Thursday 27 November 2014

Sekalian Aja Harga BBM Dinaikin Rp 1 Juta per Liter, Biar Rakyat Miskin Benar-benar Cepat Berkurang Alias Mampus!


(AMS, Opini)
TENTANG kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, adalah salah satu contoh pejabat yang punya pola pikir terbalik dan boleh dikata sangat menyesatkan.

Bahkan dengan statementnya seputar kenaikan harga BBM tersebut membuat semua orang spontan berkata: “Whaaaaattt.....? Menteri ini bodoh apa gila?"

Ia meyakini bahwa dengan kenaikan harga BBM dipastikan mengurangi dan menurunkan angka kemiskinan.

Pandangan seorang menteri seperti ini lebih cenderung hanya ingin membodoh-bodohi rakyat. Karena ia melontarkannya tanpa diikuti dengan gambaran skema atau uraian serta penjelasan dan langkah-langkah riil yang mendetail: tentang mengapa kenaikan harga BBM bisa disebut menurunkan angka kemiskinan.

Lagi pula titik masalahnya bukanlah terletak di situ (tentang kemiskinan), tetapi alasan dinaikkannya harga BBM adalah karena dua hal. Pertama, karena dinilai APBN akan jebol jika subsidi BBM tidak dikurangi (dinaikkan harganya); dan kedua adalah subsidi BBM yang sejauh ini dinilai tidak tepat sasaran.

Dan sesungguhnya, menaikkan harga BBM bersubsidi adalah cara yang sangat keliru untuk dijadikan solusi dalam mengatasi dua alasan (masalah) tersebut. Sebab, masih banyak cara yang sebenarnya bisa ditempuh oleh pemerintah yang  memerintah di negara yang dikenal subur karena memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah ini.

Kalau mau memberi solusi untuk menurunkan kemiskinan, bukan dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, tetapi di antaranya pemerintah harus bisa menciptakan dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para pengangguran, dan segera meningkatkan upah minimum para buruh, serta  mengelolah dengan cermat dan maksimal sumber-sumber kekayaan alam di negeri ini tanpa melibatkan secara dominasi negara asing, dan lain sebagainya.

Pemerintah melalui menteri ESDM ini nampaknya memang hanya memakai otak neolib dan mengunakan rumus neokolonialisme serta neokapitalisme dalam memecahkan masalah defisit APBN. Publik benar-benar dibuat panik, dan alam pikiran rakyat diseret ke hal-hal yang menakutkan, seolah-olah negara bisa “runtuh” apabila harga BBM tak dinaikkan.

Padahal dalam APBN yang sudah diundangkan itu sangat jelas telah memiliki pos anggaran masing-masing dan sudah tersedia dengan cukup, termasuk anggaran dalam membiayai sejumlah kegiatan infrastruktur. Lalu kenapa hak rakyat tega dicabut? Kalau pun ada masalah, tugas dan kewajiban pemerintahlah itu untuk mencari cara lain tanpa mengorbankan rakyat dengan merampas (subsidi) yang menjadi hak-hak rakyat itu.

Sehingga itu, pemerintah Jokowi-JK bersama para menterinya sebaiknya berhentilah melakukan kebohongan dan tipu-tipu. Tak elok kiranya menyebut Kabinet Kerja itu bekerja demi kepentingan rakyat, yang pada kenyataannya justru sangat nampak tidak bekerja berdasarkan atas kehendak rakyat.

Sebab, jika mau jujur, yang menjadi kehendak rakyat saat ini sangat jelas dan terang benderang tak menghendaki kenaikan harga BBM.

Jokowi-JK berhasil terpilih sebagai pasangan presiden adalah hasil demokrasi, dan diusung oleh partai yang “bertitel” demokrasi, tetapi mengapa setiap mengambil kebijakan selalu melangkahi nilai-nilai demokrasi?

Di belahan dunia mana pun, “gudang-gudang” tempat penyimpanan rumus dan teori yang telah dipraktekkan tidak ada yang membenarkan pandangan bahwa dengan menaikkan harga BBM bersubsidi di saat rakyatnya masih banyak yang susah bisa mengurangi dan menurunkan angka kemiskinan. Tidak itu!

Penurunan rumus kenaikkan harga BBM tetap menghasilkan bertambahnya jumlah warga yang menderita karena menjadi miskin, dan ujung-ujungnya bahkan sangat berpotensi meningkatkan jumlah kriminalitas serta tindak kejahatan lainnya di tengah-tengah masyarakat sosial karena tercekik masalah ekonomi yang makin susah. Sebab, pemerintah hanya bisa dan pandai menaikkan harga BBM tetapi tidak mampu menyediakan jalan keluar terhadap dampak buruk dari kenaikkan harga BBM tersebut.

Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang akan dibagi-bagikan sebagai kompensasi terhadap kenaikan harga BBM itu tidaklah bisa mengatasi masalah kemiskinan. Bahkan, dengan penerapan “Trikartu” itu malah bisa membuat angka kemiskinan semakin meningkat.

Sehingga itu, Pemerintah Jokowi-JK, terutama Menteri ESDM belumlah terlambat untuk berhenti melakukan pembohongan dan tipu-tipu dengan memaksakan kehendak sendiri dalam menaikkan harga BBM ini. Ingatlah dan percayalah apa yang dikatakan Presiden BJ. Habibie, “saya jamin kenaikan BBM membuat rakyat yang tadinya tidak miskin jadi miskin.”

Tetapi apabila Pemerintah Jokowi-JK bersama para menterinya (termasuk menteri ESDM itu) tetap ngotot pada pendirian dan pandangannya yang terbilang sangat sesat dan keliru mengenai subsidi BBM itu, maka itu sama dengan ingin membunuh rakyat bawah. Sebab, mencabut (mengurangi) subsidi BBM dengan cara menaikkan harganya itu sama saja dengan mencabut “jantung” ekonomi rakyat hingga menimbulkan “pendarahan” hebat di mana-mana karena seluruh harga kebutuhan hidup menjadi naik dan sangat sulit dijangkau. Dan bahkan bisa menambah angka pengangguran melalui PHK akibat biaya produksi ikut meninggi seiring kenaikan harga BBM tersebut.

Kalau memang pemerintah betul-betul menyakini, bahwa dengan menaikkan harga BBM menurunkan angka kemiskinan, maka sebaiknya pemerintah menaikkan sekalian harganya sampai Rp 1 juta per liter, biar rakyat miskin benar-benar cepat “berkurang” alias mampus. Karena sudah pasti dengan menaikkan harga BBM setinggi-tingginya diyakini memang bisa “memberantas” orang-orang miskin di negeri ini. Buat pemerintah, mari kita ucapkan: Selamat Mengurangi (Memberantas) Orang-orang Miskin”