Tuesday 29 December 2015

Apa Sebaiknya Dibentuk MKE, Biar Pejabat "Pengpeng" Seperti JK juga Bisa Segera Mundur?


(AMS, artikel)
SEPERTI diketahui, Setya Novanto (Setnov) akhirnya harus mundur dari jabatannya selaku Ketua DPR-RI. Setelah sebelumnya ia dilaporkan dan diseret ke dalam persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) oleh Menteri ESDM Sudirman Said, atas tudingan “papa minta saham” atau melakukan pertemuan secara diam-diam dengan PT. Freeport Indonesia dalam upaya mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok, di mana hal inilah yang dianggap tak etis.

“Lembaga” MKD yang sebelumnya tidak begitu dikenal oleh banyak kalangan, tiba-tiba menjadi tenar dan dipahami fungsinya.

Dalam kasus tersebut, Setnov benar-benar kelihatan tak berkutik. Sebab, dikabarkan ada Wapres JK yang “memainkannya”. Ditambah lagi dengan sejumlah media-massa, terutama salah satu stasiun TV swasta milik ketum sebuah parpol pendatang baru, secara terus-menerus “menghajar” Setnov (“anak emas” Aburizal Bakri) ini hingga “babak-belur”, lalu mengundurkan diri sebelum MKD memberi “amar-putusan”.

Pengunduran diri itupun sekaligus menunjukkan, bahwa kelompok Novanto dan Reza telah berhasil disingkirkan dalam “perang antar-geng”, yakni “persaingan” perebutan saham Freeport Mc Moran.

Mengamati kasus tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menduga, bahwa tidak hanya Setnov yang melakukan pelanggaran etik dan hukum. Tapi Sudirman Said (SS) selaku Menteri ESDM juga sama-sama melakukan pelanggaran etika dan hukum.

“Saya menduga Sudirman dan Novanto sama-sama melakukan kesalahan fatal,” ucap Mahfud dalam sebuah diskusi di salah satu TV swasta, di Jakarta, Selasa malam (1/12/2015).

Menurut Mahfud, kesalahan fatal yang dilakukan Sudirman Said dalam kapasitasnya selaku Menteri ESDM, adalah saat merespons surat PT Freeport Indonesia pada 7 Oktober 2015, yang isinya akan langsung memperpanjang kontrak PT Freeport begitu Undang-Undang Mineral dan Batubara direvisi.

“Artinya apa? Itu dia (SS) sudah menjamin akan merevisi, dan revisinya pasti memperpanjang. Padahal kalau dia bener, kalaupun harus kirim surat karena sopan santun, harusnya mengatakan akan diperpanjang kalau nanti Undang-Undangnya memungkinkan untuk itu. (Tapi) ini kan langsung menjamin. Selain melanggar hukum, (SS) juga melanggar etika pemerintahan,” tegas Mahfud.

Menggaris-bawahi pandangan Mahfud tentang SS yang juga dinilai melanggar hukum dan melanggar etika pemerintahan, maka akan adil kiranya jika di dalam lingkungan pemerintahan juga dapat dibentuk sebuah Mahkamah Kehormatan, misalnya bernama MKE (Mahkamah Kehormatan Eksekutif), yang para anggotanya dapat berasal dari kalangan pakar hukum (termasuk pakar hukum tata negara), ahli pemerintahan, akademisi,  pegiat HAM dan anti-korupsi, atau kalangan mana saja yang dianggap punya kompetensi dan berkredibel.

Masalahnya seperti saat ini. Ketika menurut Mahfud dalam kasus Setnov tersebut juga telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh SS, lalu “lembaga” apa yang bisa langsung mengadili SS, seperti dengan mudahnya mengadili Setnov di MKD?

Atau dengan kata lain, jika tak ada “lembaga” mahkamah kehormatan yang bisa menggelar “sidang” secara langsung dan cepat terhadap pejabat negara (eksekutif) yang juga diduga telah melakukan pelanggaran hukum dan etika (seperti yang dialami Setnov), maka negara ini boleh dikata sedang melakukan pembiaran kepada para pejabat negara (eksekutif) untuk leluasa melakukan pelanggaran etika dan hukum.

Artinya, ketika anggota dewan diduga melakukan pelanggaran, di sana ada MKD yang bisa langsung bertindak secara cepat. Tetapi jika pejabat negara (eksekutif) melakukan pelanggaran yang sama, tidak ada “mahkamah kehormatan” yang bisa cepat dan langsung menindakinya. Tentu saja ini tidak adil!

Tidak adanya mahkamah kehormatan di lingkungan pemerintah (eksekutif), membuat para pejabat tersebut merasa dapat berbuat apa saja, termasuk berbisnis atau dengan cara mengeluarkan kebijakan yang dapat mendatangkan keuntungan pribadi dan kelompoknya saja.

Tengok saja ulah SS. Pejabat yang dinilai sebagai “menteri emas” Wapres JK itu betapa tampak sangat tergopoh-gopoh dan bernafsunya ingin melakukan perpanjangan kontrak Freeport, meski harus menabrak aturan dan undang-undang, namun samasekali ia tak bisa “diadili” seperti halnya dengan Setnov di MKD hingga harus mengundurkan diri.

Dan coba pula tengok, begitu sangat mudah dan leluasanya kelompok atau keluarga JK memonopoli proyek-proyek raksasa, dan betapa sangat mulus mendapatkan proyek bernilai triliunan, bagai melaju di atas jalan bebas hambatan. Kenapa? Karena tak ada Mahkamah Kehormatan di lingkungan pejabat (eksekutif).

Kelompok (keluarga) usaha JK begitu sangat terang benderang memainkan jurus aji-mumpung. Yakni memanfaatkan jabatan JK sebagai wapres untuk menyedot APBN sebanyak-banyaknya guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melalui bisnis proyek-proyek raksasa. Dan tentu saja ini sangat dapat dikategorikan sebagai kolusi dan nepotisme, yang ujung-ujungnya akan sangat berpotensi menjelma sebagai korupsi.

Dan hal itulah yang sangat diperangi oleh Rizal Ramli hingga harus mengepret (mengkritik) pejabat siapapun, termasuk JK, agar tidak mengabaikan kepentingan rakyat lalu mengutamakan kepentingan kelompok dengan cara mencampur-adukkan atribut JK sebagai penguasa sekaligus pengusaha.

Bukan hanya Rizal Ramli, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, politisi PDI-P Masinton Pasaribu dan banyak pihak lainnya yang dengan tegas menyatakan bahwa Wapres JK telah banyak menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan bisnis.

Memang, jika JK tetap menjabat Wapres maka bisa dipastikan kelompok dan grup usaha keluarganya akan selalu mendapat prioritas proyek-proyek raksasa. Juga akan mendatangkan kecemburuan sosial di tingkat para pengusaha lainnya karena terjadi monopoli dan persaingan yang tidak fair. Dan yang lebih memprihatinkan, JK yang diberi amanah oleh rakyat dalam usianya yang sudah tua itu nampaknya lebih cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan kelompoknya saja.

Lihat saja, sejak dulu dan sampai akhir-akhir ini JK tampak sering terlibat dalam pusaran konflik kepentingan. JK bahkan sangat sulit menerima kritik serta menolak disebut wapres “pengpeng” (Penguasa Pengusaha). Padahal semua orang juga tahu bahwa JK memang pejabat yang berlabel “pengpeng”. Yakni penguasa sekaligus pengusaha yang lebih cenderung berbisnis di dalam negara untuk meraih keuntungan kelompok bisnisnya.

Maka tak salah kiranya jika Menko Kemaritiman Rizal Ramli dengan sangat tegas mengatakan, bahwa pejabat yang rangkap sebagai pengusaha (pengpeng) sangat bisa merugikan negara dan rakyat, juga mengkhianati amanah Reformasi.

Kritik tajam juga harus dilakukan oleh Masinton terhadap “kelakuan” JK sebab JK dinilai tidak memahami dinamika di masyarakat yang menginginkan perubahan nyata bagi kesejahteraan publik.

“Tidak bisa negara ini dikelola dengan KKN. Saya kritisi JK karena KKN-nya. Agenda JK itu tak sesuai reformasi dan Nawacita. Ketika ada ramai-ramai di Republik, kok selalu ada JK. Saya tegaskan, saya kritik JK karena KKN-nya,” lontar Masinton seraya menambahkan, bahwa Soeharto jatuh ketika anak-anaknya mulai berbisnis, menggunakan otoritas kekuasaan orangtuanya untuk kepentingan bisnis anak-anaknya.

Sementara itu mantan penasehat Fraksi TNI/Polri dan FPD DPR-RI, Ronnie Rusli menuliskan dalam twitternya, bahwa ada masalah yang sebetulnya lebih heboh dibanding masalah Setnov “papa minta saham”.

“Kelompok Novanto dan Reza gagal rebut saham Freeport Mc Moran. Tapi kelompok JK (Aksa Machmud) mendapat tawaran 40% saham Smelter yang akan dibangun Freeport di Membramo, Papua, dan Pembangunan Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) yang listriknya akan dijual ke Smelter,” tulis Ronnie.

Geng Novanto dan Reza rebutan saham Freeport Indonesia, geng JK bakal mendapatkan Smelter dan PLTA, nilainya sangat besar tapi tidak seheboh saham Freeport Indonesia.

Untuk itu, menurut Ronnie, James Moffet menemui Aksa Machmud dan JK. Geng JK mendapatkan Smelter dan PLTA, jika bisa mengeluarkan perpanjangan Kontrak Freeport. Itulah menjelaskan mengapa Sudirman Said, yang loyal kepada JK, terburu-buru menulis surat kepada James Moffet untuk memperpanjang Kontrak Freeport.

Geng JK lebih lihai dari Novanto-Reza. Itulah yang menjelaskan mengapa JK ngotot perintahkan SS untuk melapor ke MKD, agar lawan bisnis dan politiknya bisa disingkirkan.

Berikut ini monopoli proyek energi PLTA/PLTU-PLTG Kalla Group:
1. PLTA Karama, Mamuju Rp.6 T
2.PLTA Ussu, Luwu Timur (Bukaka Group)
3. PLTA Pinrang Rp. 1,44 T (Bukaka Group)
4. PLTA Jeneponto (Bosowa)
5. PLTA Poso I, II, III Rp. 3 T (Kalla Group) Sulawesi Tengah—namun masyarakat sekitar tidak mendapat pasokan listrik karena dialihkan ke Sulsel dan Sulbar.
6. PLTA Pintu Pohan, Sumut (PT. Bukaka Barelang Energy-Achmad Kalla)
7. PLTA Asahan, Sumut (PT. Bukaka Barelang Energy-Achmad Kalla)
8. PLTG Sarulla, Tarutung, Sumut (PT. Bukaka Barelang Energy-Achmad Kalla)
9. PLTG Pulau Sembilang, Batam US$ 92 juta (PT. Bukaka Barelang Energy-Achmad Kalla)
10. PLTA Merangin, Kerinci, Jambi US$700 juta (Kalla Group)
11. PLTU Cilacap, Jateng (Intim Group-Halim Kalla).

Dengan mengetahui monopoli proyek-proyek tersebut, juga dengan seringnya JK sebagai Wapres terlibat dalam pusaran konflik kepentingan karena beratribut sebagai “pengpeng”, maka sudah selayaknya pejabat seperti JK dan SS juga bisa diadili secara cepat tanpa berlarut-larut dalam sebuah mahkamah kehormatan seperti yang pernah dialami oleh Setnov hingga harus mengundurkan diri. Atau kalau bisa, tanpa Mahkamah Kehormatan pun JK dan SS sebaiknya segera mundur, lebih cepat lebih baik!