(AMS, Reportase)
PROTON sebagai produsen mobil nasional made in Malaysia kini resmi “dirangkul” oleh Pemerintah Indonesia untuk bekerjasama dalam memproduksi mobil nasional (mobnas) Indonesia.
Dalam kunjungan kerjanya di negeri Jiran itu, Presiden RI Joko Widodo didampingi Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, menyaksikan langsung AM Hendropriyono selaku CEO PT Adiperkasa Citra Lestari melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Proton Malaysia, di Kuala Lumpur, Jumat (6/2/2015).
Dari situ, Presiden Jokowi pun mendapat kritik dan protes dari berbagai kalangan. Pasalnya, terlepas dengan masalah Malaysia yang kerap membuat “ulah” dan memandang “rendah” Indonesia, Proton memang dinilai bukanlah pilihan tepat untuk membangkitkan semangat dan jiwa industri otomotif di tanah air.
Sebab, sejauh ini Proton di tempat asalnya saja tidak terlalu diminati. Penjualan Proton tahun 2014 juga terbilang loyo di pasaran Indonesia.
Berdasarkan data Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) di 2014, penjualan Proton di Indonesia tahun 2014 hanya mencapai 523 unit. Lalu mengapa Proton yang harus dipilih oleh pemerintah untuk menggarap mobil nasional Indonesia?
Tetapi apapun alasannya, menurut Dr. Rizal Ramli yang tampil sebagai pembicara bersama Menteri Perindustrian Saleh Husin dalam PrimeTime News-MetroTV, Minggu malam (8/2/2015), pemerintah sebetulnya punya peluang untuk mengembangkan industri part dan komponen yang bagus, yang nanti bisa dipakai untuk menunjang produksi mobil nasional.
Meskipun menurut Saleh Husin di Indonesia sudah ada produsen yang sudah menggunakan 86 persen komponen lokal, namun Rizal Ramli menampik bahwa produk yang ditangani produsen tersebut bukan mobil nasional.
“Itu mobil Jepang yang diproduksi di Indonesia,” ujar Rizal Ramli seraya mempertegas bahwa harus mobil Indonesia yang bisa diekspor ke seluruh dunia.
Pada kesempatan itu, Rizal Ramli yang pernah menjabat Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur ini mendorong pemerintah agar dapat menciptakan brand mobil nasional yang memiliki ciri khas Indonesia, dan yang lebih penting adalah harus dilakukan serta ditangani secara mandiri oleh Bangsa Indonesia pula.
“Saya yakin pemuda-pemudi Indonesia banyak yang kreatif, banyak yang jago kok. Tapi memang permerintah sampai titik ini belum ada niat buat mengembangkan mobil nasional,” ujar Rizal Ramli.
Melalui Menteri Perindustrian, Rizal Ramli pun menagih janji Jokowi agar dapat merealisasikan Esemka sebagai Mobnas. “Saya tagih sama pak menteri, pak Jokowi kan kampanyenya dulu kalau nggak ditolong sama mobnas (Esemka) belum tentu jadi Presiden. Tolong dong direalisasikan. Ada caranya untuk bisa berbuat seperti itu,” tegas Rizal Ramli.
Selama 50 tahun terakhir, menurut Rizal Ramli, teknologi industri mobil di tanah air tidak menunjukkan kemajuan pesat. Padahal, Rizal Ramli sangat yakin, bahwa putra-putri Indonesia pasti bisa melakukan itu asalkan didukung dengan policy yang benar berikut pelakunya yang tepat dan kredibel. “Jangan KKN seperti Timor (Mobnas yang pernah dicanangkan di era Orba), orang tidak akan percaya,” katanya.
Dijelaskannya, bahwa untuk mengembangkan mobil nasional itu perlu facility, task facilities, import, dan lain-lain. Kalau ada KKN, menurut Rizal Ramli, maka rakyat pada akhirnya hanya mencemooh ini sebagai upaya untuk memperkaya kelompok tertentu saja.
Dan secara tegas, Rizal Ramli juga menyatakan ketidaksetujuannya jika mobnas Indonesia adalah hasil contek dari Proton. “Jangan (nyonteknya) ke Proton, dong. Ada teknologi yang lebih baik (daripada Proton),” kata Rizal sambil tersenyum lebar.
Pengalaman Tangani Industri Pesawat Terbang
KEINGINAN untuk sukses dalam industri mobil nasional, bagi Indonesia sebetulnya bukanlah sebuah khayalan yang jauh dari pencapaian. Sebab, jangankan mobil, dibanding negara-negara di Asia lainnya, putra-putri Indonesia sudah lebih dulu mampu menunjukkan kehebatannya di dunia industri pesawat terbang di masa lalu melalui PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Berikut ini adalah secuil pengalaman “suka-duka” Rizal Ramli saat ditunjuk untuk menangani PT. IPTN sebagai tugas ganda di saat menjabat sebagai Kabulog di masa Pemerintahan Presiden Gus Dur.
Dalam Buku berjudul: “Rizal Ramli, Lokomotif Perubahan,” dituliskan, seiring dengan jatuhnya soeharto, sumber dana untuk IPTN pun mulai tersendat. Pamor IPTN sebagai produsen pesawat terbang mulai redup. Apalagi rapor keuangan industri dirgantara itu selalu merah menyala dari tahun ke tahun.
Ketika Gus Dur menjabat Presiden RI, kondisi keuangan IPTN kian amburadul. Padahal, kualitas sumber daya manusia yang dimiliki IPTN layak mendapat acungan jempol: mendapat pendidikan luar negeri dan pelatihan di perusahaan pesawat terbang kelas dunia.
Gus Dur ingin menyelamatkan IPTN. Maka, Presdien RI ke-4 itu pun menelepon Kepala Bulog yang ketika itu dijabat oleh Dr. Rizal Ramli. “Rizal, coba kamu benahi IPTN karena bleeding terus,” kata Gus Dur di ujung telepon.
Rizal Ramli terperanjat. Memang, ia termasuk salah satu ekonom yang paling lantang mengkritik strategi pengembangan teknologi dirgantara yang ditempuh Habibie. Kritik Rizal Ramli tentang model pengembangan teknologi ala Habibie yang serba mahal dan “wah” sering dimuat media cetak pada pertengahan 1990-an.
Bagi Rizal, paradigma pengembangan teknologi yang dilakukan Habibie tidak tepat karena lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat “wah”. Dan, yang lebih celaka lagi, juga sangat boros (high cost).
Padahal, meski teknologi yang diterapkan canggih, selalu ada cara untuk mengoperasikannya dengan biaya yang kompetitif. “Hukum besi teknologi kan seharusnya semakin lama produk yang dihasilkan semakin murah,” ujarnya.
Ingat, harga telepon selular (ponsel) atau handphone (HP) pada akhir tahun 1980-an, ketika mulai masuk ke Indonesia harganya sangat mahal. Hanya para pengusaha besar dan para kapten industri raksasa yang bisa menenteng HP. Sekarang, sopir angkot, bahkan tukang ojek pun bisa berponsel-ria.
Bagi Rizal Ramli, dalam mengelola IPTN, Habibie lebih mementingkan teknologinya yang wah. Semua infrastruktur, mesin-mesin dan peralatan kerja – beserta sarana penunjangnya selalu menggunakan kualitas paling bagus. “Habibie lebih mementingkan wah-nya tanpa mempedulikan pasar maupun biayanya,” kata Rizal Ramli.
Wajar jika kemudian meski mampu menghasilkan produk-produk pesawat terbang dan helikopter, neraca keuangan IPTN selalu compang-camping: menderita kerugian yang tak kecil. Hanya karena terus-menerus ditopang dana berlimpah, IPTN bisa tetap eksis.
“Gus Dur, mohon maaf, apa tidak salah meminta saya membenahi IPTN. Saya kan sering mengkritik Habibie. Lagi pula, posisi saya kan Kabulog, sehingga tidak punya kewenangan untuk membenahi IPTN,” kata Rizal Ramli berusaha “berkelit” dari penugasan Gus Dur.
Dengan enteng Gus Dur menukas: “Salah sendiri, kenapa dulu selalu mengkritik Habibie. Sekarang kamu kualat. Jadi, harus membenahinya. Nah, soal kewenangan, kamu memang Kabulog, tapi yang memerintahkan kamu ‘kan Presiden,” ujarnya.
Rizal Ramli hanya bisa tersenyum. Untuk urusan yang pelik seperti apa pun, Gus Dur selalu punya jawaban yang “inovatif”. Maka, Rizal Ramli pun kini punya tugas ganda: mengurus beras dan industri pesawat terbang.
Ia pun segera mengumpulkan berbagai informasi mengenai kondisi IPTN. Juga menghimpun data mengenai industri penerbangan di mancanegara. Setelah membedah isi perut IPTN, Rizal Ramli pun akhirnya sampai pada kesimpulan: mesti ada titik balik (turn arround) dalam paradigma pengembangan IPTN, mengubahnya dari industri yang high cost menjadi industri pesawat terbang yang kompetitif – seperti yang terjadi di industri sejenis di Cina, Brazil, dan India. Sehingga, produk IPTN bisa bersaing di pasar internasional.
Peralatan dan mesin produksi di Cina, Brazil, dan India tidak secanggih dan mutakhir seperti milik IPTN, toh mereka bisa menghasilkan pesawat terbang yang kompetitif. Maka, Rizal Ramli pun mulai menyingsingkan lengan baju, melakukan overhaul terhadap IPTN.
Untuk menandai perubahan paradigma dari industri yang high cost ke industri penerbangan yang kompetitif, nama IPTN diganti menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI). Tim manajemen puncak juga dirombak dengan menempatkan kader-kader yang unggul di posisi direksi PT DI.
Mereka adalah kader terbaik pilihan Habibie, yang kerap mendampingi Habibie ketika bertemu dengan para raksasa bisnis dirgantara kelas dunia, seperti Boeing, British Aeorospace, dsb. Mereka adalah para insinyur yang sangat tahu seluk-beluk aspek teknis dan aspek bisnis industri penerbangan. Mereka juga memiliki networking yang luas dengan industri pesawat terbang internasional. Joesman SD ditunjuk sebagai Direktur Utama PT DI.
Rizal Ramli dan tim manajemen baru PT DI terus mendiskusikan berbagai strategi untuk mengubah PT DI dari perusahaan yang merugi menjadi perusahaan pesawat terbang yang mampu mencetak laba. Contoh-contoh industri pesawat terbang dengan mesin-mesin produksinya yang tidak secanggih PT DI, seperti di Cina, dan mampu menghasilkan pesawat terbang sipil maupun militer yang harganya sangat kompetitif, dibahas tuntas. “Rapat-rapatnya, ya, dilakukan di Kantor Bulog,” kata Rizal Ramli sambil tersenyum.
Setelah berdiskusi cukup panjang, manajemen PT DI pun diminta membuat blue print dan business plan yang mampu memperbaiki kinerjanya. PT DI tidak lagi semata-mata berkonsentrasi memproduksi pesawat terbang atau helikopter, melainkan juga memproduksi spare-parts dan components untuk memasok kebutuhan industri pesawat terbang terkemuka seperti Boeing, Airbus, British, Aerospace, dsb.
Sebaliknya, PT DI diminta menyingkir dari aktivitas bisnis yang tak berkaitan dengan bisnis intinya. “Saya minta dalam dua tahun PT DI harus meraih keuntungan. Kalau tidak, silakan saudara-saudara mencari pekerjaan lain saja,” kata Rizal Ramli, kepada direksi baru PT DI kala itu.
Pembenahan yang menyeluruh itu membuahkan hasil yang manis. PT DI mulai menunjukkan tanda-tanda awal kebangkitan. Jika pada tahun 1999 angka penjualan PT DI baru mencapai Rp 508 Miliar, pada tahun 2001 melonjak hampir tiga kali lipat hingga mencapai Rp. 1,4 Triliun. Pada tahun 2001 itu, neraca keuangan PT DI juga mencatat keuntungan Rp. 11 Miliar. Bandingkan dengan kerugian Rp. 75 Miliar yang diderita pada tahun 1999. Upaya perubahan paradigma dan restrukturisasi PT DI mulai menunjukkan hasil-hasil yang positif.
Berantakan Lagi
SAYANGNYA, setelah terjadi pergantian pemerintahan dari Gus Dur ke Megawati, kinerja PT DI yang mulai positif itu kembali terpuruk pada tahun 2002. Penyebabnya tak lain, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi mengganti tim manajemen yang solid dengan personel yang tidak memiliki networking dengan komunitas bisnis dirgantara internasional. Padahal, networking itu sangat penting mengingat bisnis penerbangan bersifat oligopolistik.
Tahun 2002-2003, praktis PT DI tidak mendapat order baru, karena direksi PT DI tidak memiliki jaringan lobi kepada raksasa bisnis pesawat terbang. Suasana internal mulai terasa tidak nyaman. Direksi menyalahkan para karyawan. Padahal, sebagian besar karyawan PT DI punya kemampuan teknis yang lumayan bagus karena pernah magang di berbagai perusahaan dirgantara multinasional.
Konfrontasi antara karyawan dan top manajemen kerap terjadi. Kinerja PT DI kian merosot. Timbunan utangnya mencapai Rp 1,5 Triliun. Proyek pembuatan pesawat terbang bermesin jet N-250 yang sangat prestisius pun akhirnya dipangkas habis.
Ketika Kementerian Negara BUMN dipegang Laksamana Sukardi, kondisi PT DI semakin limbung. Maka, direksi PT DI kemudian melakukan PHK terhadap 6.600 karyawan. Perseteruan kian memuncak dan berubah menjadi rangkaian aksi demo besar-besaran. Perseteruan bahkan berlanjut ke pengadilan, yang akhirnya dimenangkan oleh para karyawan.
Direksi PT DI dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Bandung. “Saya sedih menyaksikan nasib PT DI. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana para karyawan yang memiliki keahlian dan pengalaman di industri pesawat terbang harus menjadi pengangguran,” kata Rizal Ramli.
Untuk menunjukkan keberpihakan kepada para karyawan PT DI, jika mereka berdemo ke Jakarta, Rizal Ramli pun menyambangi base camp mereka di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan. Bahkan ia pun menyatakan kesiapannya membela karyawan dengan menjadi saksi ahli di pengadilan, demi membela nasib mereka yang waktu itu masih terkatung-katung.
Dan ketika Rizal Ramli dipanggil sebagai saksi ahli pada tanggal 19 Januari 2004 di Pengadilan Negeri Bandung, belasan ribu karyawan PT DI bersama anak dan isterinya menghadiri sidang itu. Jalanan di depan Pengadilan Negeri Bandung macet total.
Dalam sidang itu, Rizal Ramli menyatakan, PHK bukan solusi terbaik dalam penyelamatan PT DI. Kinerja PT DI yang buruk pada tahun 2002, gara-gara tidak mendapatkan order sama sekali, bukan kesalahan para karyawan, melainkan kesalahan direksi yang tidak mampu bekerja. “Tapi, kenapa justru karyawan yang mesti dikorbankan,” kata Rizal Ramli.
Selama sidang berlangsung, suasana sidang yang biasanya hening, menjadi riuh rendah karena Rizal Ramli kerap mengeluarkan pernyataan yang membela karyawan PT DI. Bahkan, Rizal Ramli tak kuasa menahan rasa haru pada nasib ribuan karyawan yang di-PHK karena salah urus direksi. Air matanya pun menetes.
Pada akhirnya, sidang itu memenangkan gugatan para karyawan. Direksi PT DI divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Bandung. Menyoroti PT DI yang kian karut-marut, Rizal Ramli hanya bisa mengurut dada. Upaya revitalisasi dan perbaikan PT DI yang dijalankan pada periode 2000-2002, yang merupakan periode konsolidasi dan survival, sama sekali tidak berlanjut.
bahkan sebaliknya, kondisi PT DI kian menyedihkan: pemecatan karyawan yang menimbulkan aksi yang berlarut-larut, hingga kian mengganggu kinerja PT DI. “Tanpa order pekerjaan, jelas terlihat PT DI kelebihan tenaga kerja, sehingga satu-satunya solusi yang diambil oleh manajemen adalah mem-PHK ribuan karyawan,” kata rizal Ramli.
Anehnya, ketika jumlah karyawan dipangkas, Kementrian Negara BUMN justru menambah jumlah komisaris, dari lima orang menjadi sembilan orang. “Itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip efisiensi dan keadilan,” ujarnya.
Karena kondisi PT DI kian berantakan, tenaga kerja terbaik dari perusahaan itu, meski tidak terkena PHK, akhirnya berhamburan ke luar negeri. Mereka kini bertebaran di industri pesawat terbang terkemuka di dunia, seperti boeing (amerika serikat), british aerospace (inggris), casa (spanyol), dan Australia.
Tak sulit bagi mereka untuk mencari pekerjaan, karena memang memiliki pengalaman dan keahlian yang memadai. Yang rugi, jelas bukan hanya PT DI, melainkan juga negara kita, karena aset sumber daya manusia (SDM)-nya yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan dengan biaya mahal, kini memperkuat industri di negara lain.
“Akan sangat sulit mendapatkannya lagi ketika Indonesia memerlukan industri penerbangan yang murah dan kompetitif,” kata Rizal Ramli.
Padahal, sebagai negara kepulauan yang amat luas, Indonesia memerlukan kehadiran industri pesawat terbang yang andal dan kompetitif, bisa menghasilkan pesawat terbang dengan harga yang miring. “Seharusnya PT DI bisa diselamatkan,” kata Rizal Ramli.
Untunglah, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono lewat Meneg BUMN Sugiharto akhirnya mencopot direksi yang diangkat pada masa pemerintahan Megawati. Penggantinya, dengan dirut M. Nuril Fuad, adalah orang-orang yang kompeten dan mengerti seluk-beluk bisnis pesawat terbang, sehingga order pun mulai kembali masuk. Kinerja PT DI pun secara pelan-pelan mulai membaik.
Nah, jika mencermati kisah dan pengalaman Rizal Ramli di atas, maka kita sesungguhnya tidaklah sulit untuk mengembangkan sebuah industri teknologi, asalkan bisa diserahkan penanganan dan urusannya kepada orang yang tepat dan kredibel dan ditunjang dengan policy yang benar.