DALAM mengomentari dan menanggapi suatu masalah di depan publik, Jokowi seringkali melontarkan pernyataan yang dinilai cukup menjengkelkan.
Di antaranya, “Saya itu tidak pernah menaikkan harga BBM. Saya (cuma) mengalihkan subsidi. Itu jelas sekali beda, jadi mahasiswa itu salah sasaran demo saya karena menaikkan harga BBM,” tutur Jokowi saat memberikan kuliah umum di Balai Senat UGM, Selasa (9/12/2014).
Spontan, tidak sedikit orang yang menilai, bahwa pernyataan tersebut adalah “pernyataan yang amat bodoh”. Sebab kenyataannya, Jokowi sendiri yang telah membacakan kenaikan harga BBM sebesar Rp. 2.000 per liter. Sementara, istilah mengalihkan subsidi, tentunya tidak semua orang tahu apakah nantinya subsidi BBM tersebut benar-benar dialihkan atau tidak.
Pernyataan “bodoh” serupa lainnya juga pernah dituturkan oleh Jusuf Kalla (JK) dalam menanggapi kondisi nilai Rupiah yang anjlok.
“Saat ini yang terjadi bukan rupiah melemah, tetapi karena dolar Amerika yang menguat akibat adanya pertumbuhan ekonomi di Amerika sebesar empat persen,” ujar JK dalam sambutannya pada pembukaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Expo tahun 2014 di Surabaya, Rabu (17/12/2014) malam.
Padahal pada kenyataannya, nilai Rupiah memang melemah terhadap Dolar Amerika Serikat.
Sehingga pernyataan Jokowi dan JK tersebut tentu saja dapat dinilai adalah sebuah “bahasa diplomasi” yang kurang cerdas, dan amat terkesan membodoh-bodohi rakyat, dan dampaknya tentu saja bisa membuat orang jadi jengkel.
Pernyataan yang tak kalah menjengkelkan lainnya dari Jokowi adalah kebiasaannya melontarkan kalimat yang bernada “bukan urusan saya”.
Misalnya, ketika masih sebagai Gubernur DKI Jakarta, wartawan sempat meminta pendapatnya soal semrawutnya pembagian Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang diserahkannya pada Dinas Pendidikan DKI. “Kembali lagi, urusan teknis-teknis seperti itu, kamu tuh semuanya suruh ke saya. Bus juga. Tugas gubernur masa ngurusi ucrit-ucrit kayak gitu,” kata Jokowi.
Juga ketika adanya penyalahgunaan rusun yang dijadikan tempat tinggal simpanan atau pasangan selingkuh, lagi-lagi Jokowi menyerahkan masalahnya ke pihak lain. “Urusan kasus satu-satu ditanyain. Tanya ke kepala Rusun lah, masa masalah perselingkuhan ditanyai ke saya. Tanya sana ke kepala Rusun,” ucap Jokowi saat itu.
Mengenai jembatan penghubung Blok G dan Blok F yang bergeser dari konstruksinya pada April 2014, Jokowi yang saat itu masih sebagai Gubernur pun seolah lepas tangan. Padahal, jembatan yang dinanti-nanti oleh pedagang Blok G ini miring sekitar 10-15 derajat karena pergeseran tersebut. “Jembatan kayak gitu urusan Dirut Pasar Jaya. Enggak usah gubernur. Itu urusan kecil kok, enggak usah gubernur,” kata dia.
Begitu pun pada Kamis, 28 Agustus 2014, Kanopi di Gedung Blok G Kompleks Balai Kota mendadak roboh, dan Jokowi yang saat itu telah menjadi Presiden terpilih enggan menjelaskan secara baik-baik. “Kanopi ditanyakan ke saya? Tanya ke Dinas Perumahan, itu bangunan tahun berapa itu?” ucapnya.
Terlebih lagi dengan kasus korupsi pengadaan bus Transjakarta yang sempat heboh lantaran bus yang baru didatangkan dari negeri Tiongkok itu dalam keadaan berkarat, yang kemudian mendapat desakan dari beberapa kalangan agar segera memeriksa Jokowi selaku gubernur yang bertanggungjawab atas pengadaan bus tersebut.
Dan ketika ditanyai seputar kasus korupsi bus Transjakarta tersebut, Jokowi hanya menjawab, “itu sudah masuk wilayah hukum. Sudah masuk wilayah hukum, wilayah hukum, wilayah hukum. Sudahlah, bukan urusan saya lagi.”
Dari contoh pernyataan dan tanggapan seperti di atas menandakan, bahwa Jokowi adalah pemimpin yang tak ingin disalahkan, pemimpin yang memaksakan semua yang dikatakannya adalah benar dan yang lainnya adalah salah, pemimpin yang hanya ingin menyerahkan masalah negatif kepada orang atau pihak lain, sementara sesuatu yang positif adalah menjadi miliknya.
Jika Jokowi benar-benar bermental pemimpin cerdas yang bersahaja, arif dan bijaksana, harusnya kebiasaan berbahasa dan bergaya diplomasi seperti itu sebaiknya segera dihilangkan.