(AMS, Artikel)
PENGPENG adalah penguasa (pejabat) sekaligus pengusaha (pedagang). Dan meski istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumberdaya, Rizal Ramli, tetapi sebetulnya “karakter” ganda ini sudah lama menjadi “monster” bagi rakyat karena memiliki “nafsu” yang sangat besar dalam mengejar kepentingan pribadi atau kelompoknya saja.
Misalnya, “melahap” anggaran negara secara monopoli melalui proyek-proyek atau dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berbau “komersial”, juga “memperjual-belikan” atau menyerahkan pengelolaan kekayaan alam negeri kepada asing untuk mendapatkan keuntungan bisnis sebesar-besarnya bagi perusahaan keluarga atau kelompoknya, dan lain sebagainya, adalah hal-hal yang sangat gampang dilakukan oleh seorang pengusaha (pedagang) yang bertahta di atas kursi kekuasaan.
Contohnya, di era Orde Baru keluarga (anak-anak, saudara, dan kerabat) Soeharto sangat leluasa mengendalikan (menguasai) dan mengatur-atur proyek-proyek yang dibiayai oleh negara. Mereka (keluarga Cendana) begitu mudahnya mengendalikan dan menjalankan banyak bisnis demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Dan kala itu, pihak-pihak lain (apalagi rakyat biasa) sama sekali tak diberi hak untuk protes dan intervensi apalagi untuk mau menghalang-halangi “nafsu” bisnis keluarga Presiden Soeharto tersebut. Jika ada yang berani, pasti langsung “dibabat”.
Tetapi pada akhirnya, rakyat pun gerah dan murka terhadap “profesi Pengpeng” yang digeluti secara “jiwa dan raga” oleh keluarga Cendana tersebut, sehingga kemudian inilah pula yang membuat kekuasaan Soeharto tumbang.
Namun betapa sangat aneh bin ajaib, di era Reformasi (yang anti Orde Baru) ini justru Pengpeng kembali berjaya. Sungguh sangat ironi..?!?! Sekaligus sangat menyedihkan! Cucuran keringat dan bahkan darah para pejuang reformasi (terutama Mahasiswa) yang rela berkorban demi lahirnya era Reformasi, nyatanya saat ini seakan hanya menjadi “minuman pembangkit energi para vampir Orde Baru”, yakni para Pengpeng.
Coba lihat saja saat ini, betapa “wajah” Reformasi sungguh sangat kusam dan pucat serta lemas tak berdaya karena telah menjadi pengalas kaki para Pengpeng. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme makin merajalela di mana-mana. Nadi ekonomi kerakyatan dan denyut jantung Trisakti disumbat oleh “Trio Neo”, yakni kaum Neoliberalisme, Neofeodalisme dan kaum Neokolonialisme.
Dan perlu diingat betul-betul, bahwa Trio Neo sebagai bentuk sifat dan paham (aliran) itu umumnya bercokol di dalam hati dan jiwa para Pengpeng. Coba tengok penjajah yang pernah menjajah negeri ini, seperti Belanda yang mendirikan VOC.
Di samping bertindak sebagai penguasa, Belanda juga mendirikan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan maksud menjalankan kongsi (persekutuan) dagang guna melakukan monopoli aktivitas perdagangan di Asia. Di saat itu, rakyat Indonesia benar-benar kehilangan hak-haknya. Rakyat bahkan diperas habis-habisan, tenaga, dan bahkan diwajibkan membayar pajak serta upeti.
Sebagai pencerahan, mari sedikit menengok sejarah. Jika dulu ada pemerintah Belanda (penjajah/penguasa) dengan VOC-nya, maka sekarang ada Pengpeng.
Sejarah mencatat pada abad 18, saat VOC berkuasa, sangat banyak terjadi praktik korupsi oleh penguasa-penguasa birokrasi. Salah satunya adalah Gubernur Jendral Johan Van Hoorn.
Johan Van Hoorn adalah Gubernur Jendral Hindia Belanda ke-17 yang memerintah pada tahun 1704-1709. Tokoh kelahiran Amsterdam 16 November 1653 ini dikabarkan menumpuk kekayaan sebesar 10 Juta Gulden di akhir jabatannya, padahal gaji resminya hanya sekitar 700 Gulden /bulan.
Merajalelanya korupsi berawal dari kepatuhan yang sangat oleh rakyat Indonesia saat itu. Kepatuhan itu awalnya muncul dengan sendirinya. Belakangan muncullah ordonansi atau kebijakan Gubernur Jendral Henricus Zwaardecroon yang mengatur cara penghormatan sebagai bentuk kepatuhan kepada penguasa. Tentu saja segala bentuk penghormatan itu tidak akan sempurna tanpa disertai pemberian upeti. Aliran upeti inilah yang kemudian menjelma menjadi awal epidemi korupsi. (Mungkin kalau sekarang bisa diidentikkan salah satunya dengan pungutan dana ketahanan energi, kali ya?)
Salah satu bentuk lain dari korupsi di tubuh VOC adalah penyunatan uang kas dan anggaran. Kemudian muncul cara lain seperti pemerasan kepada rakyat. Dan semakin meluasnya wilayah kekuasaan VOC semakin banyak pula bentuk-bentuk korupsi lainnya seperti pemotongan keuntungan yang seharusnya hak VOC, pemaksaan penyerahan hasil bumi diatas target, pemaksaan penyerahan upeti, dan menerima hadiah dari para penjilat. Tidak heran jika menjadi pejabat di VOC adalah kesempatan memperkaya diri. (Dulu Belanda-VOC, sekarang mungkin namanya Pengpeng).
Dan demikianlah adanya, di mana sejarah buruk nampaknya terus berulang-ulang di negeri ini, rakyat terus dibuat agar senantiasa patuh dan tunduk terhadap kehendak Pengpeng meski rakyat harus babak-belur dan menderita lahir-batin, lalu mati pelan-pelan. Sehingga itu, sepak terjang Pengpeng nampaknya lebih berbahaya daripada teroris. Tapi sama-sama biadab.
Bedanya, Pengpeng lebih licik, dan akan menyingkirkan pihak-pihak yang dianggap “pengganggu” dan penghambat rencana bisnisnya, termasuk pejabat-pejabat yang pro-rakyat. Yakni, dengan mengerahkan sejumlah “kalangan” seperti pengamat, organisasi independen, komunitas profesi, dll, hingga media massa untuk “menyerang” pejabat yang pro-rakyat tersebut. Dan bahkan bila perlu Pengpeng tidak mustahil bisa “menciptakan” gerakan teroris (mungkin sebagai bentuk pengalihan isu) demi memuluskan bisnis yang sedang dikejarnya.
Selanjutnya. Di mata para Pengpeng dan teroris, pekerjaan yang dilakukannya adalah hal yang “mulia”. Bedanya, dalam melakukan aksinya, teroris selalu siap mengorbankan dirinya. Dan ini sangat berbeda dengan Pengpeng, yang dalam mencapai tujuannya (Pengpeng) lebih banyak mengorbankan orang lain. Dan boleh jadi, sebagian besar aksi radikal atau teroris di negeri ini bisa muncul karena dipicu oleh “ulah” Pengpeng yang penuh dengan keserakahan. Sebab, jangan lupa, dulu rakyat kita yang melawan penjajah Belanda dan Portugis di sebut sebagai kelompok teroris.
Dengan menyadari betapa berbahayanya Pengpeng, maka secara tegas Rizal Ramli pun berharap agar Pengpeng harus segera dihapus dari muka bumi Indonesia. “Ini (Pengpeng) harus kita hapuskan,” lontar Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumberdaya, Rizal Ramli, dalam acara Haul Gus Dur ke-6 di Jalan Dempo, Matraman, Jakarta Pusat, Senin malam (12/1).
Sebab, mantan aktivis mahasiswa ITB yang pernah gigih berjuang membela hak-hak rakyat dengan melakukan perlawanan keras terhadap rezim Orba ini menilai, gejala peng-peng merupakan pengkhianatan bagi demokrasi. Warga akan dicederai oleh perilaku-perilaku segelintir orang yang mempunyai koneksi dengan pejabat untuk memuluskan kehendaknya.
Rizal Ramli menjelaskan, bahwa pengusaha yang sekaligus sebagai penguasa akan selalu menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk memuluskan langkah bisnisnya.
Namun Rizal Ramli mengakui, bahwa pada dasarnya pengusaha itu pekerjaan mulia. Pun demikian, penguasa juga pekerjaan mulia. Tapi kalau digabung menjadi pengusaha-penguasa (Pengpeng), maka akan menjadi malapetaka.