Thursday 19 May 2016

Generasi di Dunia Pendidikan Jadi “Edan”, Anies Baswedan hanya “Bermanis” Kata


(AMS, Artikel)
JOKO Widodo (Jokowi) sesungguhnya adalah seorang presiden yang sangat memimpikan terwujudnya perubahan positif yang besar di negeri ini. Buktinya, ia sejak awal telah memilih dan bertekad untuk menjalankan “Revolusi Mental”, terutama di lingkungan pemerintahan dan juga di dunia pendidikan.

Sayangnya, sampai hari ini mimpi Presiden Jokowi tersebut masih sangat sulit untuk dapat diwujudkan. Lihat saja, di lingkungan pemerintahan hingga hari inipun masih saja terlihat adanya sebagian besar pejabat yang bermental “raja”, bermental “bisnis”, dan bermental “manis kata”.

Disebut bermental “raja” karena sebagian besar pejabat negara saat ini masih bertindak seolah-olah sebagai raja yang harus mendapat pelayanan penuh dari negara dan rakyat.

Disebut bermental “bisnis”, karena saat ini masih saja ada pejabat yang memanfaatkan jabatannya sebagai kesempatan untuk  membesarkan bisnisnya demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari negara.

Sedangkan disebut bermental “manis kata”, karena masih saja ada pejabat negara yang saat ini tahu dengan banyaknya situasi dan kondisi buruk yang bermunculan dalam ruang lingkup tugasnya namun hanya pandai “bermanis” kata, --dulu dikenal dengan istilah “ABS: Asal Bapak Senang”.

Dan, ketiga mental pejabat tersebut di atas itulah sesungguhnya yang membuat Indonesia sangat sulit untuk menjadi negara hebat yang berkembang pesat, dan bahkan menjadi penghambat utama dalam mewujudkan kecerdasan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Lihat saja! Karena mental para pejabat yang bobrok tersebut, rakyat dan kondisi negara ini kini makin menjadi kacau dan sangat memprihatinkan. Di mana-mana terjadi tindakan kriminal, tidak hanya dilakukan oleh para penjahat ulung, tetapi juga telah banyak dilakoni oleh para pelajar: seperti pemerkosaan, pembunuhan, pelecehan seksual, pesta seks serta narkoba, dan lain sebagainya.

Sungguh, kondisi bangsa dan rakyat saat ini bagai anak ayam yang kehilangan induknya! Rakyat ditekankan agar membayar pajak, namun sejumlah pejabat negara tinggi malah menghindari pajak (misalnya, panama papers); juga rakyat ditekankan agar tidak melakukan pelecehan seks dan mengonsumsi narkoba, namun sejumlah pejabat tinggi malah ikut melakukannya.

Kondisi buruk tersebut kemudian diperparah dengan adanya pejabat negara yang hanya memandang situasi tersebut dengan “bermanis” kata dan juga bersilat lidah.

Misalnya di dunia pendidikan, sudah tahu jika saat ini betapa banyak bermunculan peristiwa kriminal yang dilakukan oleh sejumlah pelajar, namun pejabat berkompeten (seperti menteri pendidikan) hanya terlihat “tenang-tenang” saja tanpa buru-buru mengambil langkah perbaikan yang mendasar, bahkan terkesan melemparkan penanganannya kepada pihak lain.

Seperti diketahui, bahwa hati rakyat saat ini sangat tersayat-sayat dan amat resah dengan banyaknya peristiwa kriminal yang bermunculan di kalangan pelajar, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Sementara, Menteri Pendidikan Anies Baswedan tak bisa berbuat banyak kecuali hanya “bermanis” kata dan “bersilat” lidah. Jika hanya mampu demikian, orang awam pun bisa menjadi menteri pendidikan.

Misalnya pada kasus Yuyun, Anies Baswedan hanya sebatas meminta pelaku agar pelaku dihukum berat, bahkan Anies yang diduga kuat bisa lolos menjadi menteri karena kedekatannya dengan Rini Soemarno ini hanya melemparkan persoalan kriminal yang dilakukan para pelajar tersebut sepenuhnya kepada aparat hukum.

Menteri Pendidikan Anies Baswedan menyatakan jika pelajar yang tersangkut kriminal adalah masuk pada ranah penegak hukum. “Bukan kewenangan saya kalau pelajar melakukan kekerasan, tindakan kriminal yang melanggar hukum,” kata Anies pada wartawan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Kamis (12/5/2016).

Jika Menteri Pendidikan Anies Baswedan hanya bisa berkata demikian, maka dunia pendidikan akan semakin menjadi “edan”, sebab semua orang juga bisa berkata seperti itu.

Artinya, jika hanya demikian kemampuan seorang Anies Baswedan selaku menteri pendidikan, maka bisa diyakini kementerian pendidikan dibawa kepemimpinan Anies Baswedan yang “mengantongi” anggaran Rp.400 Triliun itu boleh dianggap tak mampu membantu mewujudkan mimpi Presiden Jokowi yang mengharapkan terwujudnya revolusi mental, termasuk di dunia pendidikan.

Dengan banyaknya kasus kriminalitas di kalangan pelajar saat ini, seperti pemerkosaan, pembunuhan, pesta seks, miras serta narkoba, dan sebagainya, seharusnya orang seperti Anies Baswedan yang pernah “menawarkan” diri sebagai Capres dalam Konvensi Capres versi Partai Demokrat itu bisa memunculkan pola jitu untuk solusinya. Sayangnya, hingga saat ini Anies sepertinya tak lebih hebat dari seorang guru honor.

Padahal Anies tahu dan sangat menyadari, bahwa dunia pendidikan saat ini telah berstatus gawat-darurat. Namun lucunya, Anies hanya bisa “bermanis” kata. Sehingga tak sedikit orang menilai, bahwa Anies bisa ikut konvensi Capres (tetapi kalah) itu modalnya hanya ‘’kembang kata’’ belaka. Kalau bicara tentang bermacam-macam teori, maka Anies jagoannya, bahasa dan lisannya bagus dengan kata-kata pilihan, gestur-nya terkendali. Sehingga kata orang, dalam beberapa hal Anies mirip sekali dengan SBY.

Selain itu, Anies juga sebetulnya masih boleh dikata adalah sosok yang baru belajar menjadi pejabat negara (menteri), masih banyak yang lebih matang menduduki posisi sebagai menteri pendidikan. Sehingga itu, demi menyelamatkan generasi penerus bangsa yang saat ini berada dalam dunia pendidikan, maka Presiden Jokowi sebaiknya menunjuk sosok yang lebih mumpuni untuk segera membenahi status gawat-darurat di dunia pendidikan saat ini.

Artinya, jika Presiden Jokowi benar-benar serius ingin mewujudkan revolusi mental di dunia pendidikan sebagai upaya menciptakan generasi berkualitas handal dan unggul untuk masa mendatang, maka sekiranya besok-besok ada reshuffle kabinet, Presiden Jokowi hendaknya tidak segan-segan segera menunjuk sosok yang benar-benar tepat menjadi menteri pendidikan, bukan seperti Anies Baswedan yang kelihatannya punya kemampuan tetapi kenyataannya hari ini justru tak bisa berbuat banyak dalam mengatasi gawat-darurat dalam dunia pendidikan.