SEKELOMPOK pihak kini sedang giat dan sibuk “menyerang”
Rizal Ramli. Alasannya, Rizal Ramli yang baru dilantik sebagai Menteri
Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumberdaya dinilai telah membuat
“kegaduhan” dalam Kabinet Kerja.
Saking giatnya, para penyerang ini sedang aktif mengarahkan
dan menggambarkan “kegaduhan” yang dibuat oleh Rizal Ramli tersebut seolah-olah
sebagai hal yang negatif. Sampai-sampai ada di antara mereka (para penyerang)
meminta agar Rizal Ramli mengundurkan diri atau dipecat dari jabatannya.
Padahal, dari pengkajian saya bersama teman-teman di Forum
Analisis Dinamika Politik (Fanatik) serta di lingkup Majelis Kedaulatan Rakyat
Indonesia (MKRI), hanya menemukan beberapa makna positif dari “kegaduhan” yang dimunculkan
Rizal Ramli.
Pertama, secara sederhana bisa
didefinisikan, bahwa “kegaduhan” yang ditimbulkan oleh Rizal Ramli tersebut dapat
diibaratkan sebagai “antibiotik” dari upaya “malpraktik” menteri-menteri (atau
pejabat lainnya) yang gemar memanfaatkan jabatannya guna mendapatkan keuntungan
materi sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan secara matang dampak buruk
yang ditimbulkannya.
Kedua, “kegaduhan” yang dimunculkan Rizal
Ramli adalah wujud komitmennya untuk tetap tegas berjuang dan berpihak kepada
rakyat meski telah berada dalam pemerintahan. Bahkan boleh jadi, bagi Rizal
Ramli, masuk menduduki jabatan dalam pemerintahan justru merupakan kesempatan
untuk bisa lebih intens berpihak kepada rakyat, yakni salah satunya dengan cara
“meluruskan yang bengkok-bengkok”, jika tak bisa maka lebih baik dipatahkan
saja sekalian.
Ketiga, “kegaduhan” yang diperlihatkan
Rizal Ramli adalah peringatan bagi seluruh menteri agar tidak sembrono dan
seenaknya mencari keuntungan di atas kesulitan yang sedang dialami oleh bangsa
ini.
Kempat, “kegaduhan” yang ditunjukkan oleh
Rizal Ramli adalah bukti bahwa dirinya “bebas dan steril” tanpa tekanan dan
beban dari parpol tertentu, sehingga tidak ada kepura-puraan apalagi rekayasa
dalam setiap tindakannya.
Kelima, “kegaduhan” yang ditampilkan Rizal
Ramli tersebut adalah tanda bahwa kehadirannya dalam Kabinet Kerja akan menjadi
“ancaman” bagi pejabat-pejabat yang nakal agar tidak main-main dengan
jabatannya. Dan sebaliknya, Rizal Ramli akan menjadi “kekuatan” murni bagi Jokowi
dalam menunaikan tugas-tugasnya ke arah yang lebih jelas sebagai Presiden
pilihan rakyat.
Dan yang keenam,
“kegaduhan” tersebut adalah bentuk dan cara Rizal Ramli “beradaptasi” sebagai
menteri pilihan kubu PDI-P, di mana PDI-P memang sejak awal sangat menghendaki terlaksananya
peran menteri dalam menghidupkan “ruh” Trisakti guna mewujudkan Nawacita.
Sebelumnya, sebagaimana yang diberitakan, bahwa “kegaduhan”
tersebut terjadi bermula dari adanya upaya Rizal Ramli yang meminta untuk
membatalkan rencana pembelian pesawat Airbus A350 sebanyak 30 unit di saat
rakyat masih dalam kondisi ekonomi yang serba sulit.
Suasana “gaduh” dinilai makin terasa ketika Rizal Ramli
meminta target 35.000 Megawatt (MW) yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK)
agar dapat dievaluasi ulang sebab dianggap tidak realistis.
Wapres JK pun menanggapi miring keinginan Rizal Ramli yang
bermaksud mengevaluasi ulang target proyek 35.000 MW tersebut. “Tentu
sebagai menteri harus pelajari dulu sebelum berkomentar. Memang tidak masuk akal,
tapi menteri harus banyak akalnya. Kalau kurang akal, pasti tidak paham itu,” lontarJK di kompleks Parlemen Senayan, Selasa, 18 Agustus 2015.
Merasa dianggap kurang akal, Rizal Ramli pun menantang JK
berdebat di hadapan publik untuk mendiskusikan target 35.000 MW tersebut. Tentu
saja maksud Rizal Ramli adalah biarkan rakyat yang akan menilai apakah proyek
tersebut masuk akal, kurang akal, atau hanya akal-akalan? “Ayo diskusi di depan
publik,” ujar Rizal menantang.
Inilah kemudian yang langsung ditelan bulat-bulat oleh
sekelompok pihak, yang serta merta memandang Rizal Ramli sebagai pembawa “kegaduhan”
dalam arti yang negatif di dalam Kabinet
Kerja.
Namun di mata rakyat, kehadiran Rizal Ramli adalah justru untuk
mendobrak dan menghentikan sebuah tradisi “ketenteraman” yang merugikan bangsa,
dan telah lama dilakoni oleh para pejabat nakal dalam lingkungan pemerintahan.
Yakni sebuah tradisi atau kebiasaan buruk yang kerap memanfaatkan jabatan
sebagai “zona nyaman”. Dan betapa jahat, rakyat dipaksa keluar dari “zona
nyaman” tetapi pejabat-pejabat justru tetap leluasa berada di “zona nyaman”.
Dan sekali lagi, inilah yang akan didobrak dan yang ingin dihentikan oleh Rizal
Ramli dalam membantu Presiden Jokowi memenuhi janji-janjinya kepada rakyat.
Sebetulnya khalayak sudah tahu persis, bahwa “zona nyaman”
yang menjadi tradisi para pejabat nakal tersebut dilakukan secara tarik-menarik,
tawar-menawar, dan bahkan tekan-menekan dengan maksud agar mencapai kesepakatan
deal for fee dari sebuah kegiatan
atau proyek yang pendanaannya bersumber dari uang negara.
Artinya, tradisi ini sebenarnya telah lama menjadi rahasia
umum di balik “dinding” kewenangan pejabat-pejabat (termasuk menteri) yang
gemar “menghisap” uang negara. Mereka berdalih untuk membangun ini dan itu, padahal sesudahnya, limpahan
keuntungan diraih oleh mereka, sementara kondisi ekonomi rakyat masih selalu saja
memprihatinkan dari masa ke masa.
Dan sudah pasti, Presiden Jokowi beserta para petinggi PDI-P
sudah sangat mengetahui adanya “kelakuan dan budaya” buruk yang dilakoni oleh pejabat-pejabat
nakal (termasuk menteri) selama ini, baik di pusat maupun di daerah.
Boleh jadi Presiden Jokowi pun merasa gerah dengan tradisi
tersebut, yang kelihatannya tenang dan tenteram, tetapi sesungguhnya
menimbulkan kerugian yang besar bagi bangsa dan negara ini.
Sehingga untuk menghilangkan “kelakuan serta budaya” buruk
tersebut, Presiden Jokowi pun boleh jadi memang sengaja memasukkan menggaet
Rizal Ramli sebagai “percontohan” dan peringatan, sekaligus “sarana” tepat oleh
Presiden Jokowi guna memberi “cambuk” kepada para menteri lainnya agar dapat
benar-benar murni menjalankan Trisakti serta serius bekerja untuk kepentingan rakyat,
yakni dengan tidak memanfaatkan kewenangannya selaku pejabat (menteri) dengan
melakukan persekongkolan untuk “merampok” uang negara.
Kalaulah begitu yang ada di benak Presiden Jokowi, maka boleh
jadi pula Rizal Ramli sengaja ditarik menjadi menteri adalah jua untuk membantu
mempercepat terjadinya proses “seleksi alam” di dalam tubuh Kabinet Kerja.
Artinya, (pasca masuknya Rizal Ramli) hanya yang benar-benar murni bekerja
untuk rakyatlah yang akan bertahan sebagai menteri.
Jika demikian, haruskah kita menolak seorang pembuat “kegaduhan”
yang justru lebih bisa mendatangkan angin perubahan di negeri ini..??? Atau tetap
mempertahankan yang kelihatan “diam-diam” tetapi justru menghancurkan..???
--------
SALAM PERUBAHAN.