Friday, 24 October 2014

Ketika Kabinet Jokowi tak “Berisi” Trisakti, “Tritura” Berpotensi Terulang

(AMS, opini)
TRISAKTI adalah salah satu ajaran dan ideologi yang akan dijadikan tonggak bagi Jokowi-JK dalam membangun pemerintahannya.

Dalam setiap kampanyenya di hadapan publik jelang Pilpres 2014 kemarin, Jokowi bahkan berhasil meyakinkan banyak rakyat bahwa hanya dengan menegakkan ajaran Trisakti, Indonesia mampu menjadi negara hebat. Dan ternyata, ajakan Jokowi untuk menghidupkan kembali ajaran Trisakti tersebut memanglah sangat ampuh, rakyat pun lebih banyak menjatuhkan pilihannya kepada sosok insinyur kehutanan tersebut untuk menjadi presiden.

Sebab, sejauh ini rakyat Indonesia memang amatlah mendambakan sebuah konsep tentang Indonesia Hebat. Sehingga di mata rakyat, Trisakti dipandang adalah sebuah ajaran yang sangat tepat untuk dapat dijadikan sebagai kekuatan sekaligus solusi dalam upaya membentuk Indonesia menjadi negara hebat. Sebab, Trisakti memang terdapat tiga doktrin yang sangat sesuai dengan kehendak dan cita-cita rakyat, yakni: Berdaulat dalam bidang politik; Berdikari dalam bidang ekonomi; dan Berkepribadian dalam kebudayaan.


Ajaran Presiden Soekarno inilah salah satunya yang ikut mempengaruhi rakyat agar lebih memilih Jokowi daripada Prabowo pada Pilpres 2014 kemarin. Rakyat seakan tak mau peduli dengan siapa pun pendamping Jokowi, dan bahkan rakyat tak mau pusing siapa sesungguhnya yang ada “di belakang” Jokowi. Rakyat hanya melihat Jokowi sebagai sosok yang bisa dipercaya akan menjalankan ajaran Trisakti.

Dan kini, Jokowi pun telah dilantik sebagai Presiden ketujuh-RI, pada Senin (20 Oktober 2014). Namun usai pelantikan tersebut, rakyat malah kelihatan mulai cemas alias “panas-dingin bin demam”. Artinya, rakyat kini sudah pasti mulai diliputi berbagai kekuatiran dan kecemasan ketika mengetahui bahwa nama-nama yang akan mengisi kabinet Jokowi lebih banyak adalah orang-orang yang justru diduga kuat sebagai “penantang” Trisakti, yakni para penganut neolib dan budak-budak asing kaum imperialis.

Kekuatiran dan kecemasan rakyat makin meningkat ketika Jokowi hingga di hari keempat pasca pelantikannya sebagai presiden belum juga bisa merampungkan susunan kabinetnya. Dari situ, selain Jokowi dianggap tidak siap menjadi presiden, juga besar dugaan hak prerogatif Jokowi sebagai presiden telah tersandera dan dikendalikan oleh kaum neolib dan budak-budak asing.

Hipotesis sementara mengarah bahwa Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri telah berusaha untuk tetap tidak ingin ikut campur terlalu dalam terhadap pengisian menteri di kabinet. Sayangnya, “kebaikan” Megawati ini dapat saja “kembali disalahgunakan” oleh Wapres Jusuf Kalla untuk “berdagang” dalam kabinet seperti yang diduga pernah dilakukannya semasa berpasangan dengan SBY. Artinya, sebagai tokoh yang diduga telah terjerat hubungan “mesra” dengan kaum neolib dan budak-budak asing, JK besar kemungkinan adalah tokoh di balik Jokowi yang memberi lampu hijau kepada para kaum neolib untuk masuk ke dalam kabinet Trisakti.

Apabila Kabinet Trisakti nantinya benar-benar hanya diisi oleh kebanyakan dari kaum neolib, maka peristiwa Tritura dan Aksi penurunan Soeharto tahun 1998 kembali akan dialami oleh pemerintahan Jokowi-JK. Tritura dalam hal ini adalah:

1. Bubarkan KIH;
2. Rombak dan bersihkan Kabinet dari kaum neolib;
3. Stabilkan harga BBM untuk rakyat menengah ke bawah.

KIH dianggap lebih baik dibubarkan karena dinilai hanya akan lebih banyak menggerogoti kewenangan Jokowi sebagai presiden. KIH bahkan terlihat tak punya daya dan tak bisa berbuat banyak untuk mengusir kaum neolib  dari lingkaran Jokowi.

Kaum neolib benar-benar lebih berperan dan nampak lebih leluasa atur sana dan atur sini dibanding KIH. Kaum neolib bahkan sudah menempel dengan ketatnya di setiap pergerakan dan kemana pun Jokowi melangkah. Sungguh peranan KIH mandul dan tak berfungsi karena Jokowi kini seakan-akan telah dikuasai dan dibawah pengaruh kaum neolib, seperti Rini M Soemarno, Anies Baswedan, Sofjan Wanandi, Sri Mulyani Indrawati, Chatib Basri, Kuntoro Mangkusubroto, Chairul Tanjung, Denny Indrayana, Rusdi Kirana, Agus Martowardoyo, Karen Agustiawan, dan lain sebagainya.

Memang, mereka-mereka (kaum neolib) harus berusaha hingga tetes darah penghabisan untuk bisa menembus masuk dan bergabung dalam pemerintahan Jokowi. Sebab apabila tak berhasil, maka “riwayat” mereka akan tamat, kasus-kasus “gelap” mereka akan terbongkar dan mudah untuk diproses. Sehingga itu, boleh jadi mereka akan membayar berapa pun yang penting bisa kembali mendapatkan rasa aman dan “perlindungan” dari penguasa saat ini.

Ketika rakyat sudah mengetahui kondisi seperti ini, maka tentu rakyat tidak akan tinggal diam dan hanya duduk menyaksikan negara dan bangsa untuk kembali dikuasai oleh kaum neolib dan para budak asing imperialis. Aksi perlawanan tentu akan menjadi pilihan buat rakyat dan para relawan Jokowi agar Presiden Jokowi benar-benar mampu terbebas dari kaum neolib.

“Barangkali para relawan tidak akan memberi reaksi yang bersifat frontal begitu kabinet diumumkan. Tetapi setelah 100 hari kerja, keadaan bisa saja berbalik 180 derajat,” tegas Sukmadji Indro Tjahyono selaku Koordinator Forum Relawan Pemenangan Jokowi-JK, dan selaku koordinator People Power Front for Democracy.