Sunday, 23 August 2015

“Kegaduhan” Rizal Ramli adalah Cambuk Buat Menteri Agar Keluar Dari “Zona Nyaman”


SEKELOMPOK pihak kini sedang giat dan sibuk “menyerang” Rizal Ramli. Alasannya, Rizal Ramli yang baru dilantik sebagai Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumberdaya dinilai telah membuat “kegaduhan” dalam Kabinet Kerja.

Saking giatnya, para penyerang ini sedang aktif mengarahkan dan menggambarkan “kegaduhan” yang dibuat oleh Rizal Ramli tersebut seolah-olah sebagai hal yang negatif. Sampai-sampai ada di antara mereka (para penyerang) meminta agar Rizal Ramli mengundurkan diri atau dipecat dari jabatannya.

Padahal, dari pengkajian saya bersama teman-teman di Forum Analisis Dinamika Politik (Fanatik) serta di lingkup Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI), hanya menemukan beberapa makna positif dari “kegaduhan” yang dimunculkan Rizal Ramli.

Pertama, secara sederhana bisa didefinisikan, bahwa “kegaduhan” yang ditimbulkan oleh Rizal Ramli tersebut dapat diibaratkan sebagai “antibiotik” dari upaya “malpraktik” menteri-menteri (atau pejabat lainnya) yang gemar memanfaatkan jabatannya guna mendapatkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan secara matang dampak buruk yang ditimbulkannya.

Kedua, “kegaduhan” yang dimunculkan Rizal Ramli adalah wujud komitmennya untuk tetap tegas berjuang dan berpihak kepada rakyat meski telah berada dalam pemerintahan. Bahkan boleh jadi, bagi Rizal Ramli, masuk menduduki jabatan dalam pemerintahan justru merupakan kesempatan untuk bisa lebih intens berpihak kepada rakyat, yakni salah satunya dengan cara “meluruskan yang bengkok-bengkok”, jika tak bisa maka lebih baik dipatahkan saja sekalian.

Ketiga, “kegaduhan” yang diperlihatkan Rizal Ramli adalah peringatan bagi seluruh menteri agar tidak sembrono dan seenaknya mencari keuntungan di atas kesulitan yang sedang dialami oleh bangsa ini.

Kempat, “kegaduhan” yang ditunjukkan oleh Rizal Ramli adalah bukti bahwa dirinya “bebas dan steril” tanpa tekanan dan beban dari parpol tertentu, sehingga tidak ada kepura-puraan apalagi rekayasa dalam setiap tindakannya.

Kelima, “kegaduhan” yang ditampilkan Rizal Ramli tersebut adalah tanda bahwa kehadirannya dalam Kabinet Kerja akan menjadi “ancaman” bagi pejabat-pejabat yang nakal agar tidak main-main dengan jabatannya. Dan sebaliknya, Rizal Ramli akan menjadi “kekuatan” murni bagi Jokowi dalam menunaikan tugas-tugasnya ke arah yang lebih jelas sebagai Presiden pilihan rakyat.

Dan yang keenam, “kegaduhan” tersebut adalah bentuk dan cara Rizal Ramli “beradaptasi” sebagai menteri pilihan kubu PDI-P, di mana PDI-P memang sejak awal sangat menghendaki terlaksananya peran menteri dalam menghidupkan “ruh” Trisakti guna mewujudkan Nawacita.

Sebelumnya, sebagaimana yang diberitakan, bahwa “kegaduhan” tersebut terjadi bermula dari adanya upaya Rizal Ramli yang meminta untuk membatalkan rencana pembelian pesawat Airbus A350 sebanyak 30 unit di saat rakyat masih dalam kondisi ekonomi yang serba sulit.

Suasana “gaduh” dinilai makin terasa ketika Rizal Ramli meminta target 35.000 Megawatt (MW) yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) agar dapat dievaluasi ulang sebab dianggap tidak realistis.

Wapres JK pun menanggapi miring keinginan Rizal Ramli yang bermaksud mengevaluasi ulang target proyek 35.000 MW tersebut. “Tentu sebagai menteri harus pelajari dulu sebelum berkomentar. Memang tidak masuk akal, tapi menteri harus banyak akalnya. Kalau kurang akal, pasti tidak paham itu,” lontarJK di kompleks Parlemen Senayan, Selasa, 18 Agustus 2015.

Merasa dianggap kurang akal, Rizal Ramli pun menantang JK berdebat di hadapan publik untuk mendiskusikan target 35.000 MW tersebut. Tentu saja maksud Rizal Ramli adalah biarkan rakyat yang akan menilai apakah proyek tersebut masuk akal, kurang akal, atau hanya akal-akalan? “Ayo diskusi di depan publik,” ujar Rizal menantang.

Inilah kemudian yang langsung ditelan bulat-bulat oleh sekelompok pihak, yang serta merta memandang Rizal Ramli sebagai pembawa “kegaduhan”  dalam arti yang negatif di dalam Kabinet Kerja.

Namun di mata rakyat, kehadiran Rizal Ramli adalah justru untuk mendobrak dan menghentikan sebuah tradisi “ketenteraman” yang merugikan bangsa, dan telah lama dilakoni oleh para pejabat nakal dalam lingkungan pemerintahan. Yakni sebuah tradisi atau kebiasaan buruk yang kerap memanfaatkan jabatan sebagai “zona nyaman”. Dan betapa jahat, rakyat dipaksa keluar dari “zona nyaman” tetapi pejabat-pejabat justru tetap leluasa berada di “zona nyaman”. Dan sekali lagi, inilah yang akan didobrak dan yang ingin dihentikan oleh Rizal Ramli dalam membantu Presiden Jokowi memenuhi janji-janjinya kepada rakyat.

Sebetulnya khalayak sudah tahu persis, bahwa “zona nyaman” yang menjadi tradisi para pejabat nakal tersebut dilakukan secara tarik-menarik, tawar-menawar, dan bahkan tekan-menekan dengan maksud agar mencapai kesepakatan deal for fee dari sebuah kegiatan atau proyek yang pendanaannya bersumber dari uang negara.

Artinya, tradisi ini sebenarnya telah lama menjadi rahasia umum di balik “dinding” kewenangan pejabat-pejabat (termasuk menteri) yang gemar “menghisap” uang negara. Mereka berdalih untuk membangun ini dan itu, padahal sesudahnya, limpahan keuntungan diraih oleh mereka, sementara kondisi ekonomi rakyat masih selalu saja memprihatinkan dari masa ke masa.

Dan sudah pasti, Presiden Jokowi beserta para petinggi PDI-P sudah sangat mengetahui adanya “kelakuan dan budaya” buruk yang dilakoni oleh pejabat-pejabat nakal (termasuk menteri) selama ini, baik di pusat maupun di daerah.

Boleh jadi Presiden Jokowi pun merasa gerah dengan tradisi tersebut, yang kelihatannya tenang dan tenteram, tetapi sesungguhnya menimbulkan kerugian yang besar bagi bangsa dan negara ini.

Sehingga untuk menghilangkan “kelakuan serta budaya” buruk tersebut, Presiden Jokowi pun boleh jadi memang sengaja memasukkan menggaet Rizal Ramli sebagai “percontohan” dan peringatan, sekaligus “sarana” tepat oleh Presiden Jokowi guna memberi “cambuk” kepada para menteri lainnya agar dapat benar-benar murni menjalankan Trisakti serta serius bekerja untuk kepentingan rakyat, yakni dengan tidak memanfaatkan kewenangannya selaku pejabat (menteri) dengan melakukan persekongkolan untuk “merampok” uang negara.

Kalaulah begitu yang ada di benak Presiden Jokowi, maka boleh jadi pula Rizal Ramli sengaja ditarik menjadi menteri adalah jua untuk membantu mempercepat terjadinya proses “seleksi alam” di dalam tubuh Kabinet Kerja. Artinya, (pasca masuknya Rizal Ramli) hanya yang benar-benar murni bekerja untuk rakyatlah yang akan bertahan sebagai menteri.

Jika demikian, haruskah kita menolak seorang pembuat “kegaduhan” yang justru lebih bisa mendatangkan angin perubahan di negeri ini..??? Atau tetap mempertahankan yang kelihatan “diam-diam” tetapi justru menghancurkan..???
--------

SALAM PERUBAHAN.