(AMS, Artikel)
“Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa. Angin bertiup layar terkembang, ombak berdebur di tepi pantai, pemuda berani bangkit sekarang, ke laut kita beramai-ramai.”
--------
MENYIMAK lirik lagu di atas saja, rasanya sudah cukup menunjukkan, bahwa Bangsa Indonesia sejak dahulu kala adalah memang Bangsa Maritim yang amat besar. Tapi di era-era belakangan, kita hanya bisa mengenang dan menghibur diri melalui lagu tersebut seiring meredupnya kejayaan kita sebagai bangsa maritim.
Padahal, nenek moyang kita adalah pelaut ulung dengan aktivitas kemaritimannya yang sangat tinggi. Sebab, wilayah kepulauan Nusantara yang terletak pada titik silang jaringan lalu-lintas laut dunia, membuat posisi Indonesia sebagai penghubung “dua dunia”, Timur dan Barat.
Kekayaan dan hasil bumi Indonesia merupakan kebutuhan yang “diperebutkan” di pasaran dunia. Hal itulah yang membuat aktivitas kemaritiman (perdagangan dan pelayaran) kita amat padat dan ramai, bahkan menjadi “incaran” untuk dikuasai oleh bangsa lainnya.
Abad ke-9 Masehi adalah tercatat sebagai sejarah keemasan dan kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim. I Tsing adalah seorang petualang asal Tiongkok juga mencatat, bahwa Shih Li Fo Shih (Sriwijaya) tahun 683-1030 adalah kerajaan besar yang mempunyai benteng di Kotaraja, dengan armada lautnya yang amat kuat, bernyali dan disegani.
Guna mengamankan lalu-lintas perdagangan melalui laut, Kerajaan Sriwijaya memperkuat armadanya dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya, yang disebut "kekuatan pengganda".
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya menggunakan politik laut dengan menerapkan kebijakan, yaitu dengan mewajibkan kapal-kapal untuk singgah di pelabuhannya.
Namun ketika Kerajaan Sriwijaya runtuh, kemaritiman tetap berjaya karena dilanjutkan kendalinya oleh Gajah Mada sebagai Mahapatih Kerajaan Majapahit (1293-1478 M).
Dengan Sumpah Palapa, Gajah Mada bertekad menyatukan Nusantara. Untuk mewujudkan itu, diangkatlah Laksamana Nala sebagai Jaladimantri yang bertugas memimpin kekuatan kemaritiman Kerajaan Majapahit.
Alhasil, Majapahit benar-benar meraih kejayaannya melalui kemaritiman. Majapahit menjelma menjadi kerajaan maritim yang besar, kuat dan tangguh, berkuasa secara luas serta termasyhur hingga ke luar Nusantara.
Kerajaan Majapahit juga mengalami keruntuhan, namun diikuti bangkitnya Kerajaan Demak yang perkasa dengan kekuatan armada maritimnya, transportasi laut militer dan perniagaan yang andal.
Demikianlah, kita pernah merasakan kejayaan sebagai bangsa maritim dari kerajaan-kerajaan di masa lalu. Sayangnya, beberapa kerajaan besar itu jatuh bukan karena ditaklukkan lawan, tetapi karena "perang saudara".
Kondisi itulah kemudian yang dimanfaatkan oleh kekuatan asing untuk menguasai wilayah-wilayah di Nusantara. Dengan mempelajari kondisi kerajaan dan kultur penguasa di nusantara yang senang disanjung, bangga diberi suvenir, dan mudah diadu-domba, membuat kekuatan asing pun mampu menduduki negeri ini, bahkan mampu menjauhkan penghidupan bangsa kita dari sektor kemaritiman.
Dan berangsur-angsur, armada laut militer serta perniagaan kerajaan pun menjadi kecil. Bangsa kita yang awalnya sebagai bangsa maritim yang ulung benar-benar berhasil digiring menjadi bangsa agraris.
Kesempatan ini pun dimanfaatkan kekuatan asing, seperti Portugis, Inggris, dan VOC, untuk ganti menguasai laut nusantara. Dan kondisi tersebut membuat raja-raja kerajaan maritim kita tak bisa berbuat banyak karena telah dipecah-belah dan diadu-domba oleh kekuatan asing.
Dan sejak itulah, kejayaan kemaritiman bangsa kita mulai meredup seiring berhasilnya orang-orang asing memaksa bangsa kita untuk menjadi bangsa agraris, yakni sebagai petani yang hasil-hasilnya kemudian diboyong ke negeri mereka secara leluasa tanpa hambatan melalui laut kita.
Kondisi tersebut tentu saja menjadi sejarah menyakitkan bagi generasi sesudahnya, termasuk kita-kita yang hidup saat ini. Sehingga ketika meresmikan Institut Angkatan Laut (IAL) tahun 1953 di Surabaya, Presiden Soekarno menegaskan: “…usahakan penyempurnaan keadaan kita ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan. Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya..., bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal... bukan! Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawala samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri “.
Sungguh, Soekarno selaku presiden ketika itu sudah sangat menyadari bahwa hanya dengan membangun dan memperkuat sektor kemaritiman, Indonesia akan kembali berjaya serta digdaya di Asia, dan bahkan bisa menguasai ekonomi dunia.
Sayangnya, pidato ajakan Presiden Soekarno di masa lalu itu juga belumlah maksimal ditindaklanjuti oleh pemimpin-pemimpin sesudahnya. Sebab, mereka nampak lebih sibuk melakukan diskusi-diskusi panjang dan perdebatan sengit, baik di dalam maupun di luar forum resmi, tanpa diikuti langkah nyata. Sehingga kondisi kemaritiman pun makin memprihatinkan.
Mengetahui kondisi tersebut, Jokowi sebagai Presiden terpilih hasil Pemilu 2014 melalui PDI-P beserta parpol pendukungnya, bertekad ingin mewujudkan ajakan dan cita-cita Presiden Soekarno tersebut.
“Saya mengajak saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air untuk mengingat satu hal yang diutarakan oleh Presiden pertama RI Soekarno bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara yang kuat, negara yang makmur, kita harus memiliki jiwa cakrapatih samudera, jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan empasan ombak yang menggulung,” ujar Jokowi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (20/10/2014).
Tekad Presiden Jokowi ini nampaknya amat serius untuk segera dilaksanakan. Buktinya, penanganan sektor kemaritiman ini di tempatkan nomor satu dalam daftar sembilan program kerjanya (Nawa Cita) sebagai Presiden.
Dan untuk lebih menajamkan kinerja program di sektor kemaritiman tersebut, Presiden Jokowi pun menarik DR. Rizal Ramli menjadi Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumberdaya menggantikan Indroyono Soesilo.
Presiden Jokowi nampaknya memang sangat menyadari, bahwa sektor maritim adalah kunci bangsa Indonesia untuk kembali memasuki masa kejayaan. Olehnya itu, Presiden Jokowi tentu sangatlah membutuhkan seseorang yang memiliki integritas, kapasitas dan kredibilitas yang tinggi; seseorang yang dinilai mampu bekerja menandingi irama gelombang di laut; serta yang mampu menjiwai cita-cita Soekarno dalam mewujudkan kejayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim. Dan Presiden Jokowi pun memilih DR. Rizal Ramli.
Dan kini, di pundak Rizal Ramli terdapat beban tugas yang amat berat. Ia dituntut agar bisa melaksanakan misi: “mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional”.
Selain itu, sebagai Menko Kemaritiman dan Sumberdaya, Rizal Ramli kini juga dituntut agar dapat mewujudkan agenda prioritas di bidang kemaritiman, yakni: 1). Mengamankan kepentingan dan keamanan maritim Indonesia, khususnya batas negara, kedaulatan maritim, dan sumber daya alam; 2). Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya dengan membangun 10 pelabuhan baru dan merenovasi yang lama.
Dengan mengetahui adanya tekad dan keseriusan pemerintahan Presiden Jokowi untuk mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim, maka sudah sepatutnya rakyat memandang tekad tersebut sebagai sebuah kesempatan emas, yakni dengan mendukung setiap kebijakan maupun terobosan yang diambil oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumberdaya, yang sudah tentu adalah demi menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat, berdaulat dan mandiri.