(AMS, Opini)
MENTERI Koordinator (Menko) Ekonomi adalah merupakan salah satu “organ” yang sangat vital di dalam tubuh kabinet. Jika bisa saya analogikan, Menko Ekonomi itu adalah ibarat sebuah jantung.
Jantung bisa dinilai sehat apabila tekanan darah “normal” dengan memompa darah berisi oksigen yang “segar”. Jantung memiliki dua pompa yang harus bekerja secara “seimbang” dan berdenyut “berirama” teratur sehingga bisa mendistribusikan darah ke seluruh jaringan pembuluh darah secara “merata”. Jika tidak, bisa dipastikan fatal jadinya.
Begitu pun dengan seseorang yang akan diberi tugas sebagai Menko Ekonomi, ia harus “segar” (steril, tidak terkontaminasi) agar dipastikan bisa bekerja secara “normal” (tidak ada kelainan, menurut pola umum), “seimbang” (sama berat, netral, tidak berat sebelah), dan “berirama” (terukur, terarah) secara merata (menyeluruh).
Apabila kita sepakat dengan analogi dan pemahaman di atas, maka seorang Menko Ekonomi memang sebaiknya berasal dari profesional yang independen, bukan profesional yang berasal dari parpol.
Sebab jika Menko Ekonomi dipegang oleh kader parpol, maka sebagai jantung, ia boleh dipastikan tidak akan bisa menjalankan fungsinya dengan baik sebagai “jantung”. Artinya, ia sangat sulit dinilai, apakah ia benar-benar steril dari warna parpol yang menaunginya atau tidak?
Kemungkinannya juga sangat kecil jika dikatakan ia bisa bekerja normal secara seimbang. Bahkan sangat besar kemungkinnya ia akan lebih cenderung berdenyut mengikuti irama yang dimainkan oleh parpolnya. Tengok saja bagaimana denyutan dan irama yang sudah dihasilkan oleh Menko Ekonomi era Presiden SBY kemarin?!?
Sehingga jika memang benar-benar Jokowi-JK ingin mewujudkan “Indonesia Hebat”, maka salah satu syarat mutlak untuk dapat hebat berlari kencang dan mendaki naik, adalah diperlukan “jantung” bertekanan darah normal yang bisa bekerja secara seimbang, yakni seorang Menko Ekonomi yang berasal dari profesional independen.
Kalau cuma alasan agar bisa berintegrasi sebagai kekuatan penyeimbang di parlemen, yang membuat Jokowi-JK harus memilih Menko dari kalangan parpol, saya kira itu sangat keliru besar. Sebab, KMP (Koalisi Merah Putih) di parlemen seakan sudah sepakat untuk tidak membiarkan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) leluasa “berkreasi” dan “berelaborasi”. Buktinya, beberapa waktu lalu KMP berhasil mematahkan perjuangan KIH dalam sejumlah pembahasan penetapan RUU di parlemen.
Jokowi-JK secara bijak hendaknya juga memahami, bahwa segala urusan di lingkungan parlemen dalam “menghadapi” KMP cukup dihadapi oleh KIH yang ada di parlemen pula. Tak elok jika urusan parlemen juga harus dipercayakan kepada seorang menteri atau menko. Sebab mereka (menteri maupun menko) harus benar-benar diposisikan sebagai “jantung” yang mampu “memompa” (bekerja secara seimbang) dalam mengatasi persoalan di lapangan (rakyat), bukan di parlemen.
Jika urusan (lobi-lobi, dll) di parlemen dan di lapangan dipaksakan untuk sekaligus ikut menjadi urusan seorang menteri ataupun menko, maka pola seperti inilah yang justru memudahkan terjadinya penyimpangan (patgulipat, kongkalikong, dll).
Sehingga itu, agar bisa fokus dan tidak terganggu dengan tugas dan juga “penekanan” dari partainya, seorang kader parpol sebaiknya tidak diposisikan sebagai Menko Ekonomi. Sebab bagaimana pun hebatnya seorang kader parpol dinilai menguasai bidang ekonomi, toh dalam praktek dan pelaksanaan nanti tetap akan lebih cenderung “berpihak” dan tunduk pada arahan partainya.
Harusnya posisi Menko Ekonomi juga bisa menjadi “jembatan dan jalan tol” bebas hambatan bagi semua pihak. Jika berasal dari kader parpol “A”, maka dalam dunia persaingan politik tentulah parpol “B, C, D, E.......” senantiasa memandang Menko Ekonomi dari kader parpol “A” tersebut sebagai “teman tetapi musuh”.
Olehnya itu sangat berbahaya jika tujuan menempatkan seorang menteri maupun menko dalam kabinet adalah dimaksudkan agar bisa memberi “perlawanan kekuatan” kepada pihak yang menguasai parlemen. Jika ini dipaksakan, maka justru akan menimbulkan kekeruhan, kegaduhan dan kegalauan dalam pemerintahan.
Saatnya kita harus sadar dan segera mengubah pola-pola yang dapat menimbulkan kegaduhan dan kegalauan politik dalam pemerintahan, seperti dengan tidak menempatkan seorang kader parpol sebagai menko, di mana jika ini tetap dipaksakan maka salah satunya sangat bisa mengundang rasa iri dari pihak parpol lainnya. Akibatnya, pemerintah akan banyak menghabiskan waktu hanya untuk mengurus, mengatasi, dan memuaskan “berahi” parpol-parpol tertentu.
Pemerintah harusnya bisa meyakinkan kepada semua pihak, bahwa mengisi kabinet adalah sebuah langkah yang sangat strategis sebagai workstation yang first thing first, bukan political-station yang fight to fight. Caranya, tempatkan seseorang dari kalangan profesional yang independen (yang tidak terikat dengan aturan parpol) di posisi sebagai menko.
Untuk khusus di posisi Menko Ekonomi, kita punya beberapa ekonom unggul, tangguh, profesional yang independen. Salah satunya yang tak perlu diragukan lagi kemampuannya adalah Dr. Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian dan Menkeu era Presiden Gus Dur.
Jika Jokowi-JK telah menyediakan sejumlah kursi menteri bagi kalangan Parpol yang mewakili dari KIH, maka Jokowi-JK juga hendaknya lebih bisa menyediakan posisi bagi kalangan profesional yang mewakili rakyat secara independen seperti sosok Rizal Ramli.
Dibanding lainnya, Rizal Ramli lebih punya performa dan nilai plus yang samasekali tak bisa disepelekan. Karakter, sikap dan ideologinya selama ini juga sangat jelas, kental, tegas dan konsisten mengarah kepada Pancasila serta ajaran Trisakti. Sangatlah cocok dijadikan Menko Ekonomi yang diyakini mampu bertugas sebagai “jantung” yang akan memompa perekonomian Indonesia yang kini mengempis dan terkulai lemas.