(AMS, Artikel)
SEGENAP media kini sedang ramai memberitakan “perseteruan” Rizal Ramli dengan Rini. Pasalnya, Rizal Ramli (RR) yang baru sehari dilantik sebagai Menko Bidang Kemaritiman dan Sumberdaya itu langsung melakukan “gebrakan” yang mengejutkan.
Yakni, Rizal Ramli yang dikenal sebagai sosok ekonom kerakyatan itu mengaku akan berusaha membatalkan rencana PT. Garuda Indonesia TBK untuk melakukan pembelian pesawat berbadan lebar Airbus A350 XWB sebanyak 30 unit.
Dan tahukah kita, berapa harga seunit Airbus tersebut? Harganya (tergantung tipe) mencapai paling rendah Rp.3,3 Triliun per-unit dan paling tinggi Rp.4,4 Triliun per-unit (kurs Rp.13.000 per Dolar AS)
"Minggu lalu, saya ketemu Presiden Jokowi. Saya bilang, Mas, saya minta tolong layanan diperhatikan. Saya tidak ingin Garuda bangkrut lagi karena sebulan yang lalu beli pesawat dengan pinjaman 44,5 miliar dollar AS dari China Aviation Bank untuk beli pesawat Airbus A350 sebanyak 30 unit. Itu hanya cocok untuk Jakarta-Amerika dan Jakarta-Eropa," ujar Rizal Ramli di Kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Kamis (13/8/2015).
Merasa dicampuri kewenangannya, Rini Soemarno selaku Menteri BUMN pun nampak terusik dan “murka“.
Rini lalu mengisyaratkan tidak boleh ada pihak yang mencampuri urusan bisnis PT Garuda Indonesia Tbk, selain Menko Perekonomian, dengan posisi bahwa Kementerian Keuangan bertindak selaku pemegang saham perusahaan milik negara, dan Kementerian BUMN sebagai kuasa pemegang saham.
"BUMN itu (PT Garuda Indonesia) jelas di bawah Kemenko Perekonomian, bukan di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Jadi, jangan ada yang mencampuri Garuda di luar Kemenko Perekonomian," tegas Rini. Dikutip Antara, Kamis (13/8/2015).
Tampaknya bukan hanya Rini yang merasa “terusik”. Dua anggota DPR-RI, masing-masing Yudi Widiana Adia (PKS) dan Nasril Bahar (PAN) juga ikut angkat suara. Keduanya menilai Rizal Ramli telah salah kaprah dan membuat gaduh pemerintah karena telah mencampuri urusan yang bukan pada bidangnya.
"Urus saja masalah maritim dengan baik, saya pikir (komentarnya Rizal) membuat kegaduhan pemerintah, seharusnya dengan dihadirkannya dia bukan buat pusing pemerintah urus saja maritim," lontar Nasril kepada Okezone, Kamis (13/8/2015).
"Saya kira itu pernyataan yang offside. Dia kan (Rizal Ramli) mengurus maritim. Ini urusan BUMN dan dirgantara," tutur Yudi saat dihubungi Okezone, Kamis (13/8/2015).
Rizal Ramli yang pernah diberhentikan dari jabatannya sebagai Komisari Utama Semen Gresik, tahun 2008, lantaran telah melawan Pemerintahan SBY-JK dalam sebuah aksi menentang kenaikan BBM, sepertinya akan kembali “dikeroyok” dengan “perlawanan sengit” oleh sejumlah pihak yang memandang persoalan ini dari kacamata birokrasi.
Padahal, Rizal Ramli berusaha membatalkan rencana pembelian pesawat Airbus tersebut saat ini bukannya tanpa alasan.
Alasan pertama, tentu saja pesawat yang akan dibeli oleh Garuda Indonesia tersebut pada akhirnya juga akan berurusan dengan Kementerian Perhubungan yang dibawahi oleh Menko Kemaritiman dan Sumberdaya.
Alasan kedua, adalah menyangkut efektivitas dan efisiensi. Selain harga pesawat tersebut super-mahal, juga menurut Rizal Ramli, rute internasional yang akan diterbangi oleh Garuda Indonesia tidaklah menguntungkan.
Rizal Ramli mencontohkan, bahwa sebuah maskapai di kawasan ASEAN yang memiliki rute internasional ke Amerika Serikat dan Eropa, yakni Singapore Airlines saat ini kinerja keuangannya kurang baik.
Demikian juga, katanya, dengan Garuda Indonesia. Rute internasional ke Eropa yang dilakukan Garuda sejauh ini tingkat keterisian penumpangnya hanya 30 persen.
Oleh karena itu, menurut hemat Rizal Ramli yang pernah sukses menurunkan utang luar negeri saat menjabat sebagai Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur itu menyarankan, daripada bersaing bisnis penerbangan ke rute internasional (Eropa), lebih baik Garuda membeli pesawat Airbus 320, lalu memilih fokus menguasai bisnis penerbangan domestik dan regional Asia.
"Kita kuasai dulu pasar regional lima sampai tujuh tahun ke depan. Kalau sudah kuat baru kita hantam (ke rute Eropa). Presiden setuju (pembatalan) pembelian pesawat Airbus 350 dan kita panggil direksi (Garuda) dan batalkan supaya ganti," kata Rizal.
Selain alasan tersebut, Rizal Ramli juga mengaku memiliki hubungan “emosional”, kisah dan pengalaman dengan Garuda Indonesia. Yakni, ketika Rizal Ramli menjabat Menko Perekonomian, Garuda Indonesia tak mampu membayar utang kepada konsorsium bank Eropa sebesar 1,8 miliar dollar AS. Sehingga pihak Eropa mengancam akan menyita semua pesawat Garuda.
Dengan kondisi terjepit tersebut, Rizal Ramli sebagai Menko Perekonomian ketika itu keberatan dan akhirnya mengirim surat grasi ke Frankfurt Jerman untuk balik menuntut konsorsium bank Eropa tersebut karena menerima bunga dari kredit dengan ekstra 50 persen.
Setelah dituntut balik, akhirnya para bankir pun akhirnya meminta damai dan sepakat merestrukturisasi utang Garuda.
Dari pengalaman itulah, membuat Rizal Ramli tak ingin Garuda menghambur-hamburkan uang dalam jumlah sangat besar hanya untuk membeli pesawat Airbus A350 XWB dengan menggarap bisnis penebangan ke Amerika dan Eropa yang masih kurang menguntungkan.
Apalagi, lanjut Rizal, sumber dana pembelian pesawat itu adalah berasal dari kucuran pinjaman dari China Aviation Bank. Artinya, itu adalah utang luar negeri yang sadar atau tidak tetap rakyat yang akan ikut terbebani.
Dan alasan terakhir mengapa Rizal Ramli ingin menggagas pembatalan pembelian pesawat Airbus A350 XWB tersebut? Tidak lain dan tak bukan adalah semata ingin menyelamatkan Garuda Indonesia dari “jebakan” utang, juga hendaknya sedapat mungkin menjaga citra Presiden Jokowi yang telah berjanji untuk dapat mewujudkan Trisakti dan Nawacita.
Jika demikian, seharusnya kita mau pilih yang mana, “Yang Salah Kaprah ataukah Yang Salah Langkah?”
Demikian juga, katanya, dengan Garuda Indonesia. Rute internasional ke Eropa yang dilakukan Garuda sejauh ini tingkat keterisian penumpangnya hanya 30 persen.
Oleh karena itu, menurut hemat Rizal Ramli yang pernah sukses menurunkan utang luar negeri saat menjabat sebagai Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur itu menyarankan, daripada bersaing bisnis penerbangan ke rute internasional (Eropa), lebih baik Garuda membeli pesawat Airbus 320, lalu memilih fokus menguasai bisnis penerbangan domestik dan regional Asia.
"Kita kuasai dulu pasar regional lima sampai tujuh tahun ke depan. Kalau sudah kuat baru kita hantam (ke rute Eropa). Presiden setuju (pembatalan) pembelian pesawat Airbus 350 dan kita panggil direksi (Garuda) dan batalkan supaya ganti," kata Rizal.
Selain alasan tersebut, Rizal Ramli juga mengaku memiliki hubungan “emosional”, kisah dan pengalaman dengan Garuda Indonesia. Yakni, ketika Rizal Ramli menjabat Menko Perekonomian, Garuda Indonesia tak mampu membayar utang kepada konsorsium bank Eropa sebesar 1,8 miliar dollar AS. Sehingga pihak Eropa mengancam akan menyita semua pesawat Garuda.
Dengan kondisi terjepit tersebut, Rizal Ramli sebagai Menko Perekonomian ketika itu keberatan dan akhirnya mengirim surat grasi ke Frankfurt Jerman untuk balik menuntut konsorsium bank Eropa tersebut karena menerima bunga dari kredit dengan ekstra 50 persen.
Setelah dituntut balik, akhirnya para bankir pun akhirnya meminta damai dan sepakat merestrukturisasi utang Garuda.
Dari pengalaman itulah, membuat Rizal Ramli tak ingin Garuda menghambur-hamburkan uang dalam jumlah sangat besar hanya untuk membeli pesawat Airbus A350 XWB dengan menggarap bisnis penebangan ke Amerika dan Eropa yang masih kurang menguntungkan.
Apalagi, lanjut Rizal, sumber dana pembelian pesawat itu adalah berasal dari kucuran pinjaman dari China Aviation Bank. Artinya, itu adalah utang luar negeri yang sadar atau tidak tetap rakyat yang akan ikut terbebani.
Dan alasan terakhir mengapa Rizal Ramli ingin menggagas pembatalan pembelian pesawat Airbus A350 XWB tersebut? Tidak lain dan tak bukan adalah semata ingin menyelamatkan Garuda Indonesia dari “jebakan” utang, juga hendaknya sedapat mungkin menjaga citra Presiden Jokowi yang telah berjanji untuk dapat mewujudkan Trisakti dan Nawacita.
Jika demikian, seharusnya kita mau pilih yang mana, “Yang Salah Kaprah ataukah Yang Salah Langkah?”