(AMS, opini)
DIBAWA pimpinan Cornelius De Houtman pada tahun 1552, armada Belanda berhasil merapat dan mendarat di Nusantara melalui pelabuhan di Banten.
Sebelumnya, tahun 1511 Portugis dibawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque berhasil menguasai Malaka. Selanjutnya Alfonso mengirim ekspedisi ke Ternate dan Tidore. Setahun kemudian, Portugis berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Hal ini diperkuat dengan dibangunnya Benteng Saint John di Ternate. Namun 1512, kapal dagang Spanyol juga berhasil berlabuh di Tidore, Maluku.
Awalnya, kedatangan Bangsa Eropa tersebut bisa diterima oleh warga setempat karena salah satu alasannya adalah untuk melakukan perdagangan. Namun tak lama kemudian mereka pun “tergiur”, lalu berambisi dan bernafsu ingin memiliki dan menguasai Indonesia karena kekayaan alamnya yang begitu amat melimpah.
Akhirnya, Bangsa Eropa yang ada di Indonesia ketika itu pun saling berebutan wilayah, sehingga peperangan dan gencatan senjata pun tak bisa dihindari. Peperangan terus berkecamuk dari tahun ke tahun dan dari abad ke abad. Hingga kemudian, melalui perjuangan yang tak putus-putusnya disertai pertumpahan darah sebagai wujud pengorbanan jiwa dan raga, Indonesia akhirnya berhasil merebut dan menyatakan Kemerdekaannya sebagai negara berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945.
Tetapi setelah itu, 17 Agustus dari tahun ke tahun yang diperingati hingga saat ini, makin terasa, bahwa sesungguhnya seakan tak lebih hanyalah sebuah pelaksanaan upacara pengibaran bendera yang hari ini serentak digelar di sekolah-sekolah, di kantor-kantoran, dan pula tentunya di istana negara serta di tempat-tempat lainnya yang telah ditentukan.
Sehingga, tanggal 17 Agustus dari tahun ke tahun selama ini rasa-rasanya bukanlah sebagai hari “tanda” Kemerdekaan Indonesia, tetapi hanyalah seakan merupakan hari peringatan Pembacaan Naskah Proklamasi Kemerdekaan belaka.
Kalau pun hari ini (17 Agustus) disebut hari peringatan Kemerdekaan Indonesia, maka kemerdekaan yang dimaksud pada hari ini makin terasa adalah merdeka dalam arti leluasa dengan sekehendak hati melakukan hal-hal untuk kepentingan dan keuntungan kelompok-kelompok tertentu saja; merdeka dan bebas melakukan pembiaran perpecahan antarasuku, agama dan ras; merdeka dan bebas melahap uang rakyat; merdeka dan bebas menyampaikan “pidato” yang meski tak sesuai dengan fakta di lapangan; dan yang lebih parah adalah merdeka dan leluasa melakukan persekongkolan dengan negara asing dalam menggarap dan menguasai kekayaan alam Indonesia.
Tengok saja, luas keseluruhan yang telah dikuasai dan dikontrol oleh negara luar melalui penggarapan dan pengerukan kekayaan alam Indonesia telah mencapai 178 juta hektar. Padahal luas daratan Indonesia adalah 195 juta hektar. Sehingga mengetahui hal ini, maka sesungguhnya kemerdekaan yang dicapai dengan susah payah ini hanya dinikmati lebih banyak oleh negara asing yang telah menanamkan investasinya dalam jumlah yang sangat besar.
Dan sesungguhnya para penjajah sudah sangat menyadari, bahwa Indonesia tak bisa dikuasai melalui gencatan senjata di medan pertempuran. Sehingga itu, beberapa tahun berselang sejak Bung Karno dan Bung Hatta usai membaca Teks Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, negara-negara imperialis justru merasa tak ragu bisa menguasai Indonesia dengan cara lain. Para penjajah melihat kelemahan Indonesia sangat lebar, para penjajah memandang Indonesia merdeka dengan mental yang rapuh. Yakni mudah dibujuk dengan materi dan gampang dijinakkan dengan sanjungan dan penghargaan.
Kinerja para pemimpin di negeri ini nampaknya mandul, gambaran kemajuan hanya tergambar berupa data di atas kertas. Rakyat di negara yang subur ini terlanjur lebih berbakat mengejar dan mengharap subsidi yang hanya bernilai recehan, sementara negara-negara asing dengan keahliannya telah mampu memboyong limpahan harta dan kekayaan Indonesia untuk kemajuan negaranya.
Selain sebagai kritikan, artikel ini juga hanyalah peringatan kembali untuk bisa introspeksi diri. Artikel ini yang jelas bukan sebuah keluhan atau curhat yang biasa dilakukan oleh pemimpin di negeri ini. Semoga Bangsa Indonesia bisa terbebas dari segala bentuk penjajahan di muka bumi ini.
———-
Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 68 tahun. Bangkitlah Bangsa Indonesia… Lawan penjajah versi baru seperti yang terjadi saat ini dengan memperbaiki mental dan akhlaq kita masing-masing..!!! Jika tidak, maka kita memang tetap Merdeka, tetapi Merdeka dan bebas dinikmati penjajah. Yakni bagai raga yang berjalan namun tak berjiwa.