Tuesday 8 March 2016

Rizal Ramli, Sosok Otokritik Sekaligus “Alarm” untuk Bangkit


(AMS, Artikel)
SEBAGAI presiden, Jokowi tentu sangat menyadari bahwa tugas dan amanah yang diberikan oleh rakyat kepadanya sangatlah berat. Sehingga itu Presiden Jokowi menamai kabinetnya dengan nama “Kabinet Kerja”.

Dan untuk memahami makna Kabinet Kerja, tentu saja tak hanya dibayangkan secara sederhana sebagaimana definisi “kerja” menurut kamus Bahasa Indonesia, melainkan juga harus dipahami secara filosofi dan luas. Sebab, pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya atau di negara lain pun telah melakukan kegiatan yang disebut “kerja”.

Sehingga penamaan Kabinet Kerja saat ini bukan berarti “menuding” pemerintahan lain (atau kabinet sebelumnya) tidak melakukan kerja. Hanya saja, Presiden Jokowi menyadari bahwa sistem pemerintahan yang terdiri dari berbagai komponen pemerintahan di dalamnya sejauh ini belumlah berjalan (bekerja) sebagaimana yang diharapkan.

Artinya, Presiden Jokowi nampaknya sangat tahu, bahwa komponen-komponen pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) selama ini masih lebih banyak cenderung mempertahankan kebiasaan buruk, yakni banyak “tidur” (malas dan acuh tak acuh) namun banyak “makan diam-diam” (kongkalikong) seperti yang terjadi di pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

Dan apabila kebiasaan buruk itu dipelihara atau tetap dibiarkan terjadi, maka kualitas kinerja Kabinet Kerja diyakini akan sama dengan kabinet-kabinet di pemerintahan sebelumnya. Yakni kegiatan pemerintahan terlihat dapat terselenggara tetapi kesejahteraan rakyat jalan di tempat, bahkan merosot.

Sebab perlu dicatat, bahwa selama ini kebiasaan buruk itulah yang membuat nasib rakyat tidak banyak berubah. Sehingganya kebiasaan buruk itu pula yang sangat ingin dihilangkan oleh Presiden Jokowi.

Makanya, Presiden Jokowi nampak tak pernah tertarik untuk melakukan menekan secara keras, apalagi penegasan ekstrem kepada Rizal Ramli selaku salah satu Menko yang kerap memberi “warning” secara tegas kepada sejumlah menteri untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang justru merugikan rakyat.

Dan menteri yang merasa kebijakannya sering “dihalau” oleh Rizal Ramli adalah Menteri ESDM, Sudirman Said.

Kemudian, mungkin karena merasa di-bekingi oleh Wapres Jusuf Kalla (JK), maka setiap mengetahui kebijakannya dihalang-halangi, Sudirman Said pun serta-merta melakukan “perlawanan” balik kepada Rizal Ramli secara frontal.

Bahkan dengan arogan dan angkuhnya, Sudirman Said kadang melontarkan kata-kata yang sangat kasar “pembohong, penipu” kepada lawannya yang tak lain adalah Rizal Ramli, koleganya itu, yakni Menko yang membawahi Kementerian ESDM.

Hal ini tentu saja sangat disayangkan. Sebab, sejauh ini Rizal Ramli selain tak pernah melontarkan kata-kata kasar, juga Rizal masih mampu memperlihatkan hormatnya kepada Presiden Jokowi dengan menggelar rapat-rapat koordinasi. Hanya saja Sudirman Said yang justru tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya alias mangkir dari setiap rapat-rapat yang diselenggarakan oleh Rizal Ramli.

Parahnya, Sudirman Said lebih memilih bersuara dan menyerang Rizal Ramli di depan publik dengan wajah seakan-akan tanpa “dosa” (kesalahan) dan seolah-olah mengharap iba, akibatnya kegaduhan pun muncul.

Anehnya, dalam kondisi seperti itu, Rizal Ramli yang malah dituding sebagai sumber kegaduhan oleh segelintir pihak-pihak tertentu. Bahkan JK sebagai Wapres (tanpa sepengetahuan Presiden Jokowi) buru-buru membela Sudirman Said dengan terang-terangan melakukan “penyerangan” terhadap Rizal Ramli dengan masalah yang sangat jauh dari substansinya. Dan hal ini kiranya dapat menjelaskan bahwa JK bukanlah seorang negarawan yang patut dicontoh.

Begitu pun dengan Johan Budi yang kini sebagai Jurubicara Presiden Jokowi itu, nampaknya lebih cocok menjadi jurubicara Wapres dan Kementerian ESDM. Pasalnya, reaksi Johan sepertinya sangat kompak dengan Wapres JK, Sudirman Said dan pihak-pihak yang berlawanan dengan Rizal Ramli, di mana seolah-olah menggambarkan secara berlebih-lebihan bahwa akibat kegaduhan tersebut Presiden Jokowi  menjadi murka.

Padahal, Presiden Jokowi dalam menanggapi kegaduhan silang pendapat antar-menteri tersebut samasekali tidak nampak dalam keadaan marah. “Silang pendapat apa? Ya, itu dinamika biasa. Saya masih senyum gini,” kata Presiden Jokowi seraya menambahkan bahwa hal tersebut menjadi sebuah pembelajaran publik, mana yang benar dan mana yang tidak benar. – Sungguh bijaksana sekali pandangan Presiden Jokowi.

Dan nampaknya komentar serta senyum Presiden Jokowi tersebut selaras dengan pandangan publik. Bahwa, jika mau jujur, kegaduhan kemarin itu bisa memuncak karena adanya situasi yang nampak tidak “seimbang”. Yakni di mana Rizal Ramli sedang “dikeroyok” oleh Sudirman Said, Wapres JK berikut pihak-pihak tertentu lainnya.

Komentar dan senyum Presiden Jokowi itu bahkan dapat menjelaskan, bahwa Jokowi adalah seorang presiden yang cerdas dan bijak membaca keadaan yang sebenarnya, serta tidak mudah terprovokasi dari pihak manapun, tidak seperti yang dikemukakan oleh jubirnya, Johan Budi.

Sikap Presiden Jokowi tersebut juga sekaligus mencerminkan karakter dan mental yang tidak gampang rapuh. Dan sikap seperti itulah yang seharusnya dicontoh dan diikuti oleh Sudirman Said (juga dengan JK) untuk tidak serta-merta melontarkan kata-kata kasar ketika mendapat kritik dari manapun, apalagi kritik itu berasal dari koleganya sendiri yang notabene adalah Menko yang membawahi kementerian ESDM.

Tentang kritik yang berasal dari dalam organisasi sendiri, Fadli Zon selaku Wakil Ketua DPR-RI punya pandangan tersendiri. Menurutnya, Rizal Ramli di dalam kabinet memberikan otokritik yang baik bagi pemerintahan saat ini yang komposisinya sangat liberal.

Menurut Fadli, kehadiran Rizal Ramli di tubuh pemerintahan manjur memberikan koreksi atas kebijakan-kebijakan neoliberal yang tadinya bisa berjalan leluasa tanpa kehadirannya.

Sebagai penjelasan dan pencerahan, otokritik pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk melakukan perubahan budaya dalam suatu komunitas masyarakat, keluarga, golongan, organisasi atau lembaga dengan melakukan kritik yang dilakukan oleh anggota dari dan untuk komunitas itu sendiri.

Namun seringkali terdapat suasana formalistik yang sangat kuat memegang status quo, sehingga dapat mematikan sikap kritis anggota dalam suatu komunitas, baik secara horizontal maupun secara vertikal.

Budaya otokritik akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dan diyakini mampu mencapai tujuan organisasi secara memadai jika otokritik tak diabaikan apalagi disepelekan. Sebab, otokritik dapat melahirkan suatu kondisi yang konstruktif bagi perjalanan sebuah organisasi.

Pun otokritik akan dapat berjalan efektif bila setiap anggotanya menyadari dan memiliki sikap mental untuk dapat menerima dan melakukan koreksi. Olehnya itu, otokritik sangat tepat dibudayakan di dalam organisasi yang ingin mencapai kemajuan dan perubahan yang berarti buat seluruh anggotanya.

Dan nampaknya, Presiden Jokowi memang sangat memahami arah otokritik yang dilakukan oleh Rizal Ramli selama ini sebagai Menko yang membidangi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam. Yakni selain sebagai salah satu upaya untuk membantu memberikan solusi yang terbaik, juga adalah sekaligus sebagai “alarm”(pengingat) tidak hanya buat rakyat tetapi juga bagi seluruh komponen pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif juga KPK) agar segera bangkit dari “tidurnya” untuk bersama-sama meningkatkan kerja.

Artinya, sekali lagi, Rizal Ramli senantiasa akan menjadi “alarm” yang akan terus “berdering” apabila seluruh komponen pemerintahan masih sulit melakukan fungsinya dengan baik, yakni karena dinilai (disengaja atau tidak) masih lebih cenderung mempertahankan kebiasaan buruk, yaitu cenderung “makan diam-diam” dan cenderung banyak “tidur”.

Jadi sangatlah lucu kiranya, jika ada pihak yang berasal dari DPR misalnya yang turut “berteriak” meminta agar salah satunya Rizal Ramli bisa ikut dipecat sebagai menteri.

Disebut lucu, karena yang diteriakkan oleh Rizal Ramli amat jelas adalah akibat tidak berjalannya dengan baik fungsi pengawasan DPR,-- alias mandul. Dan jika terus-terus mandul, maka bukankah sepatutnya anggota DPR yang lebih baik dipecat?

Pada kondisi tersebut, M. Qodari selaku Direktur Eksekutif Indo Barometer, menyayangkan sikap DPR yang memiliki tupoksi pengawasan tetapi terkesan tumpul menghadapi eksekutif ketika bicara soal Blok Masela. “Perdebatan itu seharusnya kan terjadi antara legislatif dan eksekutif?!” lontarnya.

Sehingganya, Qodari pun memaknai Rizal Ramli yang berani menjadi “alarm” juga sebagai “radar” bagi rakyat itu adalah merupakan sosok menteri yang 3 in 1 (three in one), yakni menteri yang membantu tiga peran sekaligus. Yaitu peran sebagai eksekutif, legislatif dan KPK.

“RR (Rizal Ramli) kan menteri three in one. Di dalamnya ada unsur eksekutif sebagai pelaksana, legislatif ikut mengawasi, dan KPK sebagai penyelamat keuangan negara,” ungkap Qodari.