(AMS, Opini)
DULU, para pejuang pergerakan kemerdekaan dan para pahlawan nasional, yakni orangtua dan nenek-nenek moyang kita, berjuang dengan gigih mempertaruhkan jiwa dan raga demi mengusir penjajah dari muka bumi Ibu Pertiwi.
Mereka dengan semangat berapi-api tanpa pamrih, bangkit dan maju melawan para kolonialis juga imperialis yang telah lama menguasai, menyedot dan melahap seluruh kekayaan alam kita.
Meski darah dan nyawa yang harus jadi taruhannya, para pejuang kita tidaklah menuntut dan mengharap apa-apa selain “Merdeka atau Mati”. Dan itulah prinsip serta tekad yang tidak bisa ditawar-tawar sedikitpun, yang penting, para penjajah harus segera angkat kaki dari negeri tercinta ini, Indonesia. Sebab, bangsa Indonesia ingin mengatur dan membangun negaranya sendiri tanpa “bacok” dan pelecok dari kaum imperialis negara asing.
Dan atas nama bangsa Indonesia, Soekarno dan Moh. Hatta beserta pemuda-pemudi anak bangsa pada akhirnya pun berhasil menancapkan panji kemenangan dan memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Dan sejak di hari itulah Bangsa Indonesia menjadi Negara Merdeka dan Berdaulat.
Dalam menunaikan tugasnya sebagai Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno dengan sangat tegas, ---sekali lagi dengan sangat tegas---, menanamkan sebuah prinsip dan ideologi agar Indonesia tidak sedikit pun diatur-atur dan diintervensi lagi oleh negara luar (asing) mana pun, apalagi sampai harus dijajah kembali.
Ideologi tersebut dinamai ajaran Trisakti, yakni: 1). Berdaulat dalam bidang politik; 2). Berdikari dalam bidang ekonomi; dan 3). Berkepribadian dalam budaya.
Dulu, jauh-jauh hari Jokowi sudah “memamerkan” diri sebagai sosok yang tak pernah melupakan ajaran Trisakti. “Saya selalu ingat Trisakti-nya Bung Karno. Berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam budaya,” ujar Jokowi, saat menyampaikan orasinya dalam acara Orasi Kebudayaan dan Pentas Seni Rakyat untuk memperingati Bulan Bung Karno di Tugu Proklamasi, Cikini, Jakarta, Sabtu (23/6/2012).
Dan gara-gara “menjual” ajaran Trisakti itulah salah satunya yang membuat Jokowi berhasil “laku terjual” dan dipilih oleh rakyat sebagai presiden. Artinya, rakyat menghendaki sosok yang mampu menjalankan ajaran Trisakti, Soekarno.
Sayangnya, setelah terpilih, Jokowi-JK sedikitpun tidak memperlihatkan keseriusannya menjalankan ajaran Trisakti tersebut. Dan menurut salah seorang anggota Front Nasional Marhaenis, Angga S Yusuf, janji Jokowi untuk melaksanakan Trisakti itu kini jauh panggang dari api.
Padahal, periode ini adalah kesempatan emas buat Jokowi, khususnya buat PDIP, agar dapat kembali menghidupkan Trisakti. Apalagi memang, ketika kampanye, menjalankan Trisakti adalah bagian dari janji dan misi-visi Jokow-JK . Tetapi nyatanya, sekali lagi, sungguh sayang sejuta sayang, Jokowi-JK dan PDIP (bersama KIH=Koalisi Indonesia Hebat) sepertinya lebih cenderung “menghambakan” diri di hadapan sejumlah negara asing.
Jokowi-JK bahkan sepertinya telah berada di genggaman asing. Dan negeri ini benar-benar ingin kembali dijajah. Yakni dimulai dengan mengikuti “arahan” IMF-Bank Dunia, mengcekik leher dan memukul perut rakyat dengan cara mencabut subsidi BBM (menaikkan harganya) dengan dalih bahwa anggaran subsidi BBM-nya akan dialihkan untuk membiayai pembangunan sejumlah infrastruktur.
Anehnya, Jokowi-JK hanya menaikkan harga BBM bersubsidi (untuk rakyat menengah ke bawah) sebesar Rp.2.000, sementara harga Pertamax untuk kalangan menengah atas tidak dinaikkan. Alasanya karena BBM bersubsidi tidak tepat sasaran, dan juga karena subsidi membuat rakyat jadi malas.
Mungkin yang dimaksud pemerintah tidak tepat sasaran dan malas itu adalah bahwa selama ini rakyat tidak tepat sasaran dan malas memasuki ke SPBU milik asing, ya? Dan terbukti sekarang, rakyat sudah tepat “sasaran” mengunjungi dan tak lagi malas memasuki SPBU milik asing dengan oktan yang lebih baik dan harga cuma beda tipis dengan SPBU Pertamina. Di saat seperti itu, tentu usaha SPBU milik asing menjadi ramai dan meraup untung dari uang rakyat.
Sungguh, rakyat kita benar-benar ibarat dicekik. Sebab seperti biasanya, ketika harga BBM dinaikkan, maka harga-harga kebutuhan pokok pun pasti ikut naik.
Sementara dalam keadaaan dicekik, pipi rakyat juga ibarat ditampar kiri-kanan. Karena selain harga kebutuhan pokok sudah naik akibat kenaikan harga BBM, pemerintah Jokowi-JK malah kini per 1 Januari 2015 akan menaikkan harga Tarif Dasar Listrik (TDL), harga elpiji 3 kg, dan tarif Kereta Api.
Sungguh semua itu adalah penyiksaaan kepada rakyat kecil. Betapa kasihan rakyat kecil kita, belum sempat menarik nafas atas hantaman dan “penyiksaan” dari pemerintahan SBY, kini langsung kembali dihajar oleh pemerintahan Jokowi-JK. Apa ini yang diajarkan Soekarno dengan Trisaktinya itu? Belum memberikan dan mempersembahkan apa-apa, kok Jokowi-JK sudah langsung main siksa? Benahilah dulu hak asasi dan kebutuhan dasar rakyat, setelah itu, mari naikkan harga BBM!?!
Sepertinya, Pemerintahan Jokowi-JK tidaklah dibangun di atas fondasi ajaran Trisakti, melainkan di atas fondasi paham neoliberalisme, neokolonialisme dan neoimperialisme.
Lihatlah dan amatilah sendiri. bahwa mulai dari susunan menteri dalam kabinetnya hingga kepada statement dan kebijakan-kebijakannya nyaris semuanya “berkiblat” kepada asing dengan menganut ajaran neoliberalisme, neokolonialisme serta neoimperialisme.
Cara jitu untuk mewujudkan ajaran “asing” tersebut, adalah cukup dengan menghantam bertubi-tubi ekonomi rakyat, seperti yang telah dilakukannya saat ini adalah salah satunya dengan mencabut semua subsidi energi (BBM, listrik, elpiji).
Lalu setelah menghantam ekonomi rakyat, pemerintah Jokowi-JK cukup merestui dan memperbolehkan Warga Negara Asing (WNA) untuk menduduki jabatan-jabatan strategis sebagai direksi di BUMN.
Padahal BUMN bisa diibaratkan adalah sebuah kamar tidur suami-istri dari sebuah rumah tangga, karena BUMN adalah tempat melakukan berbagai produktivitas. Jika ini dimasuki oleh orang asing, maka itu sama halnya dengan mengizinkan (memberi kesempatan) kepada orang asing tersebut untuk nantinya “berbuat apa saja”, termasuk di ruang-ruang lainnya di dalam rumah tersebut. Hal ini sudah pasti konyol!
Bukan cuma itu, WNA yang diberi kedudukan sebagai direksi itu tentulah nantinya akan diberi gaji dan fasilitas yang lebih besar. Jangan dulu bicara direksi BUMN, gaji WNA yang bekerja sebagai pilot di Garuda Air saja bisa dua kali lipat lebih besar dari pada pilot lokal (orang Indonesia).
Menurut data, sejak tahun 2011 saja, kapten pilot asing yang bekerja pada tahun pertama mendapat gaji US$9.000 per bulan. Gaji itu masih ditambah biaya akomodasi US$1.200. Sedangkan first officer asing menerima biaya akomodasi US$7.200. Sementara kapten pilot lokal (orang Indonesia), yang sama-sama bekerja pada tahun pertama hanya mendapat gaji total Rp43 juta.
Sehingganya, rencana “kotor” dari Menteri BUMN dan Menko Perekonomian untuk mendudukkan orang asing sebagai direksi di lingkungan BUMN adalah sangat tidak elok jika direstui oleh Jokowi. Sebab apakah itu yang disebut berdikari Trisakti? Dan apakah memang kita sudah kehabisan orang-orang dari dalam negeri kita sendiri yang bisa dilibatkan masuk menduduki jabatan tersebut?
Andai semua ini benar-benar direstui dan dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK, maka itu sama halnya dengan “mengundang” orang asing untuk kembali menjajah Indonesia.
“Sudah terjadi apa yang ditakutkan oleh Soekarno. Bung Karno bilang hati-hati, nanti setelah Indonesia merdeka, Indonesia akan kembali dijajah melalui ekonomi, neokolonialisme,” lontar Dr. Rizal Ramli, sosok yang tak henti-hentinya berjuang menegakkan ekonomi kerakyatan sesuai ajaran Trisakti sejak dulu. Dan sejak menjabat Menko Perekonomian, serta selaku Menteri Keuangan di era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli berhasil menurunkan Utang Luar Negeri.
Wahai Tuan Baginda Presiden dan Wakil Presiden, ingatlah! Bangsa ini punya sejarah yang amat panjang pernah dikendalikan dan dikuasai oleh negara asing. Jadi berhati-hatilah, karena “kejahatan” tidak hanya datang dari niat, tetapi juga karena adanya sebuah kesempatan.
SALAM PERUBAHAN...!!!