Thursday 27 November 2014

Ini Kiat Gus Dur Bisa Kurangi ULN. Bagaimana Dengan Jokowi?


(AMS, opini)
MASING-MASING Presiden Republik Indonesia pastilah ada plus-minusnya. Namun fakta menunjukkan, bahwa hanya Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mampu mengurangi beban negara atas Utang Luar Negeri (ULN) sebesar 9 Miliar US Dolar.
Hebatnya, Presiden Gus Dur bisa melakukan itu di kala sengatan krisis moneter masih terasa membekas (belum terlalu pulih), dan mampu dicapainya hanya dalam tempo yang sangat singkat, yakni hanya 21 bulan.
Andai saja tak dilengser dari kekuasaannya oleh sejumlah politikus rakus ketika itu, maka sangat diyakini Gus Dur mampu menuntaskan masalah ULN itu hingga berada di posisi nol. Dan ketika itulah Indonesia baru bisa dikatakan benar-benar mampu berdikari (berdiri di kaki sendiri) di bidang ekonomi. Dan kesejahteraan rakyat pun bisa betul-betul diwujudkan.
Sebagai kelanjutan dari artikel saya sebelumnya, berjudul: “Urusan Utang dan Negara: Masih Gus Dur yang Terbaik”, yang mendapat berbagai tanggapan di media sosial. Di antaranya meminta sedikit uraian tentang “jurus” atau kiat seperti apa yang telah dilakukan Gus Dur hingga mampu menurunkan ULN sebesar 9 Miliar US Dolar tersebut?
Maka melalui tulisan kali ini saya mencoba untuk menunjuk “satu kata kunci” yang membuat Presiden Gus Dur mampu mengurangi ULN tersebut, sekaligus mampu membentuk dan menata ekonomi ke arah yang lebih baik.
-----------------

BAHWA secara fisik, Gus Dur di zamannya memang diakui sulit melakukan blusukan seperti yang kerap dilakukan oleh Jokowi. Tetapi Gus Dur bisa lebih hebat dibanding 1001 model blusukan yang dilakukan oleh Jokowi atau dengan presiden lainnya.

Sebab, di balik keterbatasan yang dimilikinya, Gus Dur ternyata memiliki kehebatan dan kekuatan mental besar yang mampu ia bentuk menjadi sebuah prinsip dan ketegasan tanpa dipengaruhi oleh pihak mana pun. Kekuatan dan kehebatan tersebut tercermin dengan lontarannya yang lazim kita dengar: “begitu aja kok repot?!

Kalimat inilah yang kiranya menjadi “kata kunci” yang menunjukkan bahwa Gus Dur punya prinsip kuat terhadap apa yang menjadi pandangan dan pemikirannya sebagai presiden.

“Orang sering ngutip omongan ‘gitu aja kok repot’. Itu bukan maksud untuk mengecilkan segala hal. Itu bukti keikhlasan (Gus Dur) dalam menjalankan prinsip,” kata Shinta (istri alm. Gus Dur) saat acara Haul ke-4 Gus Dur di Gedung DPP PPP, Jakarta Pusat, Selasa (14/1/2014) malam.

Ya, Gus Dur memiliki keikhlasan dan jiwa pengabdian yang begitu besar dalam menjalankan prinsip sebagai seorang presiden. Termasuk ketika menyusun menteri-menteri bidang ekonomi dalam kebinetnya, Presiden Gus Dur tidak ingin susah-susah ambil pusing dengan tekanan politik dari pihak kanan-kiri, ia hanya memegang prinsip: “begitu aja kok repot”, bahwa untuk pekerjaan dan urusan ekonomi harus dipegang oleh ahlinya, yakni orang yang benar-benar cerdas di bidangnya dan giat dalam bekerja tanpa dikekang oleh kelompok atau partai mana pun.

Dari situ, setelah mengamati dan mempelajari sejumlah figur untuk diposisikan sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) pasca Kwik Kian Gie, Gus Dur pun dengan tegas memilih seorang ekonom independen (nonpartisan) dikenal anti-liberalisme dan musuh mafia berkeley serta memiliki rekam jejak sebagai aktivis mahasiswa penentang keras rezim Orde Baru, yakni Dr. Rizal Ramli, alumnus Universitas Boston-Amerika Serikat.

Ketika itu, Rizal Ramli memang sedang menjabat sebagai Kabulog. Dan dulu, usai diangkat menjadi Kabulog saja, Rizal Ramli langsung blusukan dan beraksi : turun ke sawah, bertemu dengan para petani, bahkan ikut menangkap penyelundup beras di pelabuhan. Rizal Ramli menggulirkan berbagai kebijakan terobosan untuk mengubah citra Bulog dari sebuah institusi sarang korupsi menjadi lembaga yang bersih dan accountable.

Di mata Gus Dur, Rizal Ramli memang adalah sosok perpaduan pribadi yang komplet dengan beragam atribut. Yakni Rizal Ramli dikenal sosok pemberani, pantang menyerah, pekerja keras dan cerdas, jujur,  serta punya arah perjuangan dan keberpihakan yang jelas kepada rakyat kecil.

Dan benar, Presiden Gus Dur tak salah memilih orang untuk diposisikan sebagai Menko Perekonomian (Ekuin). Begitu selesai dilantik pada Sabtu (26/8/2000), Rizal Ramli langsung kerja... kerja... dan kerja. Masalah PLN yang dililit utang langsung ditanganinya, meski harus mengeluarkan energi dan pemikiran yang ekstra, Rizal Ramli berhasil melakukan operasi penyelamatan PLN dan membersihkannya dari berbagai “kuman” yang menumpuk di dalamnya.  Juga ketika menjabat Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Rizal Ramli berhasil merestrukturisasi sektor properti, UKM, dan petani.

Rizal Ramli dan 10 Program Percepatan Pemulihan Ekonomi
Sebagi Menko Perekonomian, Rizal Ramli sangat tahu begitu beratnya tugas dan pekerjaan yang harus ia selesaikan dan mustahil bisa dituntaskan semua persoalannya dalam waktu bersamaan. Makanya, ia pun segera menentukan prioritas yang dituangkannya dalam 10 Program Percepatan Pemulihan Ekonomi.

Dalam bukunya: “Rizal Ramli, Lokomotif Perubahan”, Rizal Ramli menjelaskan kata “percepatan” sengaja dipilih, karena ia sadar bahwa waktu tidak begitu banyak tersedia untuk bisa menuntaskan semua persoalan. Terlebih Rakyat dan Bangsa Indonesia yang memang perlu untuk segera mendapat pertolongan. Mereka perlu program aksi dan bukti, bukan sekadar janji-janji.

Program yang dicanangkan pada 4 September 2000 ini, pada akhirnya diakui dunia internasional sebagai program pemulihan ekonomi yang kredibel dan terbukti sukses. Sayang, pendeknya masa jabatan sebagai menko Perekonomian (hanya 10 bulan), menyebabkan pelaksanaannya tidak bisa dituntaskan.

10 Program Percepatan Pemulihan Ekonomi tersebut adalah: (1). Menciptakan stabilitasasi di sektor finansial; (2). Meningkatkan kesejahteraan rakyat di pedesaan untuk memperkuat stabilitas sosial-politik; (3). Memacu pengembangan usaha skala mikro dan usaha kecil menengah (UKM); (4). Meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani; (5). Mengutamakan pemulihan ekonomi berlandaskan investasi daripada berlandaskan pinjaman; (6). Memacu peningkatan ekspor; (7). Menjalankan privatisasi bernilai tambah; (8). Melaksanakan desentralisasi ekonomi dengan tetap menjaga kesimbangan fiskal; (9). Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam; dan (10). Mempercepat restrukturisasi perbankan.

Pada praktiknya, 10 Program Percepatan Pemulihan Ekonomi tersebut membuahkan hasil seperti yang diharapkan, bahkan boleh dikata melebihi dari yang diperkiraan sebelumnya.

Dari buku: “Rizal Ramli, Lokomotif Perubahan”, terungkap 10 Program tersebut membuat ekonomi pada tahun 2000 mampu tumbuh 4,8%. Angka ini jauh di atas perkiraan semula yang hanya 2-3%. Pada saat yang sama, defisit anggaran tercatat hanya 3,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, semula diperkirakan defisit akan membengkak hingga 4,8%. Inflasi juga relatif terkendali pada 9,3%.

Dari situ, stigma yang memandang Indonesia sebagai negara yang lelet karena pulih dari krisis paling buncit di kalangan Asean pun serta-merta pupus dengan sendirinya. Bayangkan, Malaysia dan Korea Selatan yang dianggap paling cemerlang pun, pada tahun 2000 ekonominya diprkirakan hanya tumbuh 3,8%. Sedangkan Thailand 3,6%. Bahkan Filipina hanya sedikit bergeser ke 2,8%. Kabar gembira juga datang dari angka-angka ekspor nasional, nilainya menyentuh US$62 Miliar. Dibandingkan dengan ekspor pada 1999 yang cuma US$48,7 Miliar, angka tersebut melambung hingga 27,4%.

Bukan cuma itu, Presiden Gus Dur melalui Rizal Ramli sebagai Menko Perekonomiannya itu mampu membuat ekspor sektor manufaktur juga terkerek 37%. Yang lebih dahsyat, pertumbuhan ekspor produk elektronik mampu terbang ke 109%. Perlu dicatat, lonjakan ekspor itu jauh lebih tinggi ketimbang yang pernah dicapai Indonesia pada masa pra-krisis. Prestasi ini pun berhasil mencetak surplus neraca perdagangan sebesar US$28,6 Miliar. Pundi-pundi negara alias cadangan devisa pun menggelembung menjadi US$29,4 Miliar.

Kinerja ekonomi makro yang cukup cemerlang itu diikuti perbaikan yang signifikan di sektor riil. Konsumsi listrik industri, misalnya, naik 8,5% dibandingkan dengan rata-rata 5% pada sebelum krisis. Padahal, saat itu PLN justru sedang rajin menggenjot tarif dasar listrik (TDL).

Tak hanya sampai di situ, tingkat penjualan eceran juga meningkat 17%. Bahkan penjualan sepeda motor, yang menjadi indikator daya beli  masyarakat kalangan menengah-bawah, melaju ke posisi 71%. Pada saat yang sama, sektor konstruksi tumbuh 8,3% setelah  jalan di tempat selama dua tahun. Perbaikan sektor riil juga mampu menyerap sejuta tenaga kerja baru.

Sehingga secara keseluruhan, meski Pemerintahan Presiden Gus Dur hanya berlangsung 21 bulan, namun 1o program yang dicanangkan Rizal Ramli ketika itu sangat jelas berhasil tertancap untuk kepentingan rakyat, dan sungguh telah membawa perubahan signifikan ke arah kemajuan yang positif.

Dan secara khusus, Rizal Ramli pada 10 Program Percepatan Pemulihan Ekonomi tersebut, pada point 5 dan 7 di atas, menekankan keseriusanannya agar Indonesia dapat betul-betul menghindari ketergantungan kepada IMF, yakni mengutamakan pemulihan ekonomi berlandaskan investasi daripada berlandaskan pinjaman, dan menjalankan privatisasi bernilai tambah.

Misalnya, ketika Rizal Ramli mampu menggaet (memunculkan dan mengadakan) Rp 5 Triliun tanpa melepas dan menjual saham Telkom-Indosat.

Pada saat itu, Pemerintahan Gus Dur-Megawati perlu dana banyak untuk menambal Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Jika mau mengikuti anjuran Dana Moneter Internasinal (IMF)-Bank Dunia (World Bank), caranya sangat gampang. Jual saham-saham BUMN yang bagus dan menguntungkan. Hasil penjualannya, dipakai untuk membiayai APBN. Sangat sederhana.

Tapi, jika privatisasi model IMF-Bank Dunia itu dijalankan, sebagaimana dilakukan di Rusia pada masa pemerintahan Boris Yeltsin pada tahun 1991-1999, ternyata arahnya berbelok dari privatisasi menjadi piratisasi alias perampokan. Istilah ini diungkapkan oleh Prof. Marshall Goldman dari Harvard University, Amerika Serikat.

Maklum (jika privatisasi model IMF-Bank Dunia itu dijalankan), aset negara (BUMN) itu kemudian dijual dengan harga sangat murah. Akibatnya raja-raja ekonomi baru bermunculan, yaitu mereka yang mampu dengan cepat menumpuk kekayaannya dengan memborong aset BUMN yang harganya supermurah. Penyebabnya tak lain karena valuasi aset negara itu terlalu rendah.

Sebagai Menko Perekonomian, Rizal Ramli ogah mengobral saham BUMN yang bagus seperti PT Telkom dan PT Indosat, yang sahamnya dikenal sebagai saham blue chips di Bursa Efek Jakarta. Apalagi keduanya sudah dual listing dengan mencatatkan sahamnya di pasar modal Nasdaq, Amerika.

Kalaupun privatisasi hendak dilakukan, Rizal lebih memilih cara menjual saham BUMN ke publik lewat mekanisme pasar modal. Dengan cara itu, para pemilik uang di dalam negeri, termasuk lembaga-lembaga keuangan nasional yang memiliki sumber dana berebih, berkesempatan membeli saham BUMN itu secara kompetitif.  Hal itulah yang dilakukan pemerintah Malaysia pada masa kepemimpinan Dr. Mahatthir Mohammad, sehingga kekuatan ekonomi nasional juga menjadi kokoh. Jadi, bukan dengan cara strategic sale, yang cenderung mengubah makna privatisasi menjadi sekadar asingisasi.

Privatisasi dengan pola strategic sale kerap dilakukan tidak transparan, cenderung dengan harga obral sehingga merugikan negara, dan jatuh ke pihak asing. “Saya tidak mau melakukan privatisasi ugal-ugalan seperti itu,” kata Rizal.

Selain itu, yang dilepas ke publik juga bukan BUMN pencetak duit, seperti Telkom dan Indosat, melainkan BUMN yang kinerjanya memble. Nah, dengan masuknya investor baru sebagai pemegang saham di BUMN itu, diharapkan akan memperbaiki manajemen dan kinerjanya.

Penjualan saham BUMN lewat pasar modal adalah cara yang konvensional. Ada langkah inovatif dan terobosan baru yang dilakukan Rizal Ramli untuk menggaet dana tanpa perlu melego selembar pun saham BUMN. Caranya, adalah dengan memisahkan kepemilikan silang dan manajemen silang antara PT Telkom dan Indosat.

Harap maklum, ketika itu Telkom dan Indosat memiliki puluhan anak perusahaan yang dimiliki dan dikelola bersama, antara lain, PT Telkomsel, PT Satelindo, dan PT Lintas Arta.

Dalam rapat tertutup ketika itu dengan Menteri Perhubungan Agum Gumelar, yang dihadiri segenap direksi dan komisaris kedua BUMN itu, Menko Perekonomian Rizal Ramli mencetuskan gagasan penghapusan cross ownership dan cross management.

“Pemerintah menghendaki, kepemilikan silang dan manajemen silang di anak-anak perusahaan PT Telkom dan Indosat diakhiri, sehingga akan tercipta kompetisi yang fair di antara kedua raksasa telekomunikasi Indonesia ini. Dengan demikian, rakyat sebagai konsumen akan lebih diuntungkan. Jadi, bukan terus-terusan mempraktikan kerjasama terselubung yang cenderung merugikan rakyat,” kata Rizal dalam bukunya tersebut, membeberkan alasan yang melatarbelakangi gagasan pemisahan kepemilikan saham kedua BUMN itu.

Menurutnya, kebijakan terobosan itu memiliki berbagai dampak positif sekaligus. Selain menghabisi kompetisi artifisial antara Telkom dan Indosat, kebijakan itu juga dimaksudkan sebagai persiapan kedua raksasa telekomunikasi domestik ini menghadapi tekanan liberalisasi telekomunikasi global yang akan tiba antara 5-10 tahun mendatang.

Yang lebih penting lagi, pemisahan kepemilikan silang itu juga bisa mendatangkan dana segar bagi keuangan negara sebesar Rp 5 triliun. Uang itu berasal dari pajak transaksi dan pajak revaluasi aset kedua BUMN. Bayangkan, mendapatkan dana ekstra Rp 5 Triliun tanpa kehilangan saham. Sungguh sebuah terobosan yang sangat tidak lazim, memang.

Bukan cuma masalah Telkom-Indosat. Pengalaman dan fakta yang lebih dahsyat juga pernah dilakukan oleh Rizal Ramli. Ketika itu ia juga mampu memberikan solusi jitu dalam mengatasi problem rush yang dialami Bank  Internasional Indonesia (BII) tanpa mengeluarkan uang negara satu sen pun.

Dari IMF dan Bank Dunia masuk dua usulan untuk menghentikan rush di BII. Pertama, merekapitalisasi ulang BII yang memerlukan suntikan dana segar Rp 4,2 triliun. Kedua, melikuidasi BII yang akan memakan biaya Rp 5 triliun – itu termasuk biaya untuk mengganti dana pihak ketiga dan biaya pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawan BII.

Bagi Rizal Ramli, alternatif pemecahan masalah yang disodorkan IMF-Bank Dunia sama-sama pahitnya. Secara pribadi, sebelum masuk ke gerbang pemerintahan Rizal Ramli paling tidak setuju dengan pola penyelesaian masalah yang gampangan seperti itu.

Apalagi kemudian terbukti, rekapitalisasi belasan bank yang diamputasi tahun 1998, membebani keuangan negara hingga Rp 600 Triliun. “Biaya penyelamatan bank yang dilakukan atas rekomendasi IMF-Bank Dunia itu merupakan yang terbesar di dunia. Dan itu pada akhirnya menjadi beban rakyat Indonesia,” ujarnya.

Nah, berdasarkan pengalaman itulah, Rizal Ramli menolak mentah-mentah usulan dari IMF-Bank Dunia untuk mengatasi problem yang membelit BII. Ia bertekad tidak akan menginjeksikan dana rekapitalisasi baru. Juga tidak menutup operasi BII.

Rizal Ramli pun mesti mencari jalan keluar yang berbeda ketimbang saran IMF-Bank Dunia. “BII kan bank yang bagus. Jaringan cabangnya luas, punya basis bisnis kartu kredit yang cukup besar, dan namanya juga cukup baik di mata nasabah,” ujarnya.

Persoalannya, bagaimana cara menyelamatkannya? Itulah yang terus dipikirkan Rizal Ramli. Solusi yang smart akhirnya ditemukan pada hari Sabtu. Lalu, Rizal Ramli pun mengundang Anwar Nasution, I Putu Gede Ary Suta, Kepala Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) Herwidayatmo, dan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe.

Dalam rapat itu, Rizal Ramli memaparkan gagasan penyelamatan BII dengan cara “membuat berita” seakan-akan Bank Mandiri men-take over BII. “Tapi, saya tidak mau Bank Mandiri mengeluarkan duit serupiah pun untuk menyelamatkan BII. Langkah ini kita ambil untuk buying time, mengulur waktu sehingga kepanikan nasabah BII tidak kian menjadi-jadi,” kata Rizal Ramli.

Caranya? Ini dia: Dirut Bank Mandiri ECW Neloe diminta mengadakan konferensi pers mengenai pengambilalihan kepemilikan BII oleh Bank Mandiri. Nah, jika publik tahu bank dengan aset paling besar di Indonesia itu berada di belakang BII, diharapkan para nasabah BII menjadi tenang, sehingga serbuan nasabah bisa diredam.

Maka, pada hari Senin tanggal 2 Juli, Dirut Bank Mandiri ECW Neloe kepada pers mengumumkan bahwa Bank Mandiri akan mengakuisisi BII. “Kemungkinannya, 70 hingga 80 persen Bank Mandiri akan mengakuisisi BII. Tapi, terlebih dulu akan dihitung harganya, kemudian tinggal tawar-menawar berapa harga yang pantas,” ujarnya.

Neloe mengungkapkan itu dalam jumpa pers bersama Rizal Ramli (ketika itu Rizal Ramli sudah menjabat Menteri Keuangan), Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution, Ketua Bapepam Herwidayatmo, dan Dirut BII Hiroshi Tadano. Jumpa pers dilangsungkan usai pertemuan yang berlangsung sejak pukul 13.00 hingga 19.00.

Para wartawan terus “mengejar” Neloe dengan berabagai pertanyaan tentang biaya yang akan dikeluarkan Bank Mandiri untuk mengambil oper BII, nasib pinjaman yang diberikan BII kepada Grup Sinar Mas sebesar Rp 12 triliun yang macet, dan kaitannya dengan rencana Bank Mandiri go publik pada Oktober tahun 2001. Semuanya dijawab dengan tangkas dan meyakinkan oleh Neloe.

Keesokan harinya, di kantor-kantor BII, hasil konferensi pers difo tokopi dan ditempel di papan pengumuman, sehingga semua nasabah yang datang ke semua kantor cabang dan cabang pembantu BII bisa mengetahui bahwa BII kini di-back up secara penuh oleh Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia. Nasabah pun menjadi tenang. Kepanikan langsung mereda. Bahkan para nasabah kembali menyimpan uangnya di BII, karena BII pun memberikan suku bunga ekstra 1-2 persen di atas suku bunga perbankan pada umumnya.

Direksi BII, dengan Dirut Harashi Tadano langsung diganti dengan bankir gemblengan Bank Mandiri, Cholil Hasan sebagai ketua Tim Pergelola, dibantu oleh Arman B. Arif (sebagai Wakil Ketua, eks Vice President Bank Danamon), Sukatmo Padmosukarso (juga dari Bank Mandiri) dan sejumlah bankir yang berasal dari BII sendiri.

Kepada jajaran Direksi baru BII, Rizal Ramli memberikan target waktu untuk membenahi BII hingga bisa segar bugar kembali. “Saya minta direksi baru bisa menyelesaikan problem yang dihadapi BII dalam waktu tiga bulan. Kalau tiga bulan tidak beres, bukan hanya Anda semua, saya juga harus lengser sebagai Menteri Keuangan dan mencari pekerjaan lain!” kata Rizal Ramli.

Jajaran direksi baru itu mampu membawa BII keluar dari krisis kepercayaan yang nyaris membuat bank ini tersungkur lagi hanya dalam tempo satu setengah bulan. Dengan solusi kebijakan inovatif yang digelar oleh Rizal Ramli, krisis BII bisa diredam tanpa menimpulkan efek domino kepada bank lain. Juga tanpa perlu merogoh kocek pemerintah sepeser pun! Sebuah terobosan yang jitu.

Bayangkan, jika pemerintah mengikuti saran IMF-Bank Dunia, keuangan negara tentu akan jebol antara Rp 4 – 5 triliun.Model penyelamatan yang dilakukan Rizal Ramli biayanya sangat murah. “Cuma keluar biaya PR (public relations),” kata Rizal Ramli sambil tersenyum.

“Yang penting kita bisa bergerak cepat menangkap core issue-nya. Lalu melakukan koordinasi untuk mengatasinya,” ujar Rizal Ramli dalam bukunya: ‘Rizal Ramli, Lokomotif Perubahan’ itu.

Dan inilah sejumlah kiat atau jurus yang telah dilakukan oleh Presiden Gus Dur melalui Menko Perekonomiannya Rizal Ramli, yang pada kenyataannya telah mampu menurunkan Utang Luar Negeri meski pemerintahannya hanya berlangsung begitu sangat singkat, yakni hanya sekitar 21 bulan.

Bagaimana dengan Pemerintahan Jokowi? Sejauh ini, secara fakta, Jokowi belum punya pengalaman sebagai Presiden. Saat ini Jokowi malah lebih patut disebut sebagai pemimpin yang baru belajar menjadi presiden. Bahkan jika melihat rekam jejak Jokowi ketika memimpin Jakarta, sepertinya urusan utang malah akan terus membengkak.

Bayangkan, hanya dalam tempo dua tahun saja, utang luar negeri provinsi DKI Jakarta sudah mencapai Rp35 triliun. Dana asing itu digunakan untuk membiayai berbagai megaproyek di Jakarta.

Jumlah tersebut tidak termasuk rencana utang baru sebesar 3,4 triliun yen untuk Rencana Induk Metropolitan Priority Area (MPA) hingga 2020.  yang bersumber dari Japan International Cooperation Agency (JICA) yang dikemas dengan Public Private Partnership (PPP). Tapi mari kita wait and see, apa yang bisa dilakukan oleh rezim yang sedang “memainkan Trikartu “ dengan menempatkan sejumlah menteri yang kental berbau neoliberalisme itu. Hmmm....???