Saturday 21 November 2015

Pencatut, Pecatur dan Pelacur Politik di Pemerintahan


(AMS, Artikel)
KELAKUAN elit-elit politik yang diberi amanah sebagai pejabat negara di negeri ini sejak dulu selalu saja begitu, tak pernah berubah dan bahkan kini tambah parah, --sangat bobrok dan amat menjijikkan.

Mungkin karena sudah terlalu banyak melahap duit haram sampai-sampai hati dan pikiran mereka kini telah dipenuhi kotoran, sehingga sudah sangat sulit dibersihkan dan dipulihkan dengan obat apapun, kecuali dengan cara amputasi, alias memberlakukan hukum mati bagi para koruptor atau para pejabat negara yang gemar menyalahgunakan wewenangnya, misalnya berbisnis dalam pemerintahan untuk mendapatkan keuntungan baik melalui proyek maupun sebagai lintah darat.

Persoalannya sekarang memang terletak pada hukum di negeri ini yang masih saja sulit ditegakkan. Hukum hanya benar-benar tegak dengan angkuhnya di depan rakyat yang lemah, namun sangat rapuh dan cenderung mudah ditakluklan oleh kekuatan uang dan kekuasaan politik.

Kondisi hukum seperti inilah yang membuat para pejabat kotor senantiasa tak gentar dan tak segan-segan menyalahgunakan wewenangnya dengan berbagai jenis kelakuan buruk demi memperoleh keuntungan dan kekayaan berlimpah untuk diri atau kelompoknya.

Berbagai kelakuan yang dimaksud misalnya, menjadi pencatut, “pecatur”, dan bahkan menjadi “pelacur” politik dalam pemerintahan.

Lihat saja, situasi negeri kita beberapa hari terakhir ini tiba-tiba menjadi geger akibat atraksi dari sejumlah pejabat negara, ada yang sedang berakrobat secara senyap, ada pula yang sedang melakukan lompatan-lompatan dadakan bagai pahlawan kesiangan.

Situasi itu pun membuat panggung politik di dalam pemerintahan terasa bergetar kuat bagai digoyang gempa. Sudirman Said (SS) selaku Menteri ESDM secara mendadak melaporkan Ketua DPR Setya Novanto (SN) ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

SS menuding SN meminta saham di PT. Freeport dengan mencatut nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Di mata publik, ulah SN memang sangatlah tidak pantas karena selain dinilai telah melanggar etika moral, perbuatan SN itu juga dinilai salah satu upaya berburu rente dengan membawa dan menjual nama Presiden dan Wakil Presiden.

Namun di sisi lain, akrobat atau sikap dadakan yang ditampilkan SS itu bisa saja dianggap lebih cenderung sebagai “pelacur” dalam pemerintahan, sebab sepertinya ada “pecatur” politik yang telah mengatur semua itu.

Hal ini terindikasi dari mimik kaku SS di hadapan publik yang terkesan tidak seirama dengan langkah keberaniannya melaporkan SN ke MKD. Dan jika tudingan ini benar, maka tentu banyak yang memuji sikap heroik SS, sekaligus termasuk saya (penulis) yang paling ngotot mendesak SN untuk mundur dari jabatannya. Itu yang pertama.

Kedua, sejauh ini SS adalah salah satu pejabat atau menteri yang dinilai tak punya prestasi yang patut dibanggakan. Bahkan SS dianggap sebagai menteri yang lebih banyak membuat hidup rakyat makin terbebani, menaikkan BBM, mencabut subsidi listrik, dan lain sebagainya.

Olehnya itu, nama SS saat ini paling kuat disebut-sebut sebagai salah satu menteri yang akan di-eliminasi pada Reshuffle Kabinet Kerja jilid 2. Jadi kemungkinan besar, bisa diduga SS menjadikan masalah pencatutan itu hanya agar dapat terselamatkan dari eliminasi tersebut. Ini yang ketiga

Kemudian yang keempat, SS selama menjabat selaku Menteri ESDM dinilai cenderung lebih tunduk kepada Wapres JK daripada Presiden Jokowi. Hal ini misalnya dapat dilihat dari sikap keras kepala SS yang tak pernah mau menghadiri undangan rapat satu kali pun dari salah satu menteri “pilihan” Presiden Jokowi, yakni Rizal Ramli selaku Menko Kemaritiman dan Sumberdaya.

Dan kelima, pada saat ini publik mengetahui SS adalah pejabat yang pertama kali ngotot untuk melakukan perpanjangan kontrak karya dengan memberikan “lampu hijau” kepada PT. Freeport meski harus menabrak perundang-undangan atau peraturan yang telah ada.

Olehnya itu di mata publik, kelakuan SS serta SN ataupun sejumlah pejabat lain sejenisnya terkesan sebagai “pelacur” politik dalam pemerintahan, sebab dapat ditebak ada “pecatur” yang telah mengatur sekaligus bertindak sebagai beking di balik tindakan mereka yang kelihatan begitu berani dengan maksud untuk mencapai kepentingan masing-masing.

Jika benar demikian, maka tak salah kiranya jika Menko Rizal Ramli ketika ditanyai wartawan, menjawab, “Anggap aja rakyat Indonesia sedang dihibur oleh satu sinetron perang antar-geng. Nah, geng ini kadang-kadang berdamai, kadang perang, tergantung ‘hadiahnya’"