Monday 10 November 2014

Ini “Subsidi BBM yang Pas” Menurut SBY?


(AMS, reportase)
PEMERINTAH setidaknya menghabiskan anggaran negara sekitar Rp350 hingga Rp400 Triliun setiap tahunnya hanya untuk subsidi energi, yakni subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan subsidi listrik.

Sayangnya, selama ini subsidi energi tersebut (khususnya BBM) tidaklah tepat sasaran. Artinya, subsidi yang sedianya diarahkan untuk masyarakat bawah (golongan miskin) itu ternyata lebih banyak dinikmati oleh golongan masyarakat ekonomi menengah ke atas.

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) era Presiden SBY, Jero Wacik mengaku pernah meneliti, bahwa subsidi energi seperti BBM sebanyak 77 persen dinikmati masyarakat menengah ke atas dan kaya.
“Mereka (yang 77 persen tersebut) tidak berhak mendapat subsidi. Orang punya mobil itu sudah mulai masuk kelas menengah. Kalau baru sepeda motor itu belum mampu dan hampir mampu wajib disubsidi. Mobil itu kategori mampu walaupun cicilan juga,” ujar Jero saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (5/8/2014).

Mengamati uraian di atas, ada dua hal yang menjadi titik masalah. Yakni pertama, betapa besarnya anggaran subsidi BBM yang harus disediakan negara dalam setahun, dan kedua adalah subsidi BBM tersebut 77 persen dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas atau kaya.

Pemerintah yang tidak kreatif (malas) tentu hanya punya satu cara untuk mengatasi dua titik masalah dari subsidi BBM tersebut,  yakni dengan mencabut (menaikkan) harga subsidi BBM. Tipe pemerintah seperti ini, selain tidak kreatif, juga hampir dipastikan adalah termasuk tipe pemerintah yang menganut neoliberalisme.

Presiden RI ke-6, SBY menyebutkan, pemerintahan yang neolib tidak suka ada subsidi. “Sebenarnya persoalan subsidi ini selalu dihadapi dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya, bukan hanya pemerintahan ini. Memang, bagi negara yang anut sistem ekonomi yang sangat kapitalistik atau yang yang rakyat sebut neolib begitu, subsidi ini tidak disukai,” kata SBY dalam wawancara eksklusif di Youtube, Jumat (29/8/2014).

SBY kemudian memaparkan, dirinya berpendapat lain dengan pemerintahan yang ia sebut neolib tersebut. Ia menilai dan menegaskan, bahwa untuk Indonesia masih dibutuhkan subsidi.

Untuk Indonesia, mengingat masih banyak yang miskin dan daya beli rendah, kalau subsidi itu betul-betul untuk menolong rakyat, jumlah tidak berlebihan dan tepat sasaran, saya kira tidak keliru, ini yang kita jaga betul, subsidi yang pas,” urai SBY.

Subsidi yang pas sebagaimana yang dikatakan SBY di atas nampaknya telah berhasil digali dan diterjemahkan oleh Rizal Ramli dalam sebuah bentuk ide dan gagasan sebagai jalan tengah untuk mengatasi persoalan subsidi BBM tersebut.

Sebagai sosok yang konsisten menegakkan ekonomi kerakyatan, Rizal Ramli menuturkan, mengatasi masalah BBM tidak mesti harus dengan mencabut atau menaikkan subsidi. Sebab, menurut Rizal, subsidi BBM masih sangat dibutuhkan oleh rakyat miskin. Hanya saja ia menyarankan agar BBM bisa dilakukan dengan tepat sasaran, maka BBM tersebut perlu dibagi dua jenis.

Jenis pertama, adalah BBM rakyat yang saat ini beroktan 88 segera diubah menjadi beroktan 80-83. Dan jenis kedua, adalah BBM super dengan oktan 92 untuk jenis pertamax dan Pertamax Plus beroktan 94.

Untuk diketahui, nilai oktan berhubungan dengan “ketukan” (knocking) yang mempengaruhi sistem kinerja mesin. Semakin rendah nilai oktan yang bekerja dalam mesin akan lebih sering mengalami ketukan, demikian sebaliknya.

Dari perbedaan oktan tersebut tentunya akan membuat pengendara (pemilik) mobil menengah atas takut menggunakan BBM rakyat. Sebab pasti mereka tidak ingin cara kerja mesin mobilnya menjadi menurun dan dapat mempercepat kerusakan mesin hingga memaksa harus mengeluarkan biaya perbaikan mesin mobil yang lebih mahal.

Guna meringankan beban ekonomi rakyat, Rizal Ramli mengimbau agar harga BBM rakyat hendaknya tidak dinaikkan atau tetap Rp 6.500 per liter. “Ini menyangkut nasib sekitar 100 juta penduduk miskin yang terdiri atas para pengguna sepeda motor, nelayan, dan pengemudi angkutan umum,” ujar Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini.

Ekonom senior ini memastikan gagasannya berupa pembagian dua jenis BBM ini bisa diterapkan di lapangan. Termasuk, katanya, untuk menangkal kelompok menengah atas yang bandel dengan tetap membeli BBM rakyat harus ditempuh beberapa langkah penerapannya.

Pertama, harus diberi tanda warna pembeda yang mencolok terhadap kedua jenis BBM tersebut. Misalnya, warna biru untuk BBM rakyat, dan BBM super berwarna merah.  Dan cara ini bisa dilakukan pada tangki dan dispenser di setiap SPBU, serta diikuti perbedaan harga dan spesifikasi produk sebagai petunjuk pelaksanaan dari prinsip subsidi silang.

Rizal Ramli menggambarkan, pada 2013 Kementerian ESDM menyatakan harga keekonomian BBM Rp 8.400 per liter. Itu artinya pemerintah harus mensubsidi Rp 1.900 per liter. Tapi dari hasil penjualan BBM super, pemerintah untung Rp 4.100 per liter.

Ia juga menguraikan, dari data BPH Migas tahun 2013, kelompok menengah bawah mengkonsumsi sekitar 55 persen. Dengan kuota BBM tahun 2015 yang 50 juta kilo liter (kl), maka jatah mereka mencapai 27,5 juta kl. Sedangkan sisanya yang 45 persen atau sekitar 22,5 juta kl dikonsumsi kalangan menengah atas. BBM super ini dijual seharga Rp 14.000 per liter.

Dari simulasi di atas, menurut Rizal Ramli, pemerintah memang harus menyubsidi BBM rakyat sebesar 27,5 juta kl x Rp1.900 = Rp52,25 Triliun. Namun pada saat yang sama, pemerintah meraih laba dari penjualan BBM super yang 22,5 juta kl x Rp4.100 = Rp92,25 Triliun. “Dengan begitu, pemerintah masih mengantongi selisih positif sebesar Rp40 Triliun per tahun,” katanya.

Sebelumnya, RAPBN 2015 dibayang-bayangi jebol karena subsidi BBM yang mencapai Rp363,5 Triliun. Namun dengan solusi yang ditawarkan Rizal Ramli ini bisa menyulap subsidi BBM yang selama ini sebagai momok bagi APBN menjadi keuntungan yang menggiurkan. Yakni, cukup dengan cara sederhana yang dikemukakan Rizal Ramli, pemerintah pun (bisa) mengantongi surplus sebesar Rp40 Triliun.

Selain dengan melakukan pembagian dua jenis BBM, Rizal Ramli juga memiliki gagasan lain sebagai upaya mengelolah kedaulatan ekonomi bangsa melalui solusi tepat dalam mengatasi masalah BBM ini.

Gagasan Rizal Ramli itu antara lain. Pertama, Pemerintahan Jokowi-JK harus berani memberantas mafia migas yang telah merugikan negara minimal US$1 Miliar tiap tahun.

Kedua, pemerintah baru sebaiknya segera membangun tiga kilang baru masing-masing berkapasitas 200.000 barel. Langkah dan terobosan ini, menurut hitung-hitungan Rizal Ramli, adalah dapat menghemat biaya pengadaan BBM hingga 50 persen.

Ketiga, menurut Rizal Ramli selaku ekonom senior ini, pemerintahan Jokowi-JK diharapkan mampu meningkatkan efisiensi produksi BBM dengan cara menekan cost-recovery yang saat ini mencapai US$32 Miliar per tahun. “Tidak masuk akal lifting turun 40 persen, tapi cost-recovery justru naik hingga 200 persen,” lontar Rizal Ramli geleng-geleng kepala.

Menurut tokoh yang selalu tampil menolak kenaikan BBM ini, dengan menekan 20 persen cost recovery saja berarti terjadi penghematan sekitar Rp.60 Triliun.

Dan yang keempat, Rizal Ramli berharap agar pemerintahan Jokowi-JK dapat menata dan memperbaiki iklim usaha di sektor migas, khususnya di bidang eksplorasi, sudah banyak konsesi yang dibagi-bagi secara tidak transparan dan lebih cenderung hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu secara monopoli.

Rizal Ramli berpandangan, sejauh ini relatif tidak tidak ada kegiatan eksplorasi baru. “Hal ini disebabkan belum apa-apa pengusaha sudah dikenai pajak,” lontarnya.

Seharusnya, kata anggota panel ekonomi di badan dunia (PBB) ini, pajak hendaknya baru diberlakukan jika menghasilkan minyak. “Tidak mengherankan bila iklim bisnis migas di Indonesia termasuk yang paling buruk di dunia,” katanya.

Kelima, lanjut Rizal Ramli, benahi birokrasinya. Sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), BP Migas harus dibubarkan. Karena itu harus dibentuk badan baru yang transparan, efisien dan bersih dari KKN.

Serta yang keenam, Rizal Ramli menaruh harapan agar Pemerintahan Jokowi-JK dapat mendorong diversifikasi energi dari fosil ke sumber-sumber energi terbarukan. Antara lain gas, angin, hidro, geothermal, matahari dan lainnya.