(AMS, Opini)
MESKI hanya sebagai aktivis penegak kedaulatan rakyat yang selama ini berada di lapisan paling bawah, tetapi saya tentu tak ingin kedaulatan serta hak-hak rakyat dikhianati dan dirampas oleh bajingan (termasuk koruptor) yang berlindung di ketiak pemerintah.
Olehnya itu, saya beserta kawan-kawan aktivis lainnya sudah pasti akan selalu melakukan perlawanan, minimal memberikan pencerahan agar Rakyat Indonesia bisa senantiasa sadar, bahwa sesungguhnya sejak dulu (dan hingga kini pun) kita masih “berperang” dengan korupsi.
Artinya, kita memang harus selalu menyatakan “perang” dengan korupsi. Sebab, selain menyengsarakan rakyat, para pegiat korupsi (koruptor) juga bisa MEMBELI HUKUM di negeri ini dan bahkan bisa MEMESAN ATURAN di tingkat legislatif. Sehingga itu, konflik KPK Vs POLRI tak bisa dipandang remeh! Dan tentu kita akan bertanya-tanya, mengapa konflik ini bisa terjadi?
Jika dicermati, konflik KPK Vs POLRI sebetulnya tak bisa kita anggap sepenuhnya sebagai murni persoalan hukum. Ada kekuatan yang sepertinya ingin mengobrak-abrik KPK dengan memanfaatkan dan membenturkan POLRI dengan KPK itu sendiri.
Dari kronologisnya, dapat kita lihat penyebab meledaknya konflik KPK-POLRI adalah nampaknya bermula karena adanya sikap pemerintah yang terkesan memaksakan diri dalam memajukan Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kapolri.
Disebut atau dinilai terdapat pemaksaan, karena sebelumnya nama BG ternyata sudah pernah diusulkan atau diajukan oleh Presiden Jokowi untuk menjadi menteri. Namun kala itu, yang bersangkutan tidak lulus karena diberi rapor merah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Calon Kapolri sekarang (BG) pernah diusulkan menjadi menteri. Tetapi pada waktu pengecekan info di PPATK & KPK, yang bersangkutan mendapat rapor merah alias tidak lulus,” ujar Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, melalui twitternya @YunusHusein, Ahad, 11 Januari 2015.
Jauh hari, BG memang sudah dimasukkan dalam daftar perwira tinggi polisi yang memiliki rekening gendut. Dan berdasarkan laporan PPATK, BG memang diketahui memiliki rekening senilai Rp.54 Miliar dan melakukan transaksi di luar profilnya.
Namun belakangan, entah desakan atau bisikan dari siapa, Presiden Jokowi malah kembali mengajukan BG (mantan ajudan Megawati Soekarnoputri itu) sebagai calon tunggal Kapolri. Dan di sinilah nampaknya yang kemudian dijadikan tanda tanya besar di hadapan publik.
Sehingga membuat orang-orang pun tak habis pikir: bahwa setelah diberi rapor merah, kenapa juga presiden mau-maunya mengajukan kembali BG sebagai calon Kapolri? Apa iya Presiden Jokowi mau memberikan kedudukan yang amat strategis di pemerintahan kepada seseorang sudah diberi rapor merah? Tidakkah ini salah satunya sama dengan memberikan “zona nyaman” kepada para koruptor? Inilah kejanggalan pertama.
Kemudian, karena Presiden Jokowi tetap mengajukan BG sebagai calon tunggal Kapolri, maka dengan tegas KPK pun akhirnya menetapkan BG sebagai tersangka. Dalam hal ini, saya percaya, bahwa KPK menetapkan BG sebagai tersangka bukan karena adanya dorongan politik atau unsur balas dendam dan lain sebaginya. Tidak sama sekali!
Bahkan sebaliknya, saya melihat, bahwa dijadikannya BG sebagai tersangka adalah merupakan wujud dukungan KPK agar Presiden Jokowi bisa benar-benar menjalankan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Sebab, apa iya, KPK hanya diam ketika seseorang yang ingin dimasukkan dalam pemerintahan terindikasi melakukan tindak pidana korupsi?
Sayangnya, status tersangka terhadap diri BG tidak membuat Presiden Jokowi menghentikan proses pencalonan BG. Presiden malah tetap memasukkan surat ke meja Komisi III DPR agar segera melakukan fit and proper test terhadap BG, lalu buru-buru menghentikan Sutarman sebagai Kapolri di saat Sutarman masih berstatus aktif hingga Oktober 2015 sebagai anggota POLRI.
Dan sebagai kejanggalan kedua yang sangat sulit diterima secara akal sehat, yakni di saat BG sudah diketahui sebagai tersangka, Komisi III DPR juga malah menyatakan BG lolos dalam fit and proper test sehingga layak untuk dilantik sebagai Kapolri.
Kejanggalan ketiga adalah ditangkapnya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) secara mendadak dengan cara dicegat di tengah jalan oleh Bareskrim Mabes Polri. Dan oleh sejumlah kalangan menilai penangkapan terhadap BW tersebut adalah merupakan reaksi balas dendam POLRI terhadap KPK.
Namun apapun nama dan istilahnya, dengan adanya konflik KPK Vs POLRI setidaknya patut diwaspadai. Sebab, kejanggalan yang mengikuti konflik ini bisa jadi adalah merupakan upaya dari pihak tertentu untuk menciptakan “zona nyaman” buat para koruptor.
Selain itu, konflik KPK Vs POLRI ini juga boleh jadi sedang dimanfaatkan atau ditunggangi oleh para pegiat korupsi agar kedua lembaga hukum ini tetap berseteru dan saling melemahkan satu sama lain, yang pada akhirnya upaya pemberantasan korupsi pun menjadi ciut dan mandul. Dan pada titik ini, koruptor pun bisa mengibarkan bendera satu tiang penuh kemerdekaannya.
Upaya pelemahan KPK juga berasal dari sejumlah pengamat dan praktisi hukum serta segelintir pakar hukum tata negara yang melihat konflik KPK Vs POLRI secara dangkal. Yakni mereka bersikukuh agar BG tetap harus dilantik sebagai Kapolri meski berstatus sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Alasannya karena proses dan prosedurnya sudah sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku.
Dalam konteks ini, jika hanya alasan seperti itu yang menjadi pertimbangan, maka negara kita salah menafsirkan hukum sebagai panglima.
Sebab, dalam konteks ini, yang menjadi pertimbangan bukan hanya legalitas formalnya, tetapi tentu harus diikuti dengan nilai-nilai etika moral yang melandasi hukum itu sendiri.
Jika hanya legalitas formalnya yang dikedepankan, maka hukum kita bisa menjadi sangat “murahan”, karena bukankah selama ini legalitas formal hingga pada tahap implementasinya bisa diperjual-belikan? Kita memang harus berdasar pada hukum, tetapi tanpa nilai kepatutan seperti etika, kesusilaan dan moral, maka hukum hanya ibarat menjadi bangkai tanpa roh.
Dan mengenai norma kesusilaan, kepatutan yang harus seiring dengan norma hukum dapat dilihat dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Bebas KKN, yakni pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, ayat 6 yang menyebutkan: “Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelengara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.”
Olehnya itu, khusus dalam persoalan pengajuan calon pejabat negara (misalnya BG), yang meski dinilai sudah sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku, namun bila yang bersangkutan dipandang tidak memenuhi nilai-nilai kepatutan yang termasuk di dalamnya adalah nilai kesusilaan dan nilai etika serta moral, maka calon pejabat bersangkutan tak elok untuk dilantik apalagi diambil sumpahnya sebagai pejabat penyelenggara negara yang bebas KKN.
Saya sepakat dengan Dr. Rizal Ramli dalam twitternya yang menyatakan, bahwa rasa keadilan saat ini juga dikoyak dengan kasus Polri Vs KPK. Di mana, menurutnya, etika publik dan misi anti-KKN diabaikan demi pertimbangan prosedur.
Sehingga itu, jika seseorang yang telah dinyatakan tersangka tindak pidana korupsi tetap juga dipaksakan untuk dilantik sebagai pejabat negara dengan alasan sudah memenuhi pertimbangan prosedur, maka saya yakin para koruptor di negeri ini tetap berada di “zona nyaman”.
Artinya, jika seseorang yang sebelumnya sudah dinyatakan tersangka tindak pidana korupsi lalu dilantik menjadi Kapolri atau mungkin menjadi Jaksa Agung, maka para koruptor BLBI, Century, dan lain sebagainya bisa dipastikan akan mendapat jamin rasa nyaman, dan bahkan akan semakin leluasa melahap uang rakyat secara aman dan terkendali.
Olehnya itu, kita semua hendaknya harus berusaha agar sebisa mungkin untuk tetap melakukan Save KPK dan Save POLRI demi Save Indonesia. Yakni dengan tidak memberi kesempatan ruang dan waktu sedikit pun kepada semua oknum dari pihak dan lembaga mana pun untuk menduduki jabatan strategis di negeri ini.