Sunday 11 January 2015

Presiden Saat ini Bukan Jokowi, Tapi JK?


(AMS, Opini)
SELAKU seorang tokoh yang sudah lanjut usia dan tergolong pengusaha kaya raya, Jusuf Kalla (JK) seharusnya memanfaatkan posisi dan jabatannya yang saat ini sebagai wakil presiden, yakni dengan benar-benar mengabdikan hidupnya sebaik dan searif mungkin untuk bangsa dan negara ini.

Kalau perlu, duit pribadinya yang melimpah itu kiranya bisa didermakan sebagian kepada rakyat yang masih susah hidupnya. Caranya, JK harus memegang data riil nama-nama dan identitas orang miskin yang dianggap memang perlu diberi modal usaha dalam memperbaiki taraf hidupnya.

Atau paling tidak, JK bisa “mendesak” Presiden Jokowi agar dapat mengeluarkan kebijakan yang bisa meringankan beban hidup rakyat. Bukan seperti saat ini, di mana rakyat kecil benar-benar dicekik dan dihajar habis-habisan melalui kebijakan menaikkan harga BBM, Tarif Dasar Listrik (TDL), Kereta api (transportasi), gas elpiji, dll.

Sehingganya amatlah disayangkan, kesempatan kedua yang diperoleh JK sebagai wapres itu sepertinya malah hanya dimanfaatkannya sebagai “kesempatan emas” untuk kembali memperkaya diri dengan meraup keuntungan buat kelompok perusahaannya.

Coba dilihat saja, kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi saat ini sangat cenderung di sisi kanan-kiri lebih menguntungkan pihak JK. Artinya, kebijakan-kebijakan Jokowi kanan-kiri “oke” buat JK. Atau dengan kata lain, satu kali mendayung, dua-tiga pula terlewati. Artinya lagi, satu kebijakan Jokowi, kanan-kiri bisa bernilai keuntungan buat JK.

Misalnya saja alasan pengurangan subsidi energi (BBM, TDL, elpiji) disebutkan adalah untuk mengalihkan anggaran subsidi tersebut dengan melakukan hal-hal yang lebih produktif, yakni membiayai berbagai kegiatan pembangunan infrastruktur.

Artinya, perusahaan-perusahaan JK bisa sangat mungkin terlibat dalam kegiatan pembangunan infrastruktur yang dibiayai dari hasil pengurangan subsidi energi tersebut.

Begitu pun dengan kenaikan harga energi (BBM, TDL, Elpiji) sebagai konsekuensi dari hasil pengurangan subsidi energi itu, tentunya akan membuat perusahaan JK yang bergerak di bidang jual-beli energi bisa meraup untung cukup besar. Intinya, pengurangan subsidi “yes-oke”, kenaikan harga energi juga “yes-oke”. Artinya, kanan-kiri oke.

Tapi JK dalam hal ini tak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab, boleh jadi pada saat kampanye Pilpres 2014, JK kemungkinan besar jauh lebih banyak mengeluarkan cost-politik. Sehingga JK merasa wajar apabila “menuntut” Presiden Jokowi agar dapat mengeluarkan kebijakan yang bisa menguntungkan dirinya, atau paling tidak bisa balik modal.

Sehingganya, kebijakan Presiden Jokowi di bidang energi itu sangat patut dinilai hanya sebagai kebijakan “bisnis” yang begitu amat menguntungkan JK.

Dan betapa kebijakan Jokowi di bidang energi itu saat ini adalah seluruhnya dipandang berasal dari keinginan kuat JK.

“Sebenarnya yang lebih nafsu ingin menaikkan harga BBM adalah Pak Jusuf Kalla. Bahkan, pengamatan saya, beliau (JK) sudah ber­manuver jauh sebelum kam­pa­nye. Ini sangat luar biasa. Dari zaman ke zaman sangat ambisius ingin mencanangkan program listrik 5.000 megawatt. Tapi be­lum terlaksana sampai sekarang,” tutur salah seorang anggota DPR faksi PDIP, Effendi Simbolon.

Andai saja pernyataan Effendi Simbolon itu benar, maka itu boleh dikata Presiden kita saat ini bukanlah Jokowi tetapi Jusuf Kalla. Sebab, Jokowi nampaknya lebih tunduk dan lebih menuruti apa yang dikehendaki oleh JK dibanding yang diinginkan oleh rakyat.

“Saat kampanye lalu, Pak Jokowi menyampaikan untuk mensejahterakan rakyat. Mana ada kenaikan harga BBM bisa mensejahterakan rakyat?” lontar Effendi Simbolon.

Padahal untuk mengatasi masalah subsidi energi (BBM, TDL, Elpiji) Effendi Simbolon bersama ketua DPD-RI lebih cenderung dan sepakat dengan gagasan yang ditawarkan oleh Dr. Rizal Ramli. (Baca: Ini Cara Rizal Ramli Agar Subsidi BBM Aman dan Tepat Sasaran)

Sayangnya, gagasan Rizal Ramli yang  lebih pro-rakyat itu diabaikan oleh Jokowi dan lebih memilih memenuhi selera serta “perintah” JK untuk mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM.

Begitu pun dengan kebijakan menaikkan harga elpiji, publik menilai bahwa kenaikan elpiji tersebut bisa ditebak adalah kebijakan yang berasal dari kehendak JK. Sebab, jangan lupa, JK punya perusahaan “jualan” gas elpiji.

Kebijakan-kebijakan Jokowi di bidang energi itu memang dinilai sangat aneh bin ajaib, sebab di saat harga minyah mentah dan gas dunia mengalami penurunan, Jokowi malah menaikkan harganya. “Ganti saja nama elpiji menjadi eljeka,” lontar Rizal Ramli yang selama ini selalu berusaha memberi gagasan terbaik untuk kebaikan bersama, terutama untuk kepentingan rakyat kecil.

Dari situ, sangat terasa sekali bahwa Jokowi dalam mengambil dan mengeluarkan kebijakan adalah seakan hanya berdasar pada arahan dan desakan langsung dari JK. Sehingga sekali lagi, remote kekuasaan kini berada di tangan JK, bukan Jokowi.

Penilaian terhadap JK lah yang kini menjadi presiden, bukan Jokowi, juga pernah dikatakan oleh seorang pengamat komunikasi politik, Effendi Gazali.

Ia mengatakan, Indonesia tidak hanya memiliki satu presiden, tapi bahkan sampai empat presiden dalam satu tahun. Ini dikarenakan adanya pengaruh besar di balik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Dulu saya bilang, dalam satu tahun kita akan punya tiga presiden. Sebelum 20 Oktober, presidennya Megawati. 20 Oktober sampai Januari, presidennya Jokowi. Mulai 1 Januari (2015) ke atas, presiden kita Jusuf Kalla. Tapi sekarang saya harus cepat mencatat, ada kekuatan baru yang keempat, yaitu pak Surya Paloh,” kata Effendi.