Saturday, 18 October 2014

Mau Indonesia Hebat? Para Menterinya Harus “Level Presiden”!


(AMS, Opini)
SEBAGAI pasangan Presiden terpilih Jokowi-JK yang diusung oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH), di mata masyarakat tentunya sangat dimaknai sebagai semangat dan babakan baru dalam kepemimpinan negara yang akan membawa perubahan mendasar, yakni menuju Indonesia Hebat.

Artinya, rakyat saat ini memandang sekaligus menaruh harapan besar kepada Pemerintahan Jokowi-JK nantinya akan dapat mempersembahkan yang terbaik untuk kemajuan di negeri ini, dan akan membuat Indonesia menjadi negara hebat.


Pertanyaan kemudian yang muncul adalah, bagaimana dan dengan cara apa Jokowi-JK bisa membuat Indonesia menjadi negara hebat?

Visi-misi yang tersusun rapi, program kerja yang berurut jelas di atas kertas, serta tim sukses yang solid, atau apalah namanya, bukanlah penentu apalagi jaminan yang mampu membuat pemerintahan Jokowi-JK berhasil menjadikan Indonesia menjadi hebat.

Visi-misi dan program kerja hanyalah sebuah “bahan mentah” yang harus diolah menjadi “bahan jadi” yang berkualitas tinggi.

Sehebat dan sejago apapun Jokowi-JK, tentulah sangat sulit menjalankan program kerjanya dan amat susah mewujudkan visi-misinya apabila pemerintahannya kelak hanya diisi atas dasar bagi-bagi jabatan kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa dalam pemenangan pilpres 2014 kemarin.

Jangan lupa, situasi “persaingan politik” masih tetap akan berlanjut di lima tahun ke depan. Jokowi-JK dengan KIH-nya bisa dipastikan tidak akan mampu “melawan” kekuatan KMP (Koalisi Merah Putih) di tingkat parlemen. Sehingga itu, Jokowi-JK harus sadar dan paham, bahwa satu-satunya cara yang mampu “menjinakkan” kekuatan  di parlemen adalah bukan dengan melakukan “perlawanan” terhadap KMP, melainkan dengan cara melakukan terobosan dan kerja nyata di tingkat kementerian (eksekutif).

Saya sangat yakin, Jokowi-JK TIDAK AKAN MAMPU menjadikan Indonesia menjadi HEBAT, -sekali lagi TIDAK AKAN MAMPU membuat Indonesia menjadi negara HEBAT--, yakni apabila Jokowi-JK hanya memilih orang-orang menjadi menteri dari kelas “karbitan”, yaitu orang-orang yang ditunjuk karena hanya dinilai telah “berjasa” dalam membantu pemenangan pasangan Jokowi-JK.

Sungguh, tugas dan tanggung-jawab Jokowi-JK sangat-sangat berat. Dan rakyat akan membiarkan KMP untuk “menindas” dan menjegal Jokowi-JK jika pemerintahan Jokowi-JK ternyata nantinya hanya berjalan lebih buruk dibanding pemerintahan SBY-Boediono.

Sehingga itu, kunci kesuksesan jalannya pemerintahan Jokowi-JK nantinya sebetulnya terletak pada kinerja dan kualitas kerja dari para menteri, bukan kinerja dari KIH yang berada di parlemen. Sebab, sekali lagi, KIH takkan bisa mengalahkan kekuatan KMP di parlemen. KIH hanya diharapkan dapat memainkan peran politiknya di parlemen dengan cara membantu terobosan yang dilakukan oleh para menteri di pemerintahan Jokowi-JK.

Jika KIH sudah dinilai lemah di tingkat parlemen, maka Jokowi-JK jangan sekali-kali membangun kabinet yang lemah pula. Para menteri yang akan mengisi kabinet harus dan haruslah benar-benar “berkelas” dan  diyakini mampu menjalankan kementerian secara mantap dan terarah, bukan orang-orang yang baru belajar menjadi menteri. Ini sangat berbahaya bagi eksistensi pemerintahan Jokowi-JK. Sudah lemah di parlemen, lemah pula di tingkatan eksekutif.

Kinerja yang berkualitas tinggi dari para menteri nantinya secara otomatis akan menjadi “perisai” yang akan melindungi Pemerintahan Jokowi-JK dari “rencana buruk” KMP. Jika para menterinya berasal dari kelas “karbitan” yang tak punya mental dan pengalaman sebagai seorang ahli di bidangnya, maka inilah yang  saya sebut sebagai malapetaka buat pemerintahan Jokowi-JK.

Sehingga itu, jika benar-benar ingin menjadikan Indonesia sebagai negara HEBAT, maka Jokowi-JK harus bisa memilih menteri dari “kelas atas”.

Kelas atas yang saya maksud adalah orang-orang pilihan. Yakni orang-orang yang benar-benar dinilai dan diyakini memiliki kualitas kemampuan, pengalaman, gagasan dan ide-ide cemerlang, serta keahlian yang tinggi dalam menangani dan menuntaskan persoalan-persoalan yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.

Beberapa bulan terakhir ini, saya bersama teman-teman jaringan seprofesi (jurnalis dan LSM) di sejumlah daerah misalnya di Sulawesi, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Ternate, dan Papua, menemukan sebuah aspirasi dan keinginan dari rakyat tentang siapa-siapa saja yang layak dijadikan menteri agar Jokowi-JK benar-benar bisa mewujudkan Indonesia Hebat.

Umumnya, masyarakat yang kami temui di lapangan merasa yakin Jokowi-JK akan sangat lebih mudah mewujudkan Indonesia Hebat apabila para menteri yang akan mengisi kabinet Jokowi-JK adalah orang-orang profesional “berlevel Presiden”.

Tidak banyak orang-orang profesional “berlevel Presiden” yang sangat layak dijadikan menteri. Di antaranya adalah:

1. Rizal Ramli (Capres Konvensi Rakyat)
2. Anies Baswedan (Capres Konvensi Demokrat)
3. Dahlan Iskan (Capres Konvensi Demokrat)
4. Yusril Ihza Mahendra (Capres Konvensi Rakyat)
5. Isran Noor (Capres Konvensi Rakyat)
6. Gita Wirjawan (Capres Konvensi Demokrat)
7. Dino Patti Jalal (Capres Konvensi Demokrat)
8. Surya Paloh (Pengusaha Media)
9. Hary Tanoesoedibjo (Pengusaha Media)

Jika dibanding dengan calon menteri lainnya, sembilan orang-orang “berlevel presiden” di atas itulah tentunya yang lebih dapat disebut sebagai orang-orang yang sangat “siap tempur” dan bekerja sebagai seorang menteri.

Selain dinilai telah memiliki kemampuan dan pengalaman serta kualitas keahlian yang tinggi, kesembilan orang itu juga sejauh ini memang telah memiliki konsep yang jelas berupa gagasan dan ide-ide dalam upaya membentuk Indonesia menjadi Hebat.

Kumpulkanlah mereka, dan satukanlah mereka dalam sebuah kabinet. Karena hanya dengan membentuk menteri yang “berlevel presiden”,  Indonesia lebih berpeluang besar menjadi negara yang benar-benar hebat. Bukan orang-orang yang baru belajar menjadi menteri.

Jangan lupa, tugas dan pekerjaan serta masalah-masalah negara ke depan diyakini akan jauh lebih berat dibanding dengan pemerintahan sebelumnya, sehingga Jokowi-JK sebaiknya jangan sekali-kali memilih menteri hanya karena didasari “balas budi”, dan juga jangan hanya dengan memakai rumus “like or dislike”.