Sunday 5 June 2016

Karena Pernah Menyelamatkan PLN, Makanya Rizal Ramli Paham Ada Apa “di Balik” Proyek 35 GW Sekarang


(AMS, Artikel)
MARI kita menengok sosok Rizal Ramli saat menjabat Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian pada era Presiden Gus Dur. Kala itu, sebagai Menko Perekonomian, Rizal Ramli (RR) benar-benar menjalani kesibukan yang sangat padat serta melelahkan, dan tentunya penuh dengan tekanan dari segala penjuru.

Putaran waktu 24 jam sehari terasa tak cukup baginya, namun Rizal Ramli tak pernah mengeluh, bahkan Sabtu dan Minggu pun harus dimanfaatkan bersama stafnya untuk menuntaskan masalah demi masalah yang melilit di negeri ini.

Bagaima tidak, Rizal Ramli sangat menyadari tanggungjawabnya kepada Bangsa Indonesia yang kondisinya belum juga pulih setelah dihantam krisis ekonomi 1997/1998. Daya beli merosot lantaran rakyat kecil kian sulit menjangkau barang-barang kebutuhan pokoknya.

Dan Rizal Ramli merasa bertanggungjawab agar dapat mengatasi berbagai problem ekonomi yang sangat pelik, yang menuntut proses pengambilan keputusan yang cepat, tepat, dan efektif. Dan itulah yang dilakukan oleh Rizal Ramli, meski harus berhadapan dengan berbagai ancaman serta teror dari pihak-pihak (sebut saja para mafia) yang berlawanan dengannya.

Umumnya, problem ekonomi yang harus dibenahi oleh Rizal Ramli adalah merupakan warisan Orde Baru. Sehingga di saat itu, tak salah jika kita menyebut Rizal Ramli sebagai “tukang cuci piring” dari “pesta” yang dilakukan oleh para pejabat dan kroni penguasa Orde Baru. Yakni, mereka yang telah berfoya-foya dan kenyang melahap “makanan” rakyat lalu hanya menyisakan “kotoran” yang berserakan di mana-mana. Dan yang mesti membersihkan “kotoran” tersebut adalah tim ekonomi Kabinet Gus Dur-Megawati, yaitu tim yang dipimpin Menko Perekonomian, Dr. Rizal Ramli.

Kasus proyek listrik swasta, misalnya, benar-benar menguras energi dan pikiran Rizal Ramli. Betapa tidak? Pada era pemerintahan Soeharto, untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan tenaga listrik, pemerintahan yang dipimpin Soeharto mengundang sektor swasta masuk ke bisnis pembangkit listrik. Produksi listriknya kemudian dijual kepada PLN.

Paling tidak, saat itu terdapat 27 proyek listrik swasta, yang didirikan oleh perusahaan listrik dari negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Jerman. Mereka menggandeng keluarga dan kroni Soeharto untuk mendirikan perusahaan listrik swasta itu.

Menurut harian The Jakarta Post (19 April 2001), Sengkang Power, yang beroperasi di Sulawesi Selatan, dimiliki oleh Energy Equity dengan saham 47,5%; Elpaso Energy International 47,5%; dan PT Triharsa Sarana Jaya 5% (milik putri Soeharto Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut). Sementara itu, Jawa Power sahamnya dimiliki Siemens Power 50%, PowerGen Plc 35%, dan PT Bumi Pertiwi Tatapradipta – yang terkait dengan putra Soeharto Bambang Trihatmojo sebesar 15%. Dan hal inilah didalami dan sangat dipahami Rizal Ramli ketika itu.

Perusahaan listrik swasta independen tersebut membangun proyek pembangkit listrik dengan pola BOT (Build, Operate, Transfer), di mana kemudian akan melego energi listriknya kepada PLN selama jangka waktu 30 tahun.

Dan setelah 30 tahun, pembangkit listrik tadi menjadi milik pemerintah. Ke-27 perusahaan listrik swasta tadi pada tahun 1996 meneken perjanjian jualbeli listrik dari pembangkit swasta ke PLN yang tertuang dalam PPA (Power Purchase Agreement)/ESC (Energy Sales Contract).

Harga jual energi listrik yang dibebankan kepada PLN ternyata sangat gila-gilaan, berkisar antara US$ cents 7– 9 per kWh. Bandingkan dengan penjualan listrik swasta di negara-negara Asia lainnya ketika itu yang cuma sekitar US$ cents 3,5 per kWh.

Jika berpegang pada kontrak PPA itu, PLN mesti merogoh koceknya dalam-dalam. Padahal, kemampuan keuangan PLN pada masa krisis ekonomi justru sangat jeblok. Bayangkan, pada tahun 2000, selama semester pertama saja PLN didera kerugian Rp 11,58 Triliun. Tahun 2001, kerugian PLN diproyeksikan melambung hingga Rp 24 Triliun. PLN pun akhirnya “lempar handuk”  karena tak sanggup membayar ke perusahaan listrik swasta.

Begitu diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada Agustus 2000, Rizal Ramli langsung menetapkan pembenahan listrik swasta sebagai prioritas utama. “Implikasinya akan sangat luas terhadap beban utang Indonesia,” kata Rizal Ramli dalam buku yang ditulisnya: “Lokomotif Perubahan, Indonesia yang Lebih Baik”.

Memang, saat itu, seiring dengan krisis ekonomi yang mengguncang negara kita, beban utang luar negeri melonjak drastis, hingga mencapai US$ 150-160 Miliar. Nah, kemelut listrik swasta, berpotensi menambah beban utang Indonesia sebesar US$ 80 Miliar. “Jika utang pemerintah ditambah kewajiban kepada perusahaan listrik swasta, secara teknis Indonesia sudah bangkrut,” kata Rizal Ramli.

Situasi rakyat memang kelihatan tenang-tenang saja karena rakyat samasekali tak tahu “isi terdalam” dari setiap problem yang dihadapi oleh negara. Dan problem PLN ketika itu adalah sungguh merupakan persoalan yang sangat gawat, dan itu harus dihadapi oleh Rizal Ramli.

Makanya, Rizal Ramli pun bergerak cepat, mengundang Komite Restrukturisasi PPA yang dipimpin Dirut PLN Kuntoro Mangkusubroto ke kantornya. Rizal Ramli meminta, Komite Restrukturisasi PPA merenegoisasikan harga jual listrik swasta ke PLN. “Saya minta harga listrik swasta itu sesuai dengan standar internasional, sekitar US$ cents 3,5 per kWh,” ujarnya.

Rizal Ramli menyadari, permintaan itu tidak akan mudah dipenuhi. Soalnya, harga listrik swasta yang mencekik leher itu terjadi karena ada unsur mark up dan KKN (korupsi, kolusi, serta nepotisme). Dan memang, jauh sebelum duduk di pemerintahan, Rizal Ramli sebetulnya sudah mengkritisi proyek listrik swasta itu. Berbagai keanehan PPA itu kemudian menjadi laporan utama di harian ekonomi-bisnis terkemuka The Asian Wallstreet Journal. Lapornnya dimuat selama empat hari berturut-turut.

Menurut Rizal Ramli, perusahaan listrik multinasional yang memberikan saham kosong kepada keluarga dan kroni Cendana (Soeharto) tidak mau memberikan secara gratis begitu saja. Sebagai kompensasi atas pemberian saham kosong itu, mereka meminta harga jual listriknya menjadi jauh lebih tinggi dari standar internasional. Dan itu dipenuhi dalam PPA. Tim Komite Restrukturisasi PPA mengajukan usulan untuk mendapatkan harga jual US$ cents 3,5, maka masa kontrak listrik swasta itu harus diperpanjang dari semula 30 tahun menjadi 40 tahun atau lebih panjang lagi.

Karena di satu sisi sangat memahami begitu besarnya kepentingan dan keuntungan yang akan disedot oleh para “mafia” tersebut, juga di sisi lain bisa dipastikan akan membuat PLN serta rakyat hanya merasakan kerugian yang besar, maka usulan Kuntoro Mangkusubroto yang mengusulkan kontrak listrik diperpanjang 20 hingga 30 tahun itu pun dianggap sangat ngawur.

Olehnya itu, usulan tersebut pun ditolak mentah-mentah oleh Rizal Ramli. Sebab, jika diterima, maka beban keuangan yang mesti ditangung akan berlipat ganda.

“Bukan begitu caranya bernegosiasi. Coba hitung ulang nilai proyek yang sebenarnya. Kemudian tetapkan jangka waktunya, nanti akan ketemu berapa harga jual listrik per kWh-nya. Jadi, yang harus direnegosiasi adalah harga proyeknya yang bernuansa KKN dan penuh mark up itu,” kata Rizal Ramli.

Tim ekonomi yang dikomandani Rizal Ramli menolak usulan pengurangan harga dengan hanya memperpanjang jangka waktu PPA, karena cara itu hanya akan menambah beban PLN. Ia bersikukuh agar perusahaan listrik swasta itu menurunkan harga proyeknya, sehingga otomatis akan diperoleh harga jual listrik swasta yang sesuai dengan standar internasional. Rizal Ramli membaca adanya anggaran yang diduga kuat hanya untuk membiayai KKN dan mark up-nya, sehingga Rizal Ramli ngotot agar biaya KKN tersebut harus segera diamputasi.

Sehingganya, sebagai Ketua Tim Keppres 133/2000, Rizal Ramli pun bekerja ekstra keras untuk menyelesaikan restrukturisasi PLN dan renegosiasi kontrak-kontrak pembelian listrik swasta – bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan menteri-menteri terkait.

Dan sejak itulah, Rizal Ramli mendapat tekanan dari berbagai penjuru untuk membatalkan renegosiasi kontrak jual beli listrik swasta yang sudah diteken lewat PPA tahun 1996.

Dalam proses renegosiasi ini, Rizal Ramli mendapatkan tekanan yang luar biasa besar dari sejumlah duta besar negara-negara asal kreditor, dari anggota kongres, senator, dan lembaga keuangan anggota konsorsium kreditor. “Mereka datang silih berganti kepada pemerintah Indonesia untuk tidak mengubah kontrak dengan alasan kontrak itu adalah sesuatu yang suci. Padahal kontrak tersebut cacat hukum karena di-mark up dan bernuansa KKN,” kata Rizal Ramli.

Meski tekanan datang bertubi-tubi, termasuk dari pejabat tinggi sebuah pemerintahan negara adi daya – yang ternyata merupakan komisaris di perusahaan listrik yang mendapat kontrak dari PLN, Rizal Ramli sama sekali tidak gentar.

Berbagai cara ditempuh Rizal Ramli untuk mendapatkan harga jual listrik swasta yang lebih murah, antara lain, dengan meminta perwakilan Bank Dunia dan IMF di Jakarta untuk ikut membantu negosiasi, baik secara teknis maupun bantuan lobby. “Secara informal saya mengundang makan siang perwakilan Bank Dunia dan IMF antara lain Anoop Singh (Direktur Asia Pasifik IMF), John Dodsworth (Kepala Perwakilan IMF di Indonesia), Mark Baird (Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia),” kata Rizal Ramli.

Hasilnya ternyata mengecewakan. Perwakilan dari IMF dan Bank Dunia memang datang memenuhi undangan Rizal Ramli. Sayangnya, mereka tidak bisa memberikan bantuan yang diharapkan. “Kami bersimpati kepada bangsa dan rakyat Indonesia yang harus dibebani tarif listrik hingga dua kali lipat dari tarif internasional. Tapi kami minta maaf tidak bisa membantu Indonesia karena menyangkut perusahaan-perusahaan multinasional dan bank-bank besar di negara-negara maju. Juga menyangkut tokoh-tokoh penting di negara maju,” kata Anoop Singh, sebagaimana dituturkan Rizal Ramli.

Kandas sudah harapan untuk mendapatkan bantuan dari orang-orang di lembaga keuangan internasional itu. Namun Rizal Ramli tidak menyerah. Ia berpikir keras, lalu kemudian ia pun mendapat ide segar. Yakni, menjelaskan berbagai praktik KKN dan mark up yang dilakukan perusahaan multinasional kepada koran berwibawa Wallstreet Journal, yang terbit di Asia dan Washington (Amerika).

“Saya membeberkan fakta-fakta praktik KKN itu. Saya berpandangan, jika sebuah kontrak sudah ditandatangani tapi mengandung unsur KKN, maka terbuka kemungkinan untuk direnegosiasi,” kata Rizal Ramli.

Kasus praktik KKN proyek listrik swasta di Indonesia kemudian terekspos secara internasional. “Negara-negara besar dan lembaga multinasional sering gembar-gembor menasihati negara dan pihak lain untuk tidak melakukan KKN, tapi begitu menyangkut perusahaan multinasional dari negara besar, mereka tutup mata, tutup mulut, dan tutup telinga,” kata Rizal Ramli.

Berita di Wallstreet membuat geger. Ada usaha dari perusahaan listrik di negara maju untuk menyeret wartawan Wallstreet ke pengadilan. Tapi, karena fakta yang diungkapkan akurat dan ditopang dengan bukti kuat, mereka tidak jadi melangkah ke pengadilan.

Dengan latar belakang seperti itu, akhirnya mereka bersedia melakukan negosiasi ulang. Tim Keppres 133/2000 yang dipimpin Rizal Ramli pun mampu menyelesaikan 16 dari 27 kontrak pembelian listrik swasta – sisanya diteruskan oleh Tim Ekonomi Kabinet Megawati yang menggantikan Gus Dur sebagai Presiden RI.

Dengan renegosiasi yang dilakukan tim Rizal Ramli Ramli itu, harga listrik swasta bisa ditekan menjadi di bawah US$ cents 4 per kWh. “Total kewajiban pemerintah dan PLN turun drastis dari US$ 80 miliar menjadi US$ 35 miliar,” kata Rizal Ramli dengan nada lega.

Apakah selesai sampai di situ? Ternyata belum. Persoalan harga jual listrik swasta ke PLN memang sudah rampung. Tapi, ada problem lain yang dihadapi PLN yang menuntut keputusan yang cepat dan inovatif. Perlu kebijakan dan langkah terobosan.

REVALUASI ASET PLN
Direksi PLN dirombak. Eddie Widiono menjadi Dirut menggantikan posisi Kuntoro Mangkusubroto. Selang beberapa pekan setelah dilantik, Eddie bersama direksi PLN menemui Rizal Ramli di kantornya. Mereka memaparkan situasi keuangan PLN yang sangat gawat: Aset PLN hanya Rp.50 Triliun, sedangkan modalnya minus Rp.9 Triliun.

Jadi, kalau dilihat dari posisi keuangannya, secara teknis PLN sudah bangkrut. PLN tidak bisa meminjam uang ke bank untuk membiayai modal kerja. Juga tak mungkin menerbitkan obligasi karena posisi keuangannya berantakan. “Bagaimana usulan PLN untuk mengatasi hal ini?” tanya Rizal Ramli kepada direksi PLN.

Eddie meminta agar pemerintah mengambil-alih utang PLN dan menyuntikannya menjadi modal baru dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah (PMP). Jumlah dana yang diminta Rp.26,9 Triliun. Rizal Ramli menolak usulan itu.

“Saya tidak setuju, kecuali kalau saudara-saudara mau mengundurkan diri. Sebab, nanti akan menjadi preseden. Setiap kali BUMN mengalami kerugian, kemudian minta duit dari pemerintah. Kalau seperti itu lebih baik direksi BUMN diganti saja oleh tukang becak: tinggal bikin utang setelah itu minta uang kepada pemerintah untuk menyelelesaikan utang itu,” lontar Rizal Ramli.

Lalu, Rizal Ramli pun memberikan solusi berupa langkah terobosan, yaitu dengan meminta PLN melakukan revaluasi asetnya. Soalnya, banyak aset PLN berupa tanah dan bangunan yang belum dilakukan revaluasi selama belasan tahun. Selain itu, banyak generator dan jaringan distribusi PLN yang dibeli sebelum krisis dengan kurs di bawah Rp 2.500/US$.

Padahal, pada tahun 2001, kurs rupiah sudah mencapai Rp 10.000/US$. Jadi, ada selisih sekitar 7.500. Semula direksi PLN menolak melakukan revaluasi aset karena akan memakan waktu lama. Mereka juga kuatir jika asetnya direvaluasi dan menggelembung maka kinerja mereka akan merosot. Return on equity dan return on asset-nya PLN akan anjlok. Tentu saja hal itu akan membuat kinerja direksi PLN menjadi memburuk. Selain itu, pimpinan PLN juga kuatir tidak bisa membayar pajak revaluasi asetnya. Sebab, begitu direvaluasi, akan terdapat selisih nilai aset yang besar sekali, dan itu merupakan objek pajak yang harus dibayar. Hal itu tentu saja akan mengganggu cash flow dan operasional PLN.

“Laksanakan saja revaluasi aset. Soal pajaknya, nanti akan saya urus ke Departemen Keuangan,” kata Rizal Ramli ketika itu.

Setelah dilakukan revaluasi aset oleh PT. Sucofindo, aset PLN terbukti melambung dari Rp. 52 Triliun menjadi Rp.202 Triliun. Sedangkan modalnya yang semula minus Rp.9,1 Triliun, naik pesat menjadi Rp.119,4 Triliun. PLN pun akhirnya sudah bankable. Tidak perlu lagi meminta duit ke pemerintah untuk operasionalnya, karena bisa meminjam ke bank atau menerbitkan obligasi. Persoalannya, kini tinggal mengurus pajaknya.

Maka, saat itu Rizal Ramli pun bertemu dengan para pejabat Departemen Keuangan. Ia meminta PLN diberi keringanan untuk menunda pembayaran pajak revaluasi asetnya. Pembayarannya akan dilakukan dengan cara mencicil. Para pejabat Depkeu menolak permintaan itu. Alasannya: belum ada peraturannya, dan sebelumnya tidak pernah dilakukan.

Alasan ini kemudian membuat Rizal Ramli harus memaksa orang-orang di Depkeu agar membuka logika berpikirnya. “Sekarang saya tanya, ada perbedaan tidak, antara membayar pajak sekarang, atau membayar pajak dalam jangka waktu 5 – 7 tahun, dicicil lengkap plus bunga dan dendanya?” tanya Rizal Ramli.

“Sama saja, Pak. Tidak ada bedanya,”jawab salah satu pejabat Depkeu.

“Kalau begitu, PLN bisa dong mencicil pajaknya,” kata Rizal Ramli.

“Tidak bisa. Belum ada peraturannya,” kata pejabat itu.

Rizal Ramli terdiam sesaat. Ia merasa heran mendapati kekakuan birokrasi pemerintahan. “Begini, pemerintah itu kan kita. Coba sekarang bikin peraturannya. Yang penting dari peraturan itu tidak ada conflict of interest. Bisa enggak dibikin?”

“Bisa, Pak” ujar pihak Depkeu.
Setelah itu, akhirnya bereslah persoalan PLN.

Dan begitulah, untuk menyelamatkan PLN Rizal Ramli mesti pontang-panting ke mana-mana. Melakukan negosiasi yang panjang dan melelahkan, melobi kanan-kiri, bahkan kalau perlu, main gebrak meja pun dilakukannya.

Rizal Ramli merasa puas karena berhasil menyelamatkan PLN dari kebangkrutan. Yang lebih penting lagi, negara terbebas dari tambahan beban utang yang besar. “Masyarakat, terutama rakyat kecil, juga terhindar dari kemungkinan membayar tarif listrik yang jauh lebih mahal seandainya harga listrik swasta tidak bisa diturunkan,” ujarnya.

PROYEK 35 GW ERA PRESIDEN JOKOWI SAAT INI
Karena telah pernah bersentuhan dan terlibat langsung dalam problem PLN di masa lalu, Rizal Ramli yang kini menjabat selaku Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, tentunya tidak asal bicara ketika harus mengkritisi program proyek PLN 35 GW yang sedang digodok saat ini.

Apalagi memang saat ini, nyatanya realisasi proyek 35 GigaWatt tersebut masih sangat jauh dari yang diharapkan.

Dalam sambutannnya pada acara Seminar: “Pembangunan Ketenagalistrikan di Indonesia, Masalah dan Solusi serta Implementasi Program Listrik 35.000 MW”, di Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), di Jakarta, Selasa (31/5/2016), Rizal Ramli kembali angkat suara.

Rizal Ramli mengatakan, dirinya sudah pernah meminta proyek 35.000 MW ini agar segera dievaluasi, yakni saat dirinya baru saja diangkat menjadi menko Kemaritiaman dan Sumber Daya pada Agustus 2015 lalu.

Sembilan bulan lalu Rizal menyebut proyek 35.000 MW kurang realistis. Dan kritik Rizal Ramli itu kemudian diserap dan diterjemahkan oleh mereka-mereka yang punya kepentingan besar pada proyek tersebut sebagai sebuah kegaduhan.

“Begitu saya diangkat jadi Menko, kami memang minta proyek 35.000 MW dievaluasi. Waktu itu langsung heboh. Kami pelajari sebelumnya, bahwa target ini kurang realistis, paling banter 17.000 MW. Tapi ada teman kita yang ‘asal bos senang’, memberi target berlebihan, jual mimpi,” ujar Rizal Ramli dalam sambutannya pada seminar di BPK tersebut.

Sebagai pembanding, Rizal menyebut, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saja selama 10 tahun dari 2005-2015 hanya berhasil membangun pembangkit hingga 10.200 MW. Target 35.000 MW dengan cara kerja seperti sekarang hanya mimpi.

Dan memang, Menteri ESDM Sudirman Said yang tadinya berapi-api optimis bisa merealisasikan proyek tersebut bisa tuntas sampai tahun 2019, belakangan ternyata “siuman” dan sempat menyatakan pesimisnya terhadap proyek listrik tersebut.

“Kemungkinan tahun 2019 belum selesai semua,” ungkap Sudirman Said dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Rabu (3/2/2016). Menurutnya, terealisasi 80 persen saja sudah sangat baik.

“Kalau 18.000 MW bisa dicapai dalam 5 tahun itu sudah luar biasa. Sepuluh tahun pemerintahan SBY hanya bisa membangun 10.200 MW. Pak Presiden (Jokowi) tadinya juga percaya 35.000 MW ini masuk akal, tapi setelah diskusi sama kami, ada info kiri kanan, beliau paham banyak kendala untuk mencapai itu,” ujar Rizal Ramli.

Ketua Komisi VII DPR, Gus Irawan Pasaribu, juga merasa gerah melihat progres pembangunan listrik 35.000 MW yang menjadi besutan Kementerian ESDM tersebut. Gus Irawan mengatakan, proyek itu hanya banyak kegiatan yang sifatnya seremonial.

“Melihat situasi ini saya justru pesimis, jangankan 35 ribu, 17 ribu saja saya masih ragu karena selama ini banyak kegiatan yang justru sifatnya hanya seremoni-seremoni saja” katanya Gus Irawan saat menjadi pembicara diskusi yang diselengarakan oleh LeKS Indonesia di Equity Tower SCBD Jakarta, Selasa (1/6)

Sebetulnya, kata Rizal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya sudah tahu hal ini. Termasuk orang-orang yang bereaksi keras saat Rizal Ramli meminta proyek 35.000 MW dievaluasi menjadi 17.000-18.000 MW pada Agustus 2015 lalu, adalah orang-orang yang memiliki kepentingan yang amat besar dalam proyek 35.000 MW tersebut.

“Tentu sebelum ngomong itu, kami sudah studi dulu. Saya nggak pernah ngomong sembarangan. Orang-orang yang bereaksi sangat keras waktu itu adalah orang-orang yang sangat berkepentingan,” tandas Rizal.

Sehingga itu, menurut Rizal Ramli, proyek 35.000 MW bisa merugikan PLN kalau terus dipaksakan. Sebab, kebutuhan listrik 5 tahun mendatang tak sampai 35.000 MW. Tentu akan terjadi kelebihan pasokan listrik. Independent Power Producer (IPP) yang menjual listrik ke PLN tentu tak mau rugi, PLN tetap harus membayar meski listrik banyak tak terpakai. Berdasarkan hitungan Rizal, PLN bisa rugi US$ 10,7 miliar per tahun.

"Andai kita bisa selesaikan, (maka) akan terjadi excess demand sehingga PLN harus bayar listrik yang sudah dibangun, mau dipakai (atau) nggak dipakai. Hitungan kami, PLN harus bayar US$ 10,7 miliar per tahun tanpa pakai listriknya (dari IPP). Ini membebani PLN, itu bisa jadi masalah besar nanti,” ucapnya.

Bila PLN sampai rugi sebesar itu, menurut Rizal Ramli, maka bukan hanya PLN saja yang bangkrut, tetapi negara juga bisa goyang. “Kami juga nggak mau PLN bangkrut lagi. Dulu 15 tahun lalu PLN bangkrut saya yang selamatkan. Bond (obligasi) PLN besar sekali, nanti kena ke perusahaan-perusahaan lain kalau bangkrut. Keuangan PLN harus sehat,” ungkap Rizal.

“Presiden Jokowi sudah paham ini. Saya pasang badan buat Pak Jokowi supaya PLN nggak bangkrut. Cuma masih ada pejabat ABS (Asal Bos Senang) yang bilang ini bisa, itu bisa. Jangan menawarkan mimpi yang solusinya juga nggak ada, terus bisanya cuma nyalahin PLN,” tandas Rizal Ramli.