RR1news: WAJAH masa depan ekonomi Indonesia masih dalam sketsa yang belum jelas, karena dua pasang capres yang ada saat ini sama-sama kurang menguasai masalah pembenahan ekonomi kerakyatan.
Hal ini terlihat pada debat capres kedua yang sudah digelar beberapa waktu lalu, sangat jelas keduanya sosok capres hanya mengandalkan analisa yang terkesan “instruksional”, dan juga diwarnai pemikiran yang “emosional”.
Mengapa? Sebab, kedua sosok capres yang disuguhkan oleh pihak parpol pada Pilpres kali ini, sebetulnya boleh dikata belumlah sesuai dengan tuntutan pemecahan masalah yang melilit bangsa selama ini, yakni masalah ekonomi. Jokowi adalah insinyur kehutanan, sementara Prabowo berasal dari kalangan militer.
Sehingga tak salah apabila masih banyak publik yang meragukan kemampuan kedua capres tersebut, terutama dalam hal terobosan dan strategi penguatan ekonomi bangsa.
Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli, menilai siapa pun yang terpilih, kedua capres ini dipandang akan sangat kesulitan membangun ekonomi bangsa jika kebijakan nantinya tak sejalan dengan visi-misi yang sudah mereka tawarkan saat ini.
Olehnya itu, ekonom senior yang kini juga sebagai anggota dewan penasehat ekonomi di badan dunia (PBB) ini menyarankan agar visi-misi kedua capres sebaiknya segera diperbaiki. Pasalnyanya, menurut Rizal Ramli, kedua capres belum mengantogi visi misi ekonomi yang jelas.
Seperti diketahui, salah satu gagasan capres Prabowo adalah mengurangi kebocoran keuangan negara untuk kepentingan rakyat. Sementar capres Jokowi salah satunya berencana mengembangkan ekonomi kreatif.
Berikut adalah koreksi sekaligus pandangan Rizal Ramli dalam menanggapi acara debat ekonomi oleh kedua capres tersebut, dikutip Okezone:
Apa catatan bapak terkait debat capres kedua?
Secara umum seorang calon presiden memang tidak perlu mengetahui masalah sangat teknis, apalagi terkait ekonomi, tapi keduanya diharapkan menyampaikan visi dan misi yang jelas.
Kemudian target-target kualitatif maupun kuantitatif sejalan dengan misi dan tentu bagaimana untuk mencapai visi misi itu atau kebijakan dan strategi yang diusung.
Sayangnya saya melihat visi misi ada yang ke kanan, tapi target kuantitatifnya tidak memadai, apalagi kebijakannya malah ke kiri atau sebaliknya.
Saya rasa, proses ini selain untuk membujuk para pemilih yang masih belum menentukan sikap atau swing vote, juga harus jadi mekanisme supaya visi misinya diperbaiki agar lebih tajam.
Policy juga disiapkan lebih matang agar lebih konsisten sehingga saat salah satu terilih mereka sudah yakin dan tahu apa yang harus dikerjakan.
Contohnya seperti apa?
Ada calon presiden yang mengatakan ingin menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, tapi tagert yang ingin dicapai hanya menciptakan lapangan kerja untuk dua hingga tiga juta orang.
Kalau hanya segitu, pertumbuhan ekonomi cukup hanya lima atau enam persen. Karena, satu persen itu bisa menciptakan lapangan pekerjaan sekira 400 ribu hingga 500 ribu orang. Loh tidak ada bedanya dengan yang sekarang dong, di mana kemajuannya, karena kita ingin bangsa ini lebih maju.
Ada juga capres yang ingin mendorong kemandirian tapi sibuk dengan urusan pedagang kaki lima (PKL), relokasi dan penataan kaki lima.
Saya senang karena capres tersebut betul-betul simpati dengan PKL, tapi kalau dikaitkan dengan kemandirian dan produktifitas agak kurang nyambung, karena PKL bergerak di sektor perdagangan.
Padahal, bangsa kita ingin berubah dari bangsa yang sekadar konsumtif menjadi hebat dan produktif bersaing dengan seluruh dunia. Jadi tidak nyambung kebijakan yang diambil.
Adakah visi misi yang bagus dari kedua capres?
Ada hal yang kedua capres bagus. Soal ekonomi kreatif. Puluhan juta pengusaha kecil dan pengusaha rumah tangga dan menengah kita kalau hanya sekadar memproduksi, mereka akan kalah bersaing.
Tapi kalau ada faktor kreatifnya, dalam desain, tata letak, atau packaging, dan brand maka keuntungan yang dinikmati akan jauh lebih besar. Kedua akan membuat produk Indonesia lebih diterima di luar negeri.
Saya juga senang kedua capres berjanji untuk melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Sekarang kan kita masih sembilan tahun. Dalam prakteknya rata-rata capaian orang Indonesia baru 7,6 tahun pendidikannya. Sembilan tahun saja belum cukup.
Bahwa dua-duanya komitmen untuk 12 tahun itu bagus sekali. Artinya dari visi misi dan taget itu bagus.
Tapi, begitu di kebijakan mulai ada kerancuan. Misalnya ada capres mengatakan, 80 persen kurikulum soal revolusi mental. Wah ini ribet, karena pesantren saja kurikulum umumnya 60 persen dan kurikulum agama 40 persen.
Di negara komunis, indoktrinasi itu makin lama makin mengecil, sisanya pengetahuan. Menurut saya kita mesti hati-hati di situ, karena anak-anak kita yang perlu didorong itu pertama rasa ingin tahu, kedua kreatifitas, ketiga tata nilai termasuk kesadaran terhadap lingkungan dan tanggung jawab sosial.
Bagaimana bisa rancuh di kebijakan?
Mohon maaf, penasehat di sekitar capres harus memberikan info lebih baik. Misalnya, ada capres mengatakan bahwa satu hektare bisa mempekerjakan enam orang dikali berapa potensi lapangan kerja.
Saya kira tidak demikian, karena satu keluarga bisa mengelola dua hektare kalau ingin makmur. Jadi ada angka-angka dasar mungkin tim penasehat kurang menegaskan.
Atau ide tentang tol laut. itu kalau kita buat sejenis perkapalan yang terus bergerak dari satu lokasi ke lokasi utama, mahalanya luar biasa karena sebagian besar satu arah itu akan kosong.
Jadi, pengeluaran transportasi bukan murah malah jadi makin mahal, kalau konsep tol laut itu. Contohnya, semen di Papua mahal sekali, saya kebetulan mantan Presiden Komisaris Semen Gresik.
Sulusinya bukan bikin tol laut ke Papua agar semen murah, tapi bikin pabrik semen di Papua dengan kapasitas kecil 200 ribu ton cukup, itu pasti harga semen lebih murah.
Ada juga usul bikin double track kereta api di Papua dan Sumatera. Saya mohon maaf, saya yang pertama kali bikin program double track di Indonesia. Double track itu diperlukan kalau prekuensi barang padat sekali. Kalau di Papua prekuensi barang masih sedikit, bikin satu track saja dulu.
Tujuannya untuk efisiensi malah tambah biaya. Hal seperti ini saya minta capres betul-betu menggodok ide-idenya dengan lebih matang bersama tim ahlinya. Kalau tidak, kasihan seandainya jadi presiden itu dilaksanakan akan terjadi pemborosan.
Program kartu sehat itu tumpang tindih dengan program sistem jaminan sosial. Sistem ini sudah besar, jangkauannya sudah 80 juta. Memang harus ditingkatkan hingga 100 juta, tapi sistem ini sudah bagus sekali.
Tinggal ditambah pendanaannya berapa puluh triliun lagi, jangakauannya diperluas, sistemnya diperbaiki. Ini akan lebih dahsyat daripada kartu sehat.
Apakah akan ada masalah kalau itu diberlakukan?
Akan menimbulkan masalah juga kalau sebagai presiden kartu sehat dilaksanakan, barangkali UU BPJS harus dia hapuskan atau diganti.
Soal pemborosan, betul alternatif pembiayaan itu bisa diambil dari pengurangan pemborosan, tapi ada juga sumber yang lain untuk menyetop pengeluaran yang tidak perlu dan alternatif policy, karena mengubah Indonesia tidak selalu dengan uang dan anggaran. Kemarin kedua capres fokus di anggaran, padahal ekonomi bukan hanya anggaran tapi juga kebijakan.
Saat saya Menko, kami kasih izin kepada enam perusahaan penerbangan nasional termasuk Lion Air. Akibatnya terjadi persaingan, harga tiket pesawat turun 60 persen, penumpang naik lima hingga enam kali. Uang negara tidak ada sama sekali, itu kebijakan yang bisa mengubah.
Kita lihat sejarah Jepang dan Cina bisa hebat karena lewat mekanisme kebijakan dan strategi, sama sekali tidak mengandalkan hutang. Fokus kemarin itu semuanya di anggaran.
Saya kutip Paul Nitze bahwa ada dua tipe manusia. Satu tipe betul-betul ingin tahu kebenaran dan mencoba cari solusi dari permasalahan. Kedua, tipe manusia yang ingin percaya. Harusnya kalangan intelektual dan media masuk kalangan pertama, bukan sekadar orang yang ingin jadi percaya.
Kalau kita ingin lebih tahu aspek pendidikan untuk rakyat, ini aspek pencerahan. sementara kedua capres belajar dari kesalahan yang ada dan memperbaikinya dalam proses.
Pemilihan Juli, kemudian terpilih artinya masih ada waktu sampai Oktober, masih ada empat bulan. Kalau melihat ada inkonsistensi antara visi dan target masih ada waktu untuk memperbaiki. Jadi, saat dilantik sudah siap.
Tapi, kalau juga ternina bobo oleh orang yang sekadar memuji dan mendewakan, bisa mencelakan Indonesia.