Thursday 3 March 2016

Untunglah Ada Rizal Ramli dalam Pemerintahan, Kalau Tidak Maka Diam-diam Mafia dan Asing Pasti Sudah Kuasai Blok Masela dll


(AMS, Artikel)
HASRAT Sudirman Said selaku Menteri ESDM bersama gengnya untuk memuaskan keinginan investor asing (Inpex dan Shell) yang menghendaki pembangunan Kilang Gas Blok Masela di tengah laut, hampir saja tercapai secara diam-diam, alias tak diketahui oleh publik. Artinya, kita semua lagi-lagi hampir kecolongan.

Kala itu, PT. Tridaya Advisory (milik mantan pimpinan KPK, Erry Riyana Hardjapamekas) yang bertindak sebagai Firma konsultan Inpex Masela sangat giat melakukan manuver agar pemerintah segera mengeluarkan keputusan pembangunan Kilang Gas Blok Masela dengan metode terapung di laut (Offshore).

Namun setelah Presiden Jokowi memasukkan sosok mantan aktivis mahasiswa ITB yang pernah dipenjara karena melawan sengit rezim Orba, yakni Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman, maka sejumlah agenda “tersembunyi” yang telah disusun rapi oleh geng-geng mafia dalam pemerintahan sebagai kebijakan pun langsung “diobrak-abrik” oleh Rizal Ramli. Mengapa?

Karena kebijakan-kebijakan tersebut dianggap sangat kental dengan “permainan” yang dapat merugikan bangsa dan negara. Yakni, mulai dari rencana pembelian 30 unit pesawat Airbus A350 oleh PT Garuda Indonesia yang digodok oleh Menteri BUMN (1 unit bisa mencapai Rp. 4,4 Triliun), masalah proyek listrik 35 ribu megawatt, Pelindo II, Freeport, hingga pada proyek pembangunan Kilang Gas Blok Masela.

Dan khusus mengenai proyek pembangunan Kilang Gas Blok Masela, Rizal Ramli benar-benar tidak ingin diajak kompromi di atas “meja  perundingan” dengan kelompok mafia yang menghendaki metode offshore (di laut). Sebab, sesantun apapun perundingannya, pasti hasilnya cenderung hanya lebih merugikan bangsa dan negara, terutama masyarakat Maluku.

Olehnya itu, Rizal Ramli yang memang sejak dulu selalu berada di barisan terdepan dalam hal membela kepentingan rakyat lebih memilih untuk “berteriak” agar semua orang se-antero nusantara ini tahu, bahwa “Blok Masela terancam dikuasai mafia dan asing”.

Dan satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa Rizal Ramli tak pernah gentar menghadapi resiko apapun demi membela kepentingan rakyat. Dan ini sudah pernah terbukti di masa lalu, yakni kendati dirinya tahu akan dipecat sebagai komisaris utama PT. Semen Gresik, toh pada tahun 2008 Rizal Ramli tetap melakukan aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM di depan istana dengan membawa sekitar 20 ribu massa yang terdiri mahasiswa, buruh, petani, nelayan dan lapisan masyarakat lainnya.

Begitupun dengan soal pembangunan Kilang Gas Blok Masela ini, semangat Rizal Ramli tentu saja takkan surut untuk melawan siapa saja yang tidak menghiraukan suara rakyat Maluku yang menghendaki metode onshore (di darat).

Dan sekali lagi, Rizal Ramli begitu amat tegas menolak offshore, sebab ia sangat mengetahui bahwa saat ini Blok Masela sedang terancam akan dikuasai oleh para mafia dan asing. Bagaimana ceritanya?

Begini! Disebutkan, bahwa Sudirman Said punya hubungan dekat dengan Kuntoro Mangkusubroto (mantan Menteri Pertambangan, 1998).

Kuntoro yang saat ini sebagai Komisaris Utama PLN adalah seorang teknokrat sekaligus politisi produk orde baru paling andal yang masih tersisa. Kecerdikannya bermanuver jauh lebih licin daripada mantan Ketua Umum Golkar, Akbar Tandjung. Sehingga tak heran ia bisa bertahan di pusat kekuasaan di segala zaman. Mulai orde Soeharto hingga Joko Widodo.

Dalam meleluasakan dirinya, Kuntoro berhasil “membangun dua jaringan”. Di dunia internasional dengan IMF, Bank Dunia, kaum neolib dan korporasi multinasional, khususnya yang bergerak di sektor migas.

Sampai itu ia termasuk salah satu arsitek munculnya UU No 22/2001 yang meliberalisasi sektor migas. Namun tahun 2012, UU ini dibatalkan Mahkamah Konstitusi atas gugatan Muhammadiyah, kalangan NU, serta tokoh pergerakan seperti Rizal Ramli, dan lain sebagainya.

Sementara jaringan di dalam negeri, Kuntoro berhasil tembus menjadi Kepala UKP4 (Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan & Pengendalian Pembangunan) di rezim SBY. Di samping itu ia bergerak lewat jaringan MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) sehingga banyak orang mengira dia tokoh yang bersih. Padahal, ia sangat identik dengan “serigala berbulu domba”.

Buktinya, saat menjabat Dirut PLN zaman Presiden Gus Dur, Kuntoro terpaksa diberhentikan karena terindikasi korupsi.

Bukan cuma itu, saat jadi Kepala Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias (2005), tak jelas pertanggungjawaban publiknya, terutama mengenai berapa sumbangan untuk bencana tsunami dari dalam maupun luar negeri, serta berapa yang dipakai merehabilitasi kawasan tersebut, hingga kini tak jelas pertanggung-jawabannya.

Anehnya, Presiden Jokowi malah menunjuk Kuntoro sebagai Komisaris Utama PLN. Berikut juga dengan kaki-tangannya dari jaringan MTI seperti Sudirman Said menduduki jabatan sebagai Menteri ESDM yang memegang otoritas sumberdaya alam negara, sedangkan Teten Masduki, ditambah Johan Budi, sekarang ini merupakan orang paling dekat dengan presiden.

Begitupun dengan Erry Riyana Hardjapamekas, yang selain tetap menjadi mentor di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ia juga memimpin PT. Tridaya Advisory, yakni perusahaan yang dikontrak sebagai konsultan untuk menyukseskan dan meloloskan kebijakan offshore. Yang belakangan perusahaan ini disebut-sebut menerima uang jutaan USD dari Inpex, kontraktor gas Blok Masela itu.

Meski tak begitu dikenal, tetapi MTI bergerak secara “senyap” dan memiliki jaringan di hampir seluru penjuru angin. Makanya Kuntoro tetap berjaya meskipun memiliki banyak catatan hitam, seperti dalam putusan KPPU tahun 2004 terkait kasus tanker VLCC (Very Large Crude Carrier), nama Kuntoro Mangkusubroto disebutkan sebagai anggota dewan komisaris PT. Perusahaan Pelayaran Equinox milik Muhammad Reza yang kemarin ramai disebut sebagai raja mafia minyak terkenal itu.

Analis Geopolitik Global Future Institute (GFI), Hendrajit, sebetulnya juga pernah mengemukakan kekesalannya di jelang pembentukan Kabinet Kerja. Ia mengungkapkan, bahwa munculnya nama Sudirman Said sebagai kandidat kuat calon Menteri ESDM dan Rini Soemarno sebagai Menteri BUMN semakin memperjelas sindikasi-skema mafia baru menguasai sektor energi di Indonesia.

“Alangkah sembrononya Sudirman Said dijadikan Menteri ESDM, memperburuk wajah Pemerintahan Jokowi,” lontar Hendrajit.

Hendrajit pun menceritakan, Sudirman Said muncul di politik publik awal 2003, ketika “menjual” nama Nurcholis Madjid (Cak Nur) untuk maju Capres. Belakangan, Sudirman malah “mengkhianati” Cak Nur dan bergabung dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“SBY dan Paramadina hanya dijadikan tumpangan politik. Sudirman di kalangan bisnis migas  dikenal sebagai “mafia minyak” dengan strateginya seolah memotong impor minyak, tapi malah menerapkan skema Pola Integrated Suply Chain (ISC). Seolah-olah importir langsung tapi menjadi broker minyak. Sewaktu Sudirman menjabat corporate  secretary Pertamina era Ari Soemarno, di Pertamina Sudirman mendapat sokongan kuat Arifin Panigoro,” ungkap Hendrajit.

Parah, menurut Hendrajit, Sudirman juga direkomendasikan oleh Ari Soemarno, kakak Kandung Rini Soemarno. Hal itu tentu membuat terlihat betapa kuatnya intervensi keluarga Soemarno hingga seolah-olah bisa mengalahkan suara Megawati Soekarnoputri.

“Sudah pas, Rini Soemarno Menteri BUMN di Hilir Migas, Ari Soemarno kandidat Kuat Komisaris Utama Pertamina dan penjaga kebijakan dipegang Sudirman Said, kaki tangan Ari Soemarno memegang hulu Migas di ESDM dan mengamankan bisnis migas Medco-nya Arifin Panigoro, lengkap sudah network Soemarno dan Arifin Panigoro menguasai Jokowi, mengambil alih dari Megawati-PDIP. Selamat datang mafia migas baru, era Kabinet Trisakti,” tandas Hendrajit.

Meneropong jejak rekam Sudirman Said yang nampak banyak mengindikasikannya sebagai sosok mafia, membuat banyak kalangan pun dengan tegas menuntut Presiden Jokowi agar segera memecat Sudirman Said. Salah satunya adalah Direktur Eksekutif Energi and Mineral Transformation Institute, Muhammad Ikhsan Hattu.

“Saya kira (Sudirman Said) sudah sangat layak diberhentikan, dengan beberapa alasan Menteri ESDM Sudirman Said telah banyak melangar undang-undang, UUD 45 dan juga berbagai kebijakan Presiden sehingga membuat kegaduhan politik terkait dengan Migas dan Minerba. Ini adalah sebuah kejahatan negara yang terstruktur yang dibuat oleh Sudirman Said dengan melangar berbagai konstitusi,” ungkap Ikhsan.

Selain masalah Freeport, Ikhsan juga menyebutkan kebijakan Sudirman Said sebagai Menteri ESDM yang pernah melakukan pungutan dana untuk ketahanan energi pada penurunan harga BBM adalah bukti upaya membebani hidup rakyat, dan bahkan dinilai melangar UU karena tak punya payung hukum.

Berikutnya, menurut Ikhsan, kebijakan Sudirman Said terkait seleksi komite BPH Migas adalah dinilai tak sesuai UU. Pasalnya, proses seleksi Komite BPH Migas yang dilakukan oleh Panitia Seleksi Kementerian ESDM nampak sekali melenceng dan menyalahi prosedur yang berlaku. Di mana diketahui terdapat dua orang yang tidak mengikuti seleksi (Joko Siswanto dan Yus Yunus) tetapi diluluskan. Dan patut diduga kuat, bahwa dua peserta “gelap” tersebut sengaja disusupkan untuk mengamankan kepentingan Sudirman Said agar tetap menjadi mafia migas dengan mengatasnamakan UU dan Presiden.

Olehnya itu Ikhsan yang juga berasal dari Maluku ini mengimbau kiranya Presiden Jokowi dapat segera mencopot Sudirman Said dari jabatannya saat ini. “Kalau Presiden tidak memberhentikan segera Sudirman Said, maka saya kira presiden juga bagian dari konspirasi mafia migas bersama Sudirman Said,” tutur Ikhsan yang saat ini juga sebagai Ketua Umum Forum Pemuda Kawasan Timur Indonesia (FPKTI).

Tak hanya Ikhsan dan lainnya yang memandang Sudirman Said banyak melakukan pelanggaran, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD juga pernah menyebut Sudirman Said sebagai menteri ESDM telah melakukan pelanggaran terkait masalah Freeport.

Mahfud menuturkan, kesalahan fatal yang dilakukan Sudirman Said dalam kapasitasnya selaku Menteri ESDM adalah saat merespons surat PT Freeport Indonesia pada 7 Oktober 2015, yang isinya akan langsung memperpanjang kontrak PT Freeport begitu Undang-Undang Mineral dan Batubara direvisi.

"Artinya apa? Itu dia sudah menjamin akan merevisi dan revisinya pasti memperpanjang. Padahal kalau dia bener, kalaupun harus kirim surat karena sopan santun harusnya mengatakan akan diperpanjang kalau nanti Undang-Undangnya memungkinkan untuk itu. Ini kan langsung menjamin. Selain melanggar hukum, juga melanggar etika pemerintahan," ujar Mahfud.

Bahkan dalam akun twitternya, @mohmahfudmd, Selasa (8/12), Mahfud menuliskan, “Dalam ribut2 freeport ini bisa saja peran SS lebih destruktif daripada novanto. Oleh karena itu novanto harus ditindak tegas. SS pun harus segera diproses.

Jika mau jujur, statemen Mahfud MD tersebut memang tak keliru. Sebab, kalau mau jujur, Setya Novanto diberi sanksi padahal masih sebatas ungkapan (kalimat dalam rekaman), sementara Sudirman Said saat ini sudah sangat jelas banyak melakukan pelanggaran atas undang-undang yang berlaku.

Dan demikianlah sekelumit gambaran tentang Sudirman Said. Sekaligus gambaran itu pula yang sudah sangat diketahui jauh-jauh sebelumnya oleh Menko Rizal Ramli. Sehingga itu, sebagai rakyat Indonesia kita seharusnya merasa sangat beruntung karena masih ada sosok seperti Rizal Ramli di dalam Pemerintahan. Jika tidak, maka bisa diyakini kelompok mafia yang bercokol dalam pemerintahan bersama asing pasti sangatlah mudah dan leluasa menyedot seluruh kekayaan alam negeri kita, termasuk di Blok Masela.

Dan hingga kini pun tarik-menarik penentuan lokasi (di darat atau di laut) pembangunan Kilang Gas Blok Masela masih terus berlangsung, dan tentu saja ini tak bisa dipandang sepele. Sebab, meski penentuannya akan diputuskan pada tahun 2018, namun hal ini harus bisa segera dimatangkan sejak dini agar bila tiba waktunya kita benar-benar sudah siap dan tak lagi kelabakan.

Pun rakyat, terutama masyarakat Maluku harus bisa terlibat dan dilibatkan, tidak hanya dalam penentuannya tetapi juga dalam proses pengelolaannya di kemudian. Jika tidak, maka bisa dipastikan kita akan kembali kecolongan seperti yang dialami saudara kita di Papua, Freeport. Di mana kekayaan Indonesia di sana benar-benar menjadi “daging santapan lezat” buat kelompok tertentu (terutama asing), sementara “tulangnya” pun sangat sulit dinikmati oleh rakyat Papua sendiri. Sungguh memilukan?!?