Tuesday 6 October 2015

Demi Berdikari dalam Ekonomi (Trisakti), Rizal Ramli Genjot Kelapa Sawit


(AMS, Artikel)
DATA BPS menunjukkan kontribusi Perkebunan tahun 2014 dalam PDB (Produk Domestik Bruto) adalah sekitar 3,77 persen. Nilai ini sekaligus menempatkan Perkebunan pada urutan pertama di sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan.

Meski kontribusi bidang Perkebunan tersebut terbilang belum terlalu besar, namun subsektor ini merupakan penyedia bahan baku untuk sektor Industri, penyerap tenaga kerja, dan juga penghasil devisa.

Bahkan ketika krisis ekonomi melanda negeri ini, perkebunan sebagai subsektor pertanian cukup kuat menghadapi guncangan ekonomi. Dengan kata lain, Perkebunan di negeri ini mampu diandalkan untuk memulihkan kelesuan perekonomian nasional, terutama Perkebunan Sawit.

Artinya, sejauh ini kelapa sawit adalah merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia.

Sebab, kelapa sawit sesungguhnya adalah komoditas ekspor Indonesia yang berperan penting sebagai penghasil devisa negara sesudah minyak dan gas. Bahkan Indonesia adalah merupakan produsen sekaligus eksportir kelapa sawit terbesar di dunia.

Dari data yang ada menunjukkan, Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang berkontribusi 85 persen dari seluruh pasokan minyak sawit dunia. Indonesia memberi kontribusi 48 persen dari total volume produksi minyak sawit dunia, sedangkan Malaysia adalah 37 persen.

Sementara itu, ulasan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) menyebutkan, produksi minyak sawit mentah/Crude Palm Oil (CPO) beserta turunannya pada akhir 2014 lalu mencapai 31,5 juta ton. Dan pencapaian ini tetap mengukuhkan posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Dan dari capaian tersebut, jumlah tenaga kerja, petani, serta pihak lain dalam mata rantai industri kelapa sawit mencapai lebih 5 juta orang. Sedangkan sumbangan devisa ekspor produk minyak sawit mentah beserta turunannya pada 2014 mencapai sekitar 21 Miliar US Dolar berasal dari negara tujuan ekspor di antaranya India, negara Uni Eropa, China, dan bahkan Malaysia.

Indonesia investments juga pernah merilis ekspektasi produksi CPO lima besar dunia 2014. Yaitu:
1. Indonesia 33,5 juta ton;
2. Malaysia 20,35 juta ton;
3. Thailand 2,25 juta ton;
4. Kolombia 1,025 juta ton; dan
5. Nigeria 930 ribu ton.

Memahami semua hal tersebut di atas, Menko Kemaritiman dan Sumberdaya, Rizal Ramli, pun bertekad menggenjot lebih maksimal kelapa sawit sebagai sumberdaya “raksasa” yang dimiliki Indonesia agar bisa benar-benar mampu membuat Indonesia berdikari dalam bidang ekonomi.

Langkah “politik” pertama yang dilakukan Rizal Ramli, adalah dengan mengajak Malaysia untuk bersatu membentuk wadah baru, yakni bernama “Council of Palm Oil Producing Countries (CPO-PC)” atau Dewan Negara-negara Produsen Minyak Kelapa Sawit. Dan Malaysia pun menyatakan kesepakatannya terhadap pembentukan dewan tersebut.

Dewan ini nantinya difungsikan untuk menjaga kualitas hingga menentukan harga minyak kelapa sawit dunia, sekaligus mengembangkan industri hilirnya, juga mengkoordinasi produksi dan stok produk minyak sawit di pasar global internasional.

Langkah ini disepakati dalam pertemuan antara delegasi Indonesia yang diwakili oleh Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, dengan delegasi Malaysia yang diwakili oleh Menteri Industri Tanaman dan Komoditas, Datuk Amar Douglas Uggah. Hadir pula, Kepala Bappenas Indonesia Sofyan Djalil.

Meski pertemuan yang digelar pada Sabtu (3/10/2015) itu hanya berlangsung selama 2 jam 30 menit (13.00 WIB hingga 15.30 WIB), di Hotel Fairmont, Senayan-Jakarta, namun pertemuan tersebut sangat patut dicatat sebagai sejarah baru yang akan menuju pada “Revolusi Kebangkitan Minyak Kelapa Sawit Indonesia” ke tingkat internasional. 

Dari pertemuan tersebut, Rizal Ramli menyebutkan telah terjadi empat poin kesepakatan, yaitu:
1. Indonesia dan Malaysia sepakat dengan pembentukan badan kerjasama sawit dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPO-PC) untuk penentuan harga minyak sawit mentah, promosi keunggulan sawit beserta turunannya.
Badan ini akan dibentuk pada akhir Oktober 2015;

2. Indonesia dan Malaysia sepakat menyatukan standar perkebunan sawit berkelanjutan melalui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO);

3. Indonesia dan Malaysia sepakat meningkatkan kerjasama promosi praktik industri sawit berkelanjutan; dan

4. Indonesia dan Malaysia akan meningkatkan riset dan pengembangan pada industri sawit, untuk membuka potensi nilai tambah.

Mengenai dewan baru tersebut, Rizal Ramli mengaku akan secara resmi dibentuk di saat ada pertemuan Perdana Menteri Malaysia dan Presiden Jokowi, yang waktunya akan segera ditentukan secepatnya.

Rizal Ramli menjelaskan, jika Indonesia gabung dengan standar baru, maka itu akan membuat posisi Indonesia makin kuat. “Coba kalau naik lagi 100 US Dolar per ton, pasti akan signifikan sekali. Saya juga harap nanti negara-negara produsen sawit lain ikut bergabung,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Rizal Ramli sekaligus juga menyatakan rencananya untuk membuat avtur dari CPO. Ia berniat mengembangkan bahan bakar jet yang berasal dari CPO (jet fuel). Langkah tersebut sebagai upaya pemerintah mendorong hilirisasi produk sawit.

“Kami ingin mengembangkan jet fuel, bahan bakar untuk jet dari CPO. Itu lebih bagus untuk lingkungan hidup daripada avtur. Nilai tambahnya 20 kali, saya ingin 5-10 tahun yang akan datang Indonesia produsen nomor satu jet fuel,” ujar Rizal Ramli usai melakukan pertemuan dengan Pemerintah Malaysia tersebut, di Jakarta, Sabtu (3/10/2015).

Meski masih langka, jet-fuel sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Ada beberapa maskapai penerbangan telah menggunakan bahan bakar tersebut. “Sudah ada airlines 11 penerbangan memakai biodiesel model begini,” ungkap Rizal Ramli.

Dan untuk mengembangkan bahan bakar tersebut, lulusan Teknik Fisika ITB yang juga Doktor Ekonomi dari Universitas Boston ini, menyebutkan perlunya kawasan industri khusus yang disebut green economy zone.

“Kami terimakasih Malaysia mau ikut green refinery ini. Kedua negara sepakat di Indonesia. Investasi besar, tapi kita akan launching awal tahun depan karena siapkan peraturan, insentif fiskal untuk green econimic zone. Akan menolong petani kecil untuk mendorong (mengangkat ekonomi) petani kecil,” tuturnya.

Dengan mengetahui sosok Rizal Ramli yang selama ini memang dikenal mapan dan piawai bergaul di tingkat internasional, maka momen kesepakatan dan pembentukan organisasi CPO-PC ini tentu akan dimanfaatkan Rizal Ramli sebaik mungkin, yakni dengan melakukan berbagai pendekatan strategis. Ujung-ujungnya, akan dapat membuat Indonesia menjadi negara yang berdikari dalam bidang ekonomi. Sebab, nantinya negara-negara di dunia akan semakin besar ketergantungan pemenuhan kebutuhan CPO-nya dari Indonesia.