Saturday 3 January 2015

Soal BBM: Jokowi Bisa Hindari Galau dan Gaduh Andai Ikuti Gagasan Rizal Ramli


(AMS, Opini)
GALAU dan gaduh. Kata inilah mungkin yang tepat untuk melukiskan suasana hati serta pikiran yang sementara dialami oleh Presiden Jokowi, dan juga tentunya kondisi batin yang sedang dirasakan oleh rakyat.

Bagaimana tidak, belum sebulan dilantik jadi presiden, Jokowi tanpa “tengok kiri-kanan” sudah langsung menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar Rp.2.000 per liter. Lalu belum dua bulan kebijakan tersebut berjalan, Jokowi secara mendadak menurunkan harga BBM itu dari Rp. 8.500 untuk premium menjadi Rp.7.600 per liter, dan solar dari Rp.7.500 menjadi Rp.7.250 per liter.

Dari kebijakan menaik-turunkan harga BBM secara dadak mendadak tersebut membuat rakyat pun jadi ikut galau dan gaduh, bahkan gerah. Situasi ekonomi jadi tidak beraturan, yang ditandai dengan tidak adanya kepastian harga barang-barang serta kebutuhan pokok lainnya. Artinya, rakyat dibuat jadi pusing dan mempertanyakan, “apa sih maunya Jokowi?”.

Dulu, meski harga minyak dunia turun, Jokowi tetap ngotot menaikkan harga premium Rp.6.500 menjadi Rp.8.500 alasannya untuk alihkan subsidi. Sekarang karena alasan harga minyak dunia turun, Jokowi menurunkan harga BBM yang sudah dinaikkannya itu. Seoalah-olah Jokowi mengejar istilah penurunan, artinya seolah-olah BBM turun, padahal judulnya tetap naik Rp.1.100 per liter untuk premium dari harga awal Rp.6.500 menjadi Rp.7.600 per liter.

Dari situ, banyak kalangan kemudian menyebut, bahwa dari kebijakan harga BBM tersebut menunjukkan pemerintahan Jokowi tidak matang. Bahkan sebagian besar lainnya menilai Jokowi adalah pemimpin yang sangat plinplan, inkonsisten, yang seakan menunjukkan bahwa Jokowi memang adalah hanya seorang “boneka” penurut selera “majikan”. Akibatnya, rakyat yang jadi korban.

Andai saja gagasan jalan tengah Rizal Ramli, di beberapa bulan lalu, tentang BBM (Bahan Bakar Minyak) sudi diterapkan oleh Presiden Jokowi, maka suasana perekonomian rakyat saat ini tentu bisa lebih dirasakan dengan teduh dan berkeadilan.

Kala itu Rizal Ramli mengusulkan agar BBM bisa tepat sasaran, maka pemerintah hendaknya membagi dua penyediaan BBM, yakni BBM Rakyat dan BBM orang kaya.

Rizal Ramli menyarankan premium Ron 88 yang beredar saat ini sebaiknya dihapus lalu diganti atau menjadi “BBM Rakyat” Ron 83.

Pembagian ini adalah sebagai upaya penyesuaian sesuai tingkat kemampuan ekonomi masyarakat. Yang miskin tentu memilih BBM rakyat Ron 83, dan yang kaya harus dipaksa menggunakan BBM sesuai kemampuannya, yakni misalnya Pertamax dengan Ron 92 ke atas.

Sekadar diketahui, Ron 83 ini hanya cocok dikonsumsi rakyat dari golongan menengah ke bawah yakni sekitar 86,33 juta pengguna sepeda motor, dan 2,2 juta nelayan. Sebaliknya, Ron 83 ini sangat tidak layak dikonsumsi oleh mereka yang telah mampu membeli mobil pribadi (atau mewah) sebagai golongan menengah atas. Sebab, mobil mereka bisa rusak jika tetap memaksakan diri menggunakan premium Ron 83. Sementara untuk menghindari kerusakan mobil sekitar 3 juta angkutan umum, bisa diberi perlakuan khusus menggunakan Pertamax dengan harga seperti Ron 83.

Salah satu esensi dari ekonomi konstitusi, menurut Rizal Ramli dalam akun twitternya,  adalah prinsip “burden and benefit sharing” atau “shared economy”. Artinya, beban ekonomi ditanggung bersama sesuai kemampuan, yang lebih mampu membayar lebih mahal, yang tidak mampu dilindungi atau membayar lebih sedikit.

Menurut mantan Menko Perekonomian yang pernah sukses menurunkan utang luar negeri di era Presiden Gus Dur ini, pemerintah neoliberal mengabaikan prinsip “cost sharing” dan “shared economy”. Mereka anti prinsip subsidi silang, hanya mengandalkan hitungan-hitungan finansial, mengabaikan dampak sosial dan ekonomis.

Dengan premium Ron 88 seperti saat ini, bisa dipastikan orang kaya tidak akan beralih ke Pertamax dan Pertamax Plus dengan harga yang lebih tinggi dibanding premium. Artinya, selain subsidinya tidak tepat sasaran, orang-orang kaya juga tentu tetap ingin senantiasa berada di zona nyaman seperti yang dikatakan oleh menteri ESDM itu. Sebab mana ada orang miskin yang saat ini berada di zona nyaman? Tidak ada itu!

“(Ini) tidak memahami bahwa finansial hanya sub-sistem dari hitungan ekonomis. Pemerintah neoliberal mengabaikan prinsip ‘cost sharing’ pada kebijakan harga BBM. Golongan menengah ke bawah (86 juta pengendara sepeda motor, 3 juta angkot dan 2,2 juta nelayan) harus membayar lebih mahal, sementara golongan menengah atas tidak mengalami kenaikan harga,” tweet Rizal Ramli.

Namun meski begitu, Rizal Ramli nampaknya amat menghormati kebijakan Presiden Jokowi. Ia bahkan mengapresiasi “penurunan” harga BBM tersebut. “Saya ucapkan selamat kepada Presiden Jokowi, yang menyambut keinginan rakyat dan anjloknya harga minyak mentah di dunia ($55/brl), dengan menurunkan harga BBM Premium dari Rp 8500 menjadi Rp 7600,” kicau Rizal Ramli, Kamis (1/1/2015).

Kali ini Ekonom Senior itu sedikit “memuji” Jokowi. Menurutnya, koreksi harga BBM oleh Jokowi sangat tepat karena harga minyak mentah dunia anjlok dari $105 ke $55/barel. Selain itu, katanya, kenaikan harga BBM Rp 2.000 yang lalu sangat kesusu dengan argumen asal-asalan karena “Pejabat Asal Jeplak” (PAJ) dan “pokoke BBM naik”. Jokowi, menurut Rizal Ramli, terlalu percaya dengan saran PAJ itu.

“Dengan harga Rp 7600, pemerintah sebetulnya sudah untung Rp 200 hingga Rp300. Golongan menengah ke bawah secara tidak langsung subsidi pemerintah dan infrastruktur. Seharusnya, kelompok menengah atas, Pertamax dan Pertamax Plus, harus ikut membayar lebih mahal melalui pajak BBM,” saran Rizal Ramli.

Namun terlepas dari itu, kenaikan harga BBM Rp.2.000 per liter (pada 18 Nopember 2014) telah terlanjur membuat harga-harga barang kebutuhan masyarakat jadi naik, dan sangat sulit untuk bisa diturunkan.

Sebab, meski pemerintah menyatakan penurunan harga BBM, tetapi sesungguhnya itu bukan penurunan melainkan “ralat kenaikan” harga (1 Januari 2015) kemarin, sehingga hal ini tidaklah bisa mengatasi suasana batin “kegalauan dan kegaduhan” ekonomi rakyat menengah ke bawah.

Sekali lagi, tentang penilaian galau, gaduh, plinplan dan tidak matang, sebetulnya tak perlu dialami oleh Presiden Jokowi saat ini andai saja gagasan maupun ide Rizal Ramli sudi diterapkan. Sebab, gagasan tersebut sangat teduh dan berkeadilan serta amat mencerminkan keberpihakan kepada rakyat kecil.