Thursday 20 November 2014

Jokowi-JK Pemalas dan Culas? Lawan!

(AMS, opini)
SELAKU salah seorang presidium di MKRI (Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia) sekaligus aktivis penegak kedaulatan, saya pernah menyuarakan dan menyerukan kepada kawan-kawan seperjuangan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MKRI tahun 2013. Bahwa kita saat ini sedang dipimpin oleh pemerintah yang pemalas dan culas. Kita harus bangkit dan melawan pemerintah seperti ini, yakni dengan berusaha mengembalikan UUD 1945 dan Pancasila yang murni lalu melaksanakannya secara konsekuen!!!

Pemerintah pemalas dan culas adalah tipe pemerintah yang di satu sisi hanya membuat rakyat miskin jadi makin lemas karena merasa telah tertipu dengan janji-janji manis pemerintah saat kampanye dulu, dan di sisi lain hanya membuat seluruh kelompok mafia (mafia migas, hukum, pajak, mafia proyek fisik, dsb) makin subur dan kaya raya. Sungguh, kondisi seperti itu membuat rakyat semakin terlunta-lunta bagai anak ayam yang kehilangan induk.

Tipe pemerintah yang pemalas dan culas kerjanya hanya pandai mengatur mimik muka, gesture, serta melakukan pencitraan dan sensasi. Pun cuma pandai mengutang (tak mampu mengelola sendiri kekayaan SDA), “berwisata” ke sana ke mari, menaikkan harga BBM dengan alasan APBN akan jebol, lalu rakyat hanya dibujuk dengan “permen” yang disebut BLT atau BLSM.

Model pemerintah (kepemimpinan) seperti ini dijuluki Rizal Ramli dengan nama kepemimpinan sensasi-isme. “Model kepemimpinan ‘sensasi-isme’ ternyata keropos, gelembung populeritas tanpa ideologi, tanpa keberpihakan, tanpa kompetensi,” tulis Rizal Ramli dalam akun twitternya.

Parahnya, model pemerintah pemalas dan culas ini justru merupakan produk pemilihan pemimpin yang untuk pertama kalinya dilakukan secara langsung oleh rakyat dan terjadi di era Reformasi, yakni ketika SBY-JK berhasil tampil sebagai pasangan presiden 2004 silam.

Rakyat sesungguhnya sadar betapa buruknya pemerintahan model seperti itu, dan ingin secepatnya mengakhirinya, namun rakyat tak bisa berbuat banyak selain hanya bisa bersabar dan menahan terpaan kesulitan dan beban ekonomi yang menghimpit selama 10 tahun.

Lalu muncullah sosok yang berhasil menang dalam pemilihan Gubernur Jakarta. Publik mengenalnya dengan sebutan Jokowi. Dari situ, dengan gerakan pencitraan yang ditunjang oleh berbagai “pihak”, membuat Jokowi pun berhasil tersohor ke mana-mana dan tiba-tiba “menjelma” bagai sosok setengah dewa. Rakyat pun larut dalam sebuah imajinasi, bahwa Jokowi adalah sosok yang diyakini bisa “memerdekan” rakyat dari cengkeraman rezim pemalas dan culas. Benarkah?

Sepertinya rakyat lupa Jokowi yang terpilih jadi presiden itu berpasangan dengan siapa? dan nampaknya rakyat juga lupa bahwa program BLT (Bantuan Langsung Tunai) itu dilaksanakan pada pemerintahan siapa?

Yaa... kini kita seakan harus mundur 10 tahun ke belakang, dan rasa-rasanya harus mengulang kembali perjalanan hidup sebagai rakyat di tahun 2004 di bawah pemerintahan yang sepertinya hanya beda-beda tipis persis dengan yang ada saat ini (2014).  Bedanya cuma presidennya, tapi wapresnya tetap Jusuf Kalla (JK).

Di saat itu (2004) rakyat juga sangat memuja dan mendewakan SBY sebagai sosok yang memiliki 1001 kelebihan dan kehebatan untuk membawa Indonesia lebih maju. Alhasil...??? Hutang Indonesia bertambah, negara-negara asing diberi keleluasaan menyedot hasil-hasil kekayaan alam kita, rakyat kita banyak jadi pembantu di negeri orang sebagai TKI/TKW, mafia-mafia dan kalangan borjuis seakan lebih dipelihara oleh negara dibanding fakir-miskin dan anak terlantar, dan satu lagi---perusahaan-perusahan bisnis JK tumbuh subur. Sungguh, SBY sebagai presiden ketika itu nampaknya tak berkutik, sebab ada JK yang cenderung lebih dominan sehingga publik menyebutnya: bahwa JK-lah yang presidennya. Atau bahasa kerennya: JK “The Real President”. Yaa... dari SBY-JK ke Jokowi-JK adalah formasi kepemimpinan yang berbeda tetapi serupa.

Kalau dulu harga BBM juga dinaikkan dan diikuti dengan kompensasinya, yakni dalam bentuk program yang disebut BLT, dan ketika itu (2004) yang ngotot ingin menaikan harga BBM sekaligus pencetus BLT itu adalah JK. Sekarang juga begitu, harga BBM dinaikkan, bedanya BLT cuma “ganti kulit” menjadi Kartu Keluarga Sejahtera dan dua kartu lainnya.

Alasan JK ngotot menaikkan harga BBM adalah karena: pertama, APBN kita terancam jebol, subsidi BBM tidak tepat sasaran, sehingga anggaran subsidi tersebut harus dialihkan dari konsumtif ke produktif yang sebagian besarnya berupa pembiayaan pembangunan infrastruktur pengerjaan proyek-proyek fisik.

Artinya, dengan menaikkan harga BBM jenis premium dan solar sebesar Rp.2000 perliter, maka Pemerintahan Jokowi-JK akan “mengantongi” jumlah uang yang sangat besar hingga ratusan triliun.

Konon, jumlah uang ratusan triliun inilah yang akan “dibagi-bagikan” untuk kegiatan produktif rakyat Indonesia. Apa benar begitu?

Sebagai pelaksanaan “Trisakti” Jokowi-JK memang akan membagi-bagikan duit melalui “Trikartu”. Namun  program yang menjadi kompensasi kenaikan BBM tersebut ternyata nilainya hanya Rp. 6,4 Triliun. “Kok kecil? Padahal berdasarkan perhitungan nilainya sangat besar,” ujar Salamuddin Daeng bertanya-tanya.

Selaku seorang pengamat ekonomi politik, Salamuddin Daeng menyebutkan, bahwa kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM di saat harga minyak mentah dunia merosot jatuh menyebabkan pemerintah memperoleh uang dari dua sumber.

Pertama, kata Salamuddin, yakni dari selisih antara harga ICP (Indonesia Crude Price/harga minyak mentah Indonesia) yang dipatok oleh APBN senilai 105 US$/barel dengan harga minyak yang berlaku saat ini yaitu 72 US$/barel.

Salamuddin menghitung, bahwa nilai APBN yang dapat dihemat akibat penurunan harga minyak dunia tersebut mencapai Rp.199,6 Triliun, yakni dari asumsi 33 US$/barel x 1.4 juta barel/hari x 360 hari x Rp.12.000.

Kedua, dari kenaikan harga BBM petroleum dari Rp.6.500/liter menjadi Rp.8.500/liter dan kenaikan harga solar dari Rp.5500/liter menjadi Rp.7500/liter. Dengan demikian maka kenaikan Rp.2000 pada premium akan menghemat sebesar (31 juta kiloliter x Rp.2000/liter) yakni Rp. 62 Triliun.

Sedangkan dari kenaikan harga solar, menurut hitungan Salamuddin, pemerintah akan menghemat sebesar Rp.33,6 Triliun, yakni 16.8 juta kiloliter x Rp.2000/liter.

Berdasarkan perhitungan di atas, Salamuddin mengestimasi pemerintah akan memperoleh aliran uang yang menghasilkan kelebihan kas pemerintah sebesar Rp.295,18 Triliun. “Lalu untuk apa uang ini akan digunakan?” lontar Salamuddin yang menyayangkan pemerintah tidak pernah transparan dalam hitung-hitungan seperti itu dalam kaitan masalah BBM selama ini.

Sehingga yang terlihat di mata publik adalah sebuah rahasia umum yang sulit dipungkiri, bahwa presiden dan konco-konconya, juga wakil presiden berserta keluarganya adalah para pebisnis aktif dalam sektor energi baik minyak, gas, infrastruktur, tenaga listrik dan berbagai bisnis lainnya.

Sebagaimana janjinya, pemerintah akan segera merancang pengalihan subsidi BBM untuk kegiatan produktif, seperti pembuatan infrastruktur misalnya jalan, jembatan, pembangkit listrik, dll. “Namun harus diingat bahwa pengalihan tersebut bukan bagi-bagi duit untuk rakyat, tapi bisa jadi hanya bagi duit kepada keluarga, konco, kolega dan sendiri. Selamat bagi-bagi duit, pak! Semoga kalian bertambah kaya raya di atas penderitaan rakyat Indonesia,” tutur Salamuddin Daeng.

Hal lain yang juga disesalkan oleh banyak pakar dan pengamat adalah terburu-burunya dan begitu bernafsunya JK sebagai seorang Wapres untuk segera menaikkan harga BBM dengan alasan yang kurang masuk akal, yakni subsidi BBM dinilai membebani APBN hingga berpotensi jebol dan juga karena tidak tepat sasaran.

Kalau cuma itu yang menjadi alasannya, mengapa jalan keluarnya hanya harus dengan cara menaikkan BBM (mencabut subsidinya)? Apakah pemerintah tidak punya cara lain yang lebih kreatif yang lebih melindungi rakyat bawah (miskin)?

Apakah pemerintah tidak tahu jika mengurangi subsidi (dengan menaikkan harganya Rp.2000/liter) itu masih bisa dipastikan tidak tepat sasaran, karena pemilik kendaraan mewah tentu masih lebih mampu membeli BBM jenis premium (Rp.8.500/liter) ketimbang rakyat miskin yang sudah pasti makin sangat kesulitan?!? Pertanyaan inilah yang sebetulnya harus dijawab oleh Jokowi-JK.

Padahal ada cara lain yang lebih cerdas dan mampu mengatasi dua alasan tersebut dari Rizal Ramli. Sayangnya, Jokowi-JK lebih memilih cara lama (menaikkan harga BBM). Dan publik pun menilai bahwa cuma ada dua alasan mengapa ide Rizal Ramli tidak terima. Pertama, kemungkinan pemerintah memang malas, dan kedua pemerintah boleh jadi ada maksud yang tersembunyi untuk dapat leluasa bermain culas dengan memanfaatkan masalah subsidi BBM tersebut.

Artinya, ide dan gagasan cemerlang Rizal Ramli tidak akan diterima oleh pemerintah baru karena diduga kuat JK sangat membenci orang seperti Rizal Ramli. Sebab, di mata JK, boleh jadi Rizal Ramli adalah sosok yang hanya akan mengganggu “lahan” usaha dan bisnisnya melalui persoalan BBM tersebut.

Ini gambaran ide Rizal Ramli. Bahwa, premium yang ada saat ini adalah beroktan 88. Oktan 88 ini bisa dikonsumsi oleh mesin kendaraan dari semua kalangan (dari si miskin hingga si kaya).

Rizal Ramli pun menyarankan agar untuk kalangan menegah ke bawa, pemerintah sebaiknya menyediakan BBM Rakyat, yakni premium dengan oktan 83. Sedangkan bagi orang kaya, pemerintah bisa menyediakan BBM Super, yakni Pertamax oktan 92 dan Pertamax plus beroktan 94.

Premium yang beroktan  83, kata Rizal, hanya aman buat rakyat kalangan menengah ke bawah (Yakni 86 juta orang yang naik sepeda motor, 3 juta angkot, 2 juta nelayan). Artinya, para pemilik kendaraan mewah bisa dipastikan untuk tidak menggunakan premium beroktan 83 ini karena akan membuat mesinnya jadi mudah rusak. Sehingga pilihan satu-satunya bagi kalangan kaya adalah harus membeli premium beroktan 92 atau 94 (Pertamax dan Pertamax plus).

Seperti yang sudah dikemukakan Rizal Ramli, bahwa masih ada cara lain yang lebih baik untuk ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi masalah BBM ini. Yaitu, pemerintah segera menyiapkan premium beroktan 83 (oktan premium sekarang 88)

Sayangnya, Pemerintah baru yang sudah jauh-jauh hari dipuja-puja itu nyatanya tak punya cara lain dalam mengatasi masalah BBM selain hanya dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah baru yang mengusung “Revolusi Mental” itu nyatanya menutup pintu bagi pihak-pihak yang memberi ide untuk solusi dari masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa (bukan hanya masalahnya Jokowi-JK loh). Lalu apa bedanya dengan pemerintahan sebelumnya?

“Saya pikir akan ada terobosan baru dan cara baru. Sayang rupanya tidak ada,” ucap Yusril dalam akun twitter pribadinya, Kamis (6/11).

Jika memang rencana Jokowi menaikkan harga BBM terealisasi, Yusril menilai periode pemerintahan Jokowi saat ini sama dengan kebijakan presiden sebelumnya, belum mampu mengatasi masalah subsidi BBM. “Kalau demikian keadaannya, rupanya presiden baru belum punya cara baru mengatasi masalah subsidi BBM. Jadi masih sama dengan yang dulu,” ujar Yusril.

Parahnya, ada dugaan kuat, bahwa ngototnya JK menaikkan harga BBM memang nampaknya cenderung untuk keuntungan para pengusaha di lingkaran bisnis JK.

Sofjan Wanandi misalnya. Dikenal dekat dengan JK, pemilik Gemala Group tersebut sudah berancang-ancang untuk masuk dalam bisnis yang menjadi prioritas pemerintah. “Antara lain, sektor pertanian, energi, industri jasa, dan pasar keuangan,” kata Sofjan, seperti dikutip Kontan, Senin (20/10/2014).

Sofjan bahkan tak menampik bahwa bisnisnya akan ikut “mencicipi” berkah dari sektor-sektor tersebut. Begitu juga dengan pengusaha-pengusaha lain yang selama ini juga menjadi penyokong Jokowi-Kalla. Agar fair, dalam bisnis tersebut, tentu saja para pebisnis harus ‘bermain’ di bidang usaha mereka. “Kami siap dengan rencana dan proyek bisnis kami,” ujar Sofjan tak merinci proyek dan pembagiannya.

Sebelumnya, Sofjan Wanandi memang sudah mendesak JK agar harga BBM secepatnya segera dinaikkan. Sebab, menurut Sofjan, pihaknya akan susah jika harga BBM belum dinaikkan.

“Karena kita sudah lama menunggu, bahkan sebagian teman kita sudah naikkan barang-barang. Jadi kita perlu kepastian itu karena kalau tidak ada kepastian, kita susah. Maka itu kita minta makin cepat makin baik,” kata Sofjan di Istana Wakil Presiden Jakarta, Kamis (20/10/2014).

Sofjan juga pernah menyampaikan, Apindo menginginkan pemerintah segera menaikkan harga BBM agar bisa secepatnya membangun infrastruktur yang menunjang iklim usaha. Alokasi dana Rp 1 triliun per hari untuk subsidi BBM, menurut dia, bisa dialihkan untuk pembangunan infrastruktur.

Ada statement JK yang boleh dikata tidak hanya menggelitik tetapi juga dinilai bisa menyakiti hati rakyat. Yakni ia menyatakan, pemerintah tidak bermaksud menyulitkan masyarakat dengan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. (Rumus dari mana nih...???)

Parahnya, JK bahkan mengatakan, bahwa pengurangan subsidi BBM yang berakibat pada kenaikan harga BBM bersubsidi bertujuan untuk membahagiakan rakyat dengan mengurangi kemiskinan. (Rakyat mana yang bahagia dengan kenaikan BBM, pak JK..??? Kalau maksudnya membahagian Sofjan Wanandi dkk, mungkin iya pernyataan Bapak itu ga keliru..?!)

“Pindahkan subsidi BBM tidak berati pemerintah menyulitkan rakyat justru mebahagiakan rakyat mengurangi kemiskinan,” ujar JK dalam acara Big Ideas Conference, Bersama Mengatasi Kemiskinan dan Ketimpangan, di kawasan Kuningan, Jakarta, Selasa (23/9/2014).

JK mengakui, memang ada kalangan yang masih menginginkan harga BBM bersubsidi murah, tetapi biaya pendidikan dan kesehatan juga harus murah.

Jika hal tersebut yang dikehendaki, JK mengaku pemerintah kesulitan mencari dana untuk mewujudkan keinginan tersebut.

“Kadang kita mau semua, BBM murah, kesehatan murah, pendidikan murah, tetapi uang dari mana? Tidak bisa,” tuturnya. (Ya kerja dan cari dong cara lain, Pak...!!! Jawaban ginian kan cuma jawaban dari orang yang malas..?)

Seluruh uraian sekaligus pernyataan JK di atas sepertinya sudah memberikan kita gambaran, bahwa pemerintah Jokowi-JK memang nampaknya pemalas dan culas. Jika demikian, maka kita sebagai aktivis pergerakan dari seluruh barisan hendaknya terus bersatu membela kepentingan rakyat. “Jangan gigit jari. Kepalkan tinju. Lawan!!” lontar Salamuddin Daeng melalui BC via BBM yang diterima penulis. (Memang harus begitu, janganlah kita mau dibodoh-bodohi lagi dengan model pemerintahan yang pemalas dan culas..!!!)