(AMS, Artikel)
MENTERI Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli, bersama Menteri Pariwisata, Arief Yahya, saat ini sedang menggodok sebuah terobosan jitu bernama Badan Otorita Pariwisata (BOP), yang prosesnya kini telah berada pada tahap finalisasi di tangan Presiden dalam bentuk Keppres.
Selanjutnya, Badan Otorita Pariwisata inilah kemudian yang secara khusus dan fokus bertugas memaksimalkan dan mengoptimalkan pengelolaan di sektor pariwisata dengan menitik-beratkan pada upaya peningkatan kawasan destinasi.
"Supaya manajemennya efektif harus ada yang namanya one single destination one single management. Setiap tujuan wisata manajemennya satu. Dibentuk otoritas," tutur Rizal Ramli.
Meski demikian, tidak semua objek wisata yang ada di Indonesia ini dibentuk BOP. Hanya di beberapa daerah, Bali bahkan tidak termasuk, sebab Pulau Dewata ini dianggap telah terlalu “macet” (sudah sangat ramai) dikunjungi oleh para wisatawan.
Adapun kawasan wisata yang akan dibentuk BOP tersebut adalah, Danau Toba (Sumut), Tanjung Kelayang (Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (Jakarta), Candi Borobudur dan sekitarnya (Jateng), Gunung Bromo (Jatim), Mandalika (Lombok), Pulau Komodo (NTT), Pulau Wakatobi (Sultra), Pulau Morotai (Malut), Raja Ampat (Papua Barat).
Daerah-daerah itulah yang akan ditangani oleh BOP masing-masing. Dan tentunya para BOP tersebut akan berlomba-lomba dan “bersaing” untuk dapat menjadikan kawasan wisata yang dikelolanya sebagai destinasi unggulan selain Bali. Di mana pada akhirnya ini kemudian akan membuat para wisatawan bisa lebih bergairah (tidak jenuh) pada satu tempat saja karena telah memiliki banyak pilihan destinasi yang dikelola secara profesional.
Dan inilah sebuah terobosan jitu sekaligus langkah konkret yang dicetus oleh Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli yang diserap sebagai program di Kementerian Pariwisata, yang kemudian sangat direspons oleh Presiden Jokowi karena dipandang sebagai salah satu upaya menuju kemandirian bangsa. Apalagi memang sektor Pariwisata ini merupakan penyumbang devisa terbesar keempat setelah minyak dan gas, batubara, serta kelapa sawit.
Pada 2014, devisa dari sektor minyak dan gas mencapai USD 32 Miliar, batubara USD 24 Miliar, dan devisa dari kelapa sawit USD 15 Miliar, sementara pariwisata hanya menyumbang devisa USD 10 Miliar.
Dari langkah terobosannya dalam membentuk BOP bersama Arief Yahya sebagai Menteri Pariwisata, Rizal Ramli selaku Menko Kemaritiman dan Sumber Daya pun kemudian menargetkan lima tahun ke depan jumlah wisatawan mancanegara akan mencapai 20 juta orang serta penerimaan devisa sebesar USD 20 Miliar.
Dan mengenai target ini, Rizal Ramli sudah mengawalinya dengan menambah 131 negara penerima Bebas Visa Kunjungan (BVK), dan hasilnya pada 3 bulan pertama telah terlihat pertumbuhan kunjungan turis telah mencapai 19% dari sebelumnya cuma berkisar 6 hingga 8%.
Menurut Rizal Ramli, sector Pariwisata punya banyak multiplier effect. “Kalau sektor pariwisata tumbuh, maka industri perhubungan, kerajinan dan industri kreatif bakal tumbuh. Pariwisata itu adalah sektor yang bisa menjadi sumber devisa, dan pada suatu saat nanti terbesar di Tanah Air,” jelas Rizal Ramli.
Meneropong terobosan Menko Kemaritiman dan Menteri Pariwisata tentang pembentukan BOP tersebut, Prof Arif Satria selaku pengamat kelautan dan ekonomi pariwisata menilai, hal itu sebagai langkah yang bisa memecahkan kebekuan perkembangan pariwisata di daerah.
Awalnya, Arif sempat mengira bahwa pembentukan badan otorita tersebut tidak didasari kepentingan kawasan destinasi. “Bila dasarnya tidak atas kepentingan kawasan destinasi, badan tersebut memang bisa tumpang tindih (overlapp) dengan keberadaan Kemenpar. Tetapi bila konsennya kepada kawasan destinasi, badan itu saya yakini akan membuat akselesari luar biasa terhadap perkembangan pariwisata kawasan,” jelas Prof Arif Satria yang saat ini juga sebagai Dekan Fakultas Ekologi Manusia (Fema) Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Sehingga itu, karena kehadiran BOP itu secara jelas akan konsen kepada kawasan destinasi, maka Prof Arif mendukung penuh pembentukan badan otorita tersebut untuk menggenjot kemajuan dunia pariwisata di berbagai objek wisata terpilih tersebut.
Prof Arif mengingatkan, Badan Otorita Pariwisata harus memprioritaskan kawasan destinasi wisata yang berada di daerah-daerah yang birokrasinya dinilai kurang memiliki kemampuan untuk mengembangkan destinasi wisata dengan cepat.
Menurutnya, yang seringkali menjadi persoalan dalam pengembangan pariwisata adalah mesin birokrasi. Ia mengibaratkan, mesin birokrasinya bukan bermesin ferrari, melainkan bermesin truk kuno. Sehingga, kata dia, kemacetan proses pengembangan pariwisata itu berada pada persoalan infrastruktur yang hingga saat ini masih memprihatinkan.
Olehnya itu, Prof Arif mengatakan, dengan dibentuknya Badan Otorita Pariwisata ini tentu akan mampu membereskan secepatnya persoalan-persoalan infrastruktur tersebut asalkan badan (BOP) ini komit untuk tetap fokus destinasi dan memprioritaskan infrastruktur. Ia bahkan mengaku optimistis terhadap BOP akan mampu menjadi katalisator pengembangan destinasi wisata di berbagai daerah di Indonesia.
Namun secara khusus, Prof Arif mengusulkan, bahwa sebaiknya dua kawasan wisata harus diprioritaskan penanganannya oleh badan ini, yakni Raja Ampat dan Pulau Komodo. “Kalau dikembangkan sungguh-sungguh dan sitematis, Raja Ampat (di Papua Barat) punya peluang besar mengungguli Maladewa (Maldives),” ungkap Prof Arif.
Sekadar diketahui, bahwa Maladewa adalah sebuah negara kecil dengan menjadikan Pariwisata sebagai sektor paling utama (unggulan) dalam menghidupi warganya. Bahkan karena kesuksesannya mengelola pariwisata, penghasilan orang Maladewa kini normalnya mencapai Rp. 140 Juta per-tahun atau sekitar Rp. 12 juta per-bulan.