Tuesday, 20 January 2015

Miris! Jokowi “Melindungi” Nilai Tukar Rupiah dengan Menambah Utang


(AMS, Reportase)
PASCA Jokowi-JK dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, nilai tukar rupiah terus melemah. Bahkan nilai tukar rupiah pernah hampir menyentuh Rp. 13.000 per Dolar AS, yakni pada Selasa (16/12/2014) menembus level Rp.12.937 per Dolar AS.

Ketika itu, Bank Indonesia pun dikabarkan melakukan intervensi. Sehingga nilai Rupiah pun sedikit menguat. Meski tidak jor-joran, namun intervensi tersebut dipastikan bisa membuat jumlah cadangan devisa (cadev) negara menjadi susut.

Menyikapi pelemahan nilai tukar Rupiah, Presiden Jokowi pun menggelar rapat terbatas bidang ekonomi. Ia menegaskan,  pelemahan Rupiah tidak akan berlangsung lama karena fundamental ekonomi Indonesia terus mengalami perbaikan.
“Ini memang di seluruh negara. Pelemahan mata uang di negara-negara yang lain pun sama karena memang mulai ada penarikan Dolar kembali ke Amerika. Tetapi dengan fundamental ekonomi kita, dengan perbaikan nilai fiskal kita, ya moga-moga di Indonesia tidak berjalan lama. Tahun depan mulai berjalan baik,” tutur Jokowi, Rabu (17/12/2014).

Namun pernyataan Jokowi yang menyebut fundamental ekonomi Indonesia baik mendapat kritik dari Rizal Ramli. Sebab, jika fundamental ekonomi Indonesia baik, tidak mungkin rupiah terpuruk terhadap dolar.

Menurut Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah akibat pengetatan suku bunga yang dilakukan Bank Sentral AS, Federal Reserve Bank, sebenarnya bisa dihindari apabila fundamental ekonomi Indonesia kuat.

Dan nyatanya, fundamental ekonomi Indonesia memang sedang tidak sehat.  Pada minggu kedua Januari 2015, nilai rupiah kembali melemah. Tercatat, pada Rabu Sore (7/1/2015) nilai tukar Rupiah menunjukkan tren pelemahan, yakni berada pada level Rp.12.732 per Dolar AS dibandingkan hari sebelumnya, Selasa (6/1), masih di posisi Rp12.658 per dolar AS. Hal itu, menurut sejumlah ekonom bank, adalah merupakan  akibat akumulasi sentimen negatif, baik dari dalam negeri maupun secara global.

Dari dalam negeri, ekspor Indonesia masih didominasi oleh produk komoditas atau produk mentah yang harganya dipastikan tertekan karena faktor penurunan harga minyak dunia. Apabila hal ini terjadi terus menerus, bukan tidak mungkin kinerja ekspor Indonesia akan tertekan,  dan hal ini salah satunya yang bisa semakin memperburuk nilai tukar Rupiah.

Celakanya, Pemerintahan Jokowi-JK dalam menyikapi kondisi sulit tersebut tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan nilai Rupiah selain menambah tumpukan utang luar negeri.

Pengamat politik dari Indonesia for Global Justice, Salamuddin Daeng  mengatakan, pada tanggal 8 Januari 2015 waktu New York, pemerintah Indonesia telah melakukan transaksi penjualan Surat Utang Negara (SUN) valuta asing (global bond) dalam denominasi dolar AS sebesar US$ 4 miliar. Penjualan global bond tersebut merupakan bagian dari Program Global Medium Term Notes Indonesia sebesar US$ 30 miliar atau sekitar Rp 360 Triliun.

Langkah ini tentu saja dinilai sebagai cara yang amat keliru. “Langkah Jokowi-JK mendapatkan penerimaan devisa dari utang luar negeri dalam rangka  mempertahankan nilai tukar dengan menumpuk utang, jelas keliru dan cacat serta melawan nilai nilai Trisakti,”  tulis Salamuddin via Broadcast BlackBerry Messenger (BBM), Jumat (16/1/2015).

Menurutnya, utang luar negeri tersebut bisa habis untuk membiayai impor pangan, impor minyak dan impor bahan baku industri. Sementara, katanya, urusan produksi dan produktivitas nasional disedot sehabis-habisnya hanya untuk membayar bunga utang.

Dikatakannya, apabila sumber keuangan nasional didukung kekayaan alam melimpah serta pasar yang sangat besar dapat dikelola dengan benar oleh bangsa Indonesia sendiri, maka tentu Indonesia tak lagi memerlukan utang, jeratan barang impor dan ketergantungan pada modal asing.

“Penguatan ekonomi nasional tidak mungkin terjadi apabila Jokowi tidak melakukan langkah sentralisasi sistem ekonomi, integrasi kelembagaan ekonomi dan konsentrasi sumber daya fiskal dan keuangan nasional prasyarat membangun fondasi ekonomi nasional,” jelas Salamuddin.

Upaya tersebut, katanya, hanya dapat dilakukan dengan mengakhiri sistem ekonomi di atas UUD amandemen yang menyebabkan kekayaan nasional, potensi keuangan nasional, segenap resources nasional terfragmentasi, dikuasai oleh kartel, sindikat dan mafia dalam kekuasaan, sehingga tidak dapat digunakan secara optimal dalam memperkuat kapasitas nasional.

Cara Presiden Jokowi mencari devisa dan menjaga nilai tukar dengan menambah tumpukan utang, menurut Salamuddin, justru akan menjadi bola salju yang akan menghempaskan Jokowi dan menjerumuskan bangsa Indonesia dalam jurang kehancuran.

“Kalau pemimpin bisanya cuma naikin harga, (juga) ngutang, nggak usah jadi pemimpinlah. Tukang Becak juga bisa?!” ujar Rizal Ramli sebagai satu-satunya Menko Perekonomian yang pernah sukses mengurangi utang luar negeri sebesar 9 Miliar Dolar AS di masa Presiden Gus Dur itu.

Menurutnya, sesungguhnya membangun bangsa Indonesia tidak mesti mengandalkan utang luar negeri.  Rizal pun menunjuk Jepang dan China sebagai negara yang selama ini bisa maju dan berkembang pesat tanpa mengandalkan utang luar negeri.

Tokoh pergerakan perubahan ini pun menyebutkan, bahwa ketergantungan pada utang luar negeri bisa dikurangi secara drastis melalui berbagai langkah. Di antaranya adalah peningkatan efisiensi anggaran, perang terhadap korupsi, serta penegakan hukum tanpa tebang pilih.