Monday 7 December 2015

Dalang Masalah Freeport adalah JK?


(AMS, Artikel)
SITUASI gaduh tingkat tinggi sedang terjadi di negeri ini. Di mana hampir seluruh rakyat Indonesia kini perhatiannya tertuju kepada pertentangan antara Menteri ESDM Sudirman Said (SS) vs Ketua DPR Setya Novanto (SN).

SN yang dinilai telah melakukan sebuah pelanggaran, membuat SS kemudian melaporkan SN ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Secara etika, orang-orang (termasuk saya) tentu sangat menyalahkan SN. Sebab, SN dengan sebuah bukti rekaman percakapan (audio) telah sangat jelas terlibat dalam pembicaraan “bisnis”, meski memang kemudian tudingan SS yang menyebut SN telah meminta saham, tidak terbukti.

Namun meski begitu, pembicaraan (bisnis) seperti itu dengan atribut sebagai ketua DPR tentulah sangat tidak etis dilakukan oleh seorang SN. Dan dari situ SN memang sudah selayaknya diberi sanksi sebagai seorang Ketua DPR yang tidak beretika.

Dan saya yakin, di pikiran seluruh anggota MKD juga sudah bisa memastikan bahwa SN sebetulnya melanggar etika. Namun nampaknya, di kedalaman hati yang paling dalam sebagian besar anggota MKD merasakan ada masalah yang lebih “fatal” dibanding pelanggaran etika tersebut, yang tentunya sangat perlu untuk segera digali. Dan masalah “fatal” inilah sesungguhnya yang sedang coba “dikejar” oleh sebagian besar anggota MKD, yakni terkait persoalan PT. Freeport Indonesia.

Masalah “fatal” seperti apakah gerangan?

Begini. Sebagian besar anggota MKD terpaksa harus geram dan memperlihatkan giginya dengan menempatkan SS sebagai pengadu menjadi seolah-olah terdakwa, hal itu sebenarnya tidaklah keliru. 

Sebab, para anggota MKD tersebut sebetulnya juga ingin mencoba menegakkan kehormatannya terhadap ulah SS yang dinilai juga telah melecehkan (melanggar) UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba.

Artinya, di benak sebagian besar anggota MKD menilai SS seolah-olah bagai malaikat yang serta-merta melaporkan SN kaitan masalah etika, padahal di sisi lain etika dan moral SS sangat fatal karena Undang-Undang yang telah dibuat oleh dewan, bahkan UUD 1945, seenaknya diinjak-injak (tidak dihormati) oleh SS. Sehingga tak keliru jika SS disebut sebagai salah satu sosok antek asing karena semangatnya membela Freeport sangat lebih besar dibanding membela kepentingan Kemandirian bangsa Indonesia.

Dalam kasus tersebut, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD juga angkat bicara. Ia menduga tidak hanya Setya Novanto yang melakukan pelanggaran etik dan hukum. Tapi Sudirman Said selaku Menteri ESDM juga sama-sama melakukan pelanggaran etika dan hukum.

“Saya menduga Sudirman dan Novanto sama-sama melakukan kesalahan fatal,” lontar Mahfud dalam diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) tvOne, Selasa malam (1/12/2015).

Mahfud menuturkan, kesalahan fatal yang dilakukan Sudirman Said dalam kapasitasnya selaku Menteri ESDM adalah saat merespons surat PT. Freeport Indonesia pada 7 Oktober 2015, yang isinya akan langsung memperpanjang kontrak PT Freeport begitu Undang-Undang Mineral dan Batubara direvisi.

"Artinya apa? Itu dia sudah menjamin akan merevisi dan revisinya pasti memperpanjang. Padahal kalau dia bener, kalaupun harus kirim surat karena sopan santun harusnya mengatakan akan diperpanjang kalau nanti Undang-Undangnya memungkinkan untuk itu. (Tapi) ini (SS) kan langsung menjamin. Selain melanggar hukum, juga melanggar etika pemerintahan,” ujar Mahfud.

Dalam etika ketatanegaraan, jelas Mahfud, untuk merevisi suatu peraturan perundang-undangan perlu berkoordinasi dengan lintas kementerian/lembaga, seperti Sekretariat Negara, Kementerian Hukum dan HAM dan lain sebagainya. 

“Dimana etikanya? Dia (Sudirman) buat surat seperti itu dan mengagetkan banyak orang, dan itu juga yang diumumkan Direktur Freeport tanggal 11 Oktober, yang mengatakan kami sudah dapat jaminan dari pemerintah bahwa (kontrak) kami akan diperpanjang,” tutur Mahfud.

Kemudian, Sudirman Said juga diduga melakukan pelanggaran hukum karena telah memerintahkan ekspor konsentrat, yang jelas-jelas melanggar Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU tersebut melarang ekspor konsentrat, dan harus dimurnikan dulu sebelum diekspor.

"Dia (Sudirman) malah memperbanyak untuk Freeport, yang perusahaan lain enggak boleh. Ini pelanggaran besar dalam dugaan. Tentu kalau diperiksa dia harus jelaskan kenapa ini dilakukan,” kata Mahfud seraya menambahkan, bahwa apa yang dilakukan Sudirman juga ada pelanggaran etika dan hukum, dalam dugaan yang sangat kuat.

Orang Papua bahkan mengaku marah dan sangat jengkel dengan sikap SS. Pasalnya, pada september 2015 yang lalu SS bersama  dua menteri serta beberapa pimpinan perusahaan BUMN pernah mengunjungi Freeport secara diam-diam tanpa diketahui oleh Pemda Papua dan Pemda Mimika. Tidak adanya kordinasi ini mengagetkan pemda setempat sekaligus membuat berang Gubernur Papua, Lukas Enembe.

Apa yang diungkapkan Mahfud MD di atas nampak sekali menunjukkan, bahwa SS dan SN adalah pihak yang sama-sama diduga kuat telah melakukan pelanggaran. SN adalah pelanggaran etika, tapi SS selain melanggar etika juga diduga kuat telah melanggar UU, bahkan UUD 1945.

Olehnya itu, banyak pihak yang merasa lucu alias jengkel dengan sosok SS yang nekat melakukan pelanggaran namun juga sangat bernyali melaporkan SN. Artinya, SS yang dinilai sudah menginjak-injak produk dewan (UU) namun kemudian pada momen lain SS pula yang melaporkan etika seorang dewan. Dan “ulah” SS yang seolah tidak bercermin pada diri sendiri inilah yang membuat sebagian anggota MKD menjadi geram.

Lalu apa yang membuat SS begitu nampak berani melanggar UU minerba dan melaporkan SN?

Sebetulnya jawaban pertanyaan tersebut sudah ada di benak setiap orang yang paham dengan kondisi pemerintahan saat ini. Termasuk Menko Kemaritiman dan Sumberdaya, Rizal Ramli.

Ya, Rizal Ramli adalah orang pertama yang memberi peringatan kepada SS agar tidak seenaknya melakukan perpanjangan kontrak karya PT. Freeport. Namun karena SS mungkin merasa di-bekingi oleh Wapres Jusuf Kalla (JK) sehingga peringatan Menko Rizal Ramli pun dimentahkannya.

Keberanian SS ini nampaknya beti (beda-beda tipis) dengan keberanian yang pernah dipamerkan oleh RJ. Lino saat dilakukan penggerebekan di kantornya. Yakni sebuah keberanian yang spontan muncul karena merasa memiliki beking kuat.

Coba diamati, saat ini JK malah sangat getol membela SS, dan di sisi lain sangat menyudutkan SN.

Tanpa JK, apakah SS bisa seberani itu? Dan inilah lontaran pertanyaan yang bernada ungkapan yang juga kini berani diungkapkan oleh sejumlah masyarakat di lapisan bawah.

Jika memang SS berani karena di-bekingi oleh JK, maka boleh jadi SS hanya menjadi orang yang dimanfaatkan guna memuluskan kepentingan besar JK. Jika demikian, maka tak salah apabila di pikiran banyak pihak saat ini terarah pada diri JK, yakni jangan-jangan dalang masalah Freeport ini adalah JK?

Boleh jadi memang begitu. Sebab orang-orang sudah mulai menghubung-hubungkan antara satu dengan lainnya. Misalnya, JK adalah seorang penguasa berjiwa saudagar (pengusaha) asal Bugis. Sementara terdapat dua petinggi di Freeport yang juga se-daerah dengan JK, yakni Maroef Sjamsoeddin yang lahir di Makassar, dan resmi menjabat sebagai Presiden Direktur Freeport pada 7 Januari 2015. Dan juga ada Andi Mattalata.

Tanggal 9 Juni 2010, mantan menteri Menkumham (era SBY-JK) Andi Mattalatta resmi menjadi komisaris PT. Freeport Indonesia sampai saat ini (2015). Andi Matalatta juga adalah termasuk sesepuh Golkar, lahir di Bone Sulawesi Selatan, sekampung dengan JK.

Juga dengan hubungan  atau kaitan lainnya. Yakni, di saat MKD masih secara saksama “mendalami” masalah SS vs SN tersebut, Kejaksaan Agung (Kejagung) mendadak memanggil Maroef Sjamsoeddin tengah malam dengan alasan untuk diperiksa.

Tak sedikit orang pun menilai pemanggilan Maroef Sjamsoeddin pada saat tengah malam itu sangat aneh bin ajaib. Sehingganya orang-orang pun kemudian mencari sebuah “kewajaran” dengan menghubung-hubungkan bahwa memang partai yang paling getol mengajukan JK sebagai Cawapres ketika jelang Pilpres adalah NasDem. Tahu kan partai apa yang saat ini menguasai Kejagung?

“Kejagung aneh, masa ada (presdir) PT Freeport ke Jaksa Agung malam-malam, itu tidak lazim dan itu ada konspirasi, jam 12 lewat seperti ada kedaruratan, seperti ada yang luar biasa,” ujar Fadli Zon di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/12).

Dan kini, saya lebih mendukung MKD untuk sebisa-bisanya selain memberi sanksi berat kepada SN, juga hendaknya tidak tinggal diam untuk segera mengambil sikap tegas terhadap ulah SS yang disebut oleh Mahfud juga dengan fatal telah melakukan pelanggaran etika dan UU.

Bukan cuma itu, para anggota MKD (dan jika perlu para anggota DPR lainnya) agar segera bersatu membuktikan pandangan Menko Rizal Ramli bahwa peseteruan SS vs SN di MKD saat ini adalah sebuah “Pertarungan antar geng” dalam memperebutkan “kue” di Freeport.

Pertarungan antar geng itu juga bahkan diidentikkan oleh Menko Rizal Ramli bak kelakuan Komodo di mana politisi sekarang sepertinya sedang melakukan JK (Jurus Komodo). “Komodo, binatang purba, saling santap antar kawan. Bak kelakuan elit. Semuanya mau disantap. Hentikan Politisi Komodo agar RI bisa makmur,” tulis Rizal Ramli dalam akun Twitter-nya.

Olehnya itu, DPR harus memanfaatkan momentum perseteruan SS vs SN ini untuk dapat mengusut tuntas siapa dalang yang punya nafsu dan kepentingan di balik semua itu! Dan dugaan kuat untuk sementara ini tentang siapa dalangnya adalah sepertinya memang terarah kepada sosok yang pernah mengatakan bahwa bisa hancur negeri ini jika Jokowi menjadi Capres.
----------

ARTIKEL TERKAIT:
1. Indonesia Fatal Jika Jokowi Tak Mampu Lepaskan Diri Dari Cengkeraman JK?

2. “Syahwat” Bisnis JK yang Bikin Reformasi Jadi Mandul?