Golongan A adalah petani yang memiliki dan atau bekerja di atas luas lahan kurang dari 1000 m2,
2. Golongan B adalah petani yang memiliki dan atau bekerja di atas lahan 1000m2 hingga 4999m2,
3. Golongan C adalah petani yang memiliki dan atau bekerja di atas lahan 5000m2 hingga 19999m2,
4. Golongan D adalah petani yang memiliki dan atau bekerja di atas lahan 20000m2 hingga > 30000m2.

Dan berdasar dari golongan tersebut, di bawah ini adalah contoh (sekaligus masukan) daftar nilai atau gaji petani (dan tunjangannya) dapat saya tampilkan dalam tabel 2 berikut ini :


Dari tabel 2 daftar gaji petani di atas, terlihat jumlah gaji petani yang memiliki luas lahan sempit (kurang dari) 1000 m2 mendapat lebih besar dibanding dengan petani yang memiliki dan bekerja di atas lahan yang lebih luas. Hal itu hendaknya bisa dimaklumi.

Sebab, rata-rata petani yang memiliki dan bekerja di atas luas lahan sempit itu adalah petani yang benar-benar miskin. Saking miskinnya, jumlah petani macam ini mengalami penurunan yang sangat drastis. Yakni berdasarkan data BPS, jumlah RTUP yang memiliki dan bekerja di atas lahan kurang dari 1000 m2  ini pada tahun 2003 berjumlah 9.380.300 rumah tangga, namun kemudian berkurang di tahun 2013 menjadi 4.338.847. Bisa ditebak, alasan utamanya adalah karena mereka merasa “tak dapat bertahan” hidup jika terus-terusan mengandalkan penghasilan dari usaha pertanian di atas lahan kurang dari 1000 m2 tersebut.

Jadi, jika dicermati secara saksama tabel 2 daftar gaji petani di atas, maka perhitungannya nampak sudah cukup adil. Misalnya, petani padi sawah di lahan kurang 1000 m2 hingga 2.000 m2 hasil panen pertanian yang bisa dicapai yakni hanya sekitar 500 kilogram. Artinya, dengan hasil sebesar itu, petani tersebut hanya mendapatkan tunjangan 25% setiap sekitar 3 bulan (masa panen) dari gajinya perbulan. 

Begitupun dengan petani yang memiliki dan bekerja di atas lahan yang luas, misalnya 2 hektar hingga 3 hektar, yang bisa tiap 3 bulan sekali mendapat tunjangan 75% dari gajinya karena memiliki potensi hasil panen yang lebih banyak pula. Sehingga petani golongan A, B, C, dan D rata-rata akan mendapatkan penghasilan (gaji + tunjangan) dalam 3 bulan sekali adalah “beda-beda tipis”, yakni kisaran Rp. 1.000.000.

Jika berdasar pada tabel 2 daftar gaji tersebut, maka pemerintah akan menyiapkan anggaran setiap bulan sebesar sekitar:
1. Untuk Golongan A = Rp.3,2.. Triliun,
2. Untuk Golongan B = Rp.6,1.. Triliun,
3. Untuk Golongan C = Rp.4,5.. Triliun, dan
4. Untuk Golongan D = Rp.1,6.. Triliun.
►► Jumlah = Rp.15,5.. Triliun per bulan. Angka ini dikali 12 bulan, menjadi total Rp.187,1 Triliun. (Untuk lebih jelas lihat tabel 3)


Sementara itu berdasar ketentuan (syarat) tunjangan kinerja pada tabel 2 di atas, maka dapat diestimasi besar tunjangan petani (sesuai kinerja/produktivitas) yang akan disiapkan oleh pemerintah adalah berkisar antara Rp.150.000 hingga Rp.250.000 untuk setiap golongan. Sehingga secara akumulasi untuk seluruh golongan setiap 3 bulan sekali (4 kali dalam setahun atau berdasar masa panen) total anggaran tunjangan petani adalah rata-rata Rp.200.000 X jumlah total RTUP (A, B, C, D), yakni  Rp.200.000 X 26.135.469 RTUP = Rp.5,2.. Triliun (total tunjangan setahun).

Sehingganya, total anggaran setahun yang harus disediakan oleh pemerintah untuk memberi gaji ditambah tunjangan para petani adalah (Jumlah periodik 1 tahun + Total Tunjangan setahun) = Rp.187,1 Triliun + Rp.5,2 Triliun = Rp. 192,3 Triliun. Dan untuk teknis pembayarannya tidak perlu diserahkan penanganannya kepada dinas pertanian atau perikanan, cukup langsung melibatkan kepala desa atau lurah masing-masing.

Namun semua yang menjadi penjelasan dan gambaran ide dari saya ini hanyalah sebatas saran dan masukan buat pemerintahan Presiden Jokowi. Selain karena saya pernah “melakoni diri sebagai petani” sejak kecil, juga karena memang faktanya hidup para petani dan nelayan hingga detik ini rata-rata masih sangat miskin. Padahal, merekalah yang telah banyak memeras dan menumpahkan keringatnya demi “menyambung” hidup kita semuanya. 

Olehnya itu pemerintah hendaknya tak usah kuatir, apalagi takut kehabisan anggaran (kalau perlu demi kesejahteraan petani dan ketahanan pangan yang lebih kokoh, pemerintah jangan ragu-ragu mengutang ke luar negeri) guna mengalokasikan anggaran untuk memberi gaji kepada petani-petani kita. Dan sungguh bisa diyakini, para petani akan sangat lebih bergairah lagi dalam memacu kinerja atau produktivitas pertaniannya hingga mencapai berkali-kali lipat dibanding besaran gaji yang mereka terima.

Pun pemerintah jangan pernah cemas dengan anggaran untuk gaji para petani tersebut, sebab mereka (para petani) tidak akan pernah melakukan korupsi seperti yang lazim digemari di lingkungan pemerintahan oleh oknum-oknum PNS. 

Malah dengan menggaji para petani juga para nelayan, tentu akan semakin memudahkan Indonesia menjadi negara yang benar-benar hebat dalam kemandirian ekonominya, yakni melalui kekuatan seluruh petani dalam memperkokoh Indonesia sebagai negeri Agraris, tentu saja bersamaan dengan langkah kebangkitan seluruh anak bangsa dalam menancapkan kembali tonggak kejayaan Indonesia sebagai negara Maritim yang tangguh. Lalu, tunggu apa lagi...?!?!? Ayo segera Think and act out of the box....! Sekarang!!!