Thursday, 7 January 2016

Pola Komunikasi Rizal Ramli Memang Tak Sehat Bagi Yang Tak Ingin Sehat


(AMS, Opini)
BEBERAPA pengamat beserta segelintir pihak saat ini nampaknya merasa “pegal” menyaksikan sepak-terjang Rizal Ramli. Mereka memandang Rizal Ramli telah melakukan kegaduhan di tubuh kabinet, sehingga membuat para menteri (juga Wapres) kini saling serang.

Pandangan seperti ini nampaknya sengaja dimunculkan dan diarahkan secara negatif agar pihak-pihak lainnya juga dapat ikut menilai buruk sosok Rizal Ramli.

Tetapi sayangnya, publik sangat paham, bahwa justru dengan saling serang tersebut maka akan terlihat dengan sendirinya mana menteri yang benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat, dan juga akan ketahuan mana menteri (pejabat negara) yang berani menyerang hanya demi membela kepentingan kelompok sang “majikan”.

Jika pada rezim sebelumnya tak ada menteri (pejabat negara) yang saling serang, itu karena memang rezim tersebut boleh dikata adalah rezim jahiliah penganut status quo. Mereka tahu ada keganjilan dan penyimpangan di dalam tubuh pemerintahan, namun mereka lebih memilih diam agar posisi (jabatan) masing-masing bisa tetap aman.

Contohnya di era Presiden SBY. Para menteri tak ada yang berani berteriak “mengepret” seperti yang dilakukan Menko Rizal Ramli saat ini. Mereka nampaknya lebih memilih untuk tidak ingin ambil pusing, terserah nasib rakyat mau jadi apa, yang penting jabatan mereka tetap aman dengan cara tutup mulut. Dan itulah contoh rezim jahiliah penganut status quo.

Padahal boleh jadi mereka sangat mengetahui kelakuan busuk yang dilakukan oleh sejumlah petinggi dan anak-anak emas Partai Demokrat juga dengan partai pendukung lainnya ketika itu.

Namun sekali lagi, mereka (para menteri) pada saat itu lebih memilih diam. Dan belakangan (saat ini), kelakuan busuk itu barulah terungkap. Lalu kepala, mulut dan mata rakyat pun hanya bisa bergeleng-geleng, melongo dan terbelalak menatap Nazaruddin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Menteri ESDM Jero Wacik, Menteri Agama Suryadharma Ali, semuanya terjerat kasus korupsi.

Olehnya itu, rakyat tentu saat ini merasa sangat tertipu dengan pola komunikasi yang “tenang” dan penampilan yang “diam” para menteri di era SBY yang seolah-olah berkata, bahwa tak ada penyelewengan di dalam tubuh pemerintahan SBY.

Padahal nyatanya, di dalam pemerintahan terjadi kegiatan bisnis haram secara berjamaah, yakni saling asyik melahap anggaran APBN melalui kegiatan proyek-proyek, --persis tapi tak serupa seperti yang saat ini sedang berlangsung di era Presiden Jokowi. Lalu apakah sosok pro-rakyat seperti Rizal Ramli yang saat ini jadi menteri harus juga diam dan pura-pura tak tahu dengan “bahaya” yang mengancam dapat merugikan bangsa dan negara ini?

Sehingga itu, pola komunikasi Rizal Ramli memanglah sangat tidak sehat bagi mereka yang tidak ingin sehat. Atau dengan kata lain, pola komunikasi Rizal Ramli tidak waras bagi mereka yang memang tidak waras.

Jika menteri-menteri waras dituntut agar selalu diam ketika mengetahui adanya “bahaya” yang mengancam negara ini, maka menteri-menteri (pejabat negara) yang tak waras alias gila yang akan menguasai negara ini.

Ingatlah, bangsa dan negara ini tidak akan hancur hanya karena tukang kritik seperti Rizal Ramli yang cenderung mengingatkan dan menunjukkan jalan tepat bagi pemimpin dan rakyatnya. Tapi bangsa dan negara ini akan hancur justru oleh para PENGPENG (PengUASA rangkap PengUSAHA). Mengapa?

Sebab, di dalam tubuh PENGPENG terdapat jiwa neo-liberalisme, neo-kapitalisme, neofeodalisme dan neo-kolonialisme yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, Pancasila, Trisakri, juga program Nawacita. Lalu manakah yang sehat, pola komunikasi jurus PENGPENG yang menganut status quo atau pola komunikasi jurus ngepret Rajawali Bangkit yang pro-perubahan?