Monday, 26 January 2015

Konflik Polri Vs KPK: Upaya Menghambat Kasus BLBI?


(AMS, Reportase)
Sekilas Tentang Kasus BLBI:
SAAT terjadi krisis moneter tahun 1998, Bank Indonesia menggelontorkan uang untuk membantu 48 bank sebesar Rp.147,7 Triliun. Bantuan ini kemudian dikenal dengan nama Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Belakangan, pemerintah tiba-tiba menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada beberapa obligor penerima BLBI, padahal kewajiban utang sejumlah obligor tersebut belum terpenuhi.

Seperti diketahui, SKL itu dikeluarkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Dan saat itu, presiden yang menjabat adalah Megawati Soekarnoputri.
Meski debitor BLBI hanya membayar tunai 30 persen kewajibannya dan 70 persen dalam bentuk sertifikat aset kepada BPPN, namun berkat diterbitkannya inpres tentang release and discharge serta SKL itu, sejumlah obligor itu pun dianggap sudah menyelesaikan utangnya.

Inpres serta SKL itu pula kemudian yang menjadi dasar bagi Kejaksaan Agung untuk segera mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) kepada beberapa obligor yang dianggap bermasalah.

Padahal berdasarkan hasil audit BPK, akibat BLBI ini negara merugi sebesar Rp.138,4 Triliun. BPK menyatakan, penggunaan dana tersebut tak jelas ke mana. Sementara menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai kasus BLBI bahkan membuat negara telah mengalami kerugian sebesar Rp. 600 Triliun.

Sebab, menurut Fitra, setiap tahunnya pemerintah melalui APBN harus mengalokasikan anggaran sekitar Rp.60 Triliun hanya untuk membayar bunga (utang) sejumlah konglomerat atau si obligor BLBI tersebut. Dan pembayaran utang obligor yang menggunakan uang rakyat tersebut telah berlangsung dari tahun 2003-2013, yakni sejak zaman Menteri Keuangan: Boediono, Sri Mulyani, Agus Matrowardojo hingga Chatib Basri, yang totalnya mencapai Rp. 640 Triliun.

Karena mencium adanya ketidak-beresan atas dikeluarkannya SKL tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)) pun menggali dan menyidik masalah BLBI ini. Bahkan masalah ini dianggap sebagai kasus extra-ordinary karena identik dengan perampokan uang negara dalam jumlah ratusan triliun yang dilakukan secara berjamaah.

Apalagi setelah diteliti, Inpres No 8 Tahun 2002 yang menjadi dasar Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 itu ternyata bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, seperti UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kasus BLBI “Malpraktek” Megawati?
KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, pernah berjanji untuk bersungguh-sungguh ingin menuntaskan kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 2015 ini juga.

“Kita intensifkan penyelidikan BLBI, ini kasus prioritas juga untuk 2015, tidak usah kuatir,” ujar Ketua KPK, Abraham Samad, dalam paparan laporan akhir tahun di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (29/12/2014).

Sebelumnya, Abraham juga sudah menegaskan tidak akan ragu memanggil mantan presiden Megawati Soekarnoputri guna melakukan pendalaman terhadap megakorupsi BLBI tersebut.

“Kita sudah panggil JK (Jusuf Kalla), panggil Boediono di kasus lain. Apalagi Mega, dia kan sudah mantan (Presiden),” kata Abraham di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 11 Juli 2014.

Sejauh ini memang sejumlah pihak sudah mendesak KPK agar segera memeriksa Megawati karena diduga telah melakukan “malpraktek” melalui pemberian SKL kepada beberapa obligor, di antaranya anggota Komisi III DPR, Ruhut Sitompul, Rachmawati Soekarnoputri, dan Progress 98.

“Ketua KPK harus lakukan itu (periksa Megawati) karena jumlah kerugian negara sangat besar sekitar Rp 600 triliun. Ini lebih dahsyat dari kasus Century, Hambalang dan sebagainya,” kata Ruhut di Jakarta, Kamis (8/1/2015).

Sementara Rachmawati selaku Ketua Umum Front Pelopor dan Ketua Dewan Pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno, bersama Progress 98 juga telah melayangkan surat desakan kepada para pimpinan KPK untuk segera mengusut beberapa kasus korupsi, termasuk dugaan keterlibatan Megawati dalam kasus BLBI.

Rachmawati menegaskan, sudah sepatutnya Megawati bertanggung jawab atas kebijakannya yang membuat negara rugi ratusan triliun rupiah sampai hari ini. Perlindungan yang diberikan Mega kepada sejumlah obligor BLBI ketika itu diduga keras berdasarkan pada kepentingan yang sempit.

“Karena kasus BLBI ini negara dirugikan ratusan triliun rupiah selama bertahun-tahun. Mega harus bertanggung jawab,” tegas Rachmawati seraya menambahkan agar KPK tidak melakukan tebang-pilih terhadap kasus-kasus korupsi.

Dalam kasus BLBI hingga saat ini Megawati memang belum dipanggil. Padahal sejumlah pejabat dan mantan pejabat negara sudah dimintai keterangannnya oleh KPK.

Mereka yaitu, I Putu Gede Ary Suta selaku mantan Kepala BPPN; Dorodjatun Kuntjoro Jakti  selaku Menko Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004;  Bambang Subiyanto Menteri Keuangan 1998-1999; Kwik Kian Gie selaku Menko Perekonomian 1999-2000 dan Kepala Bappenas 2001-2004; Laksamana Sukardi selaku mantan Menteri Negara BUMN; Rini Mariani Soemarno Soewandi selaku mantan Menteri Perindag era Presiden Megawati; serta Dr. Rizal Ramli Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur.

Lalu mampu dan beranikah KPK memanggil Megawati agar proses kasus BLBI ini bisa segera dinaikkan statusnya?

Rasa optimis dan keseriusan KPK menuntaskan kasus BLBI akhir-akhir ini cukup besar. Dan keseriusan KPK ini sepertinya membuat Megawati jadi terusik dan merasa was-was.

Sehingga sangat memungkinkan Megawati akan menggunakan “kekuasaannya” sebagai partai penguasa, yakni dengan sebisa mungkin membangun “benteng pertahanan” agar tidak tersentuh oleh KPK atas dugaan keterlibatannya pada kasus BLBI tersebut.

Dan ini bisa dilihat dengan telah diangkatnya Jaksa agung dari kader Partai NasDem, lalu disusul dengan ditunjuknya Budi Gunawan (mantan ajudan Megawati) sebagai calon tunggal Kapolri.

Namun, sepertinya KPK bisa membaca “strategi” Megawati tersebut. KPK yang sudah memiliki niat baik dan keseriusan tinggi untuk menuntaskan kasus BLBI itu pun nampaknya tak ingin menemui kendala besar jika Budi Gunawan (BG) yang dijadikan sebagai Kapolri. Sehingganya BG mau tidak mau harus lebih dahulu harus dihambat agar tidak menjadi “benteng pertahanan” Megawati. KPK pun menetapkan BG sebagai tersangka atas kasus dugaan rekening gendut.

Upaya “antisipasi” KPK itu ternyata mendapat perlawanan, entah datangnya dari pihak Megawati atau dari Polri sendiri, Bambang Widjojanto (BW) Wakil Ketua KPK pun tiba-tiba dicegat dan diciduk di jalan layaknya seperti seorang teroris oleh Bareskrim Mabes Polri.  BW diciduk atas dugaan kasus pemberian kesaksian palsu dalam sengketa Pilkada di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pada 2010 silam.

Sepertinya, penangkapan BW ini salah satunya merupakan shock-terapi atau “pesan khusus” dari kubu Megawati buat para komisioner KPK agar mengurungkan niat untuk menggali lebih dalam kasus BLBI.

Setidaknya kesan seperti ini diungkapkan oleh Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih, Adhie M Massardi.

Ia menduga kuat telah terjadi kriminalisasi terhadap KPK berkaitan dengan penyelidikan kasus SKL BLBI. “Saya melihat ini ada dugaan berhubungan dengan makin intesifnya KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, mengenai masalah SKL BLBI yang ditandatangani oleh Megawati,” ujar Adhie dalam diskusi di Jakarta, Minggu (25/1/2015).

Mantan jubir Presiden Gus Dur itu menilai, ada yang menganggap pidana yang menjerat BW dan pelaporan Wakil Ketua KPK ainnya, Adnan Pandu Praja, ke Bareskrim merupakan salah satu upaya untuk meredam penyelidikan SKL BLBI.

Jika pandangan ini benar, maka upaya pemberantasan korupsi di negeri ini tidak akan berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh seluruh rakyat Indonesia. Dan bisa dipastikan, program “hebat” pemerintah Jokowi-JK dalam memberantas korupsi akan hanya terjadi di alam khayalan atau di dalam cerita di negeri dongeng saja. Sungguh menyedihkan..!!!

Ayo dukung penuh KPK agar dapat menuntaskan kasus Megakorupsi SKL-BLBI itu...!!!!