Tuesday, 22 July 2014

SBY Amat “Takut” Jika Ingin Serahkan Jabatannya Kepada “Orang Lain”

(AMS, opini)
MENDUDUKI dan memangku jabatan selaku kepala negara (Presiden), apalagi hingga  dua periode, adalah tentu sebuah “kenikmatan” tersendiri yang tiada taranya di muka bumi ini.

Seperti itu pula kiranya yang dialami selama ini oleh SBY, yang mampu menduduki kekuasaan selama dua periode berturut-turut sebagai presiden Indonesia, negeri yang sangat subur ini.


Secara manusiawi, seseorang yang telah terlanjur dua periode merasakan nikmatnya menjadi presiden di suatu negara, sebelum “jatuh tempo” tentulah ada “rasa” yang sangat sulit untuk menyerahkan kekuasaannya tersebut begitu saja kepada orang lain.

Dan sebagai manusia biasa, SBY nampaknya juga punya rasa seperti itu. Yakni rasa “tak sudi” untuk menyerahkan kekuasaannya kepada orang lain, apalagi kepada “musuhnya”.

Sehingga itu sebagai politikus handal yang sukses membesarkan partai politiknya itu secara “instan”, SBY boleh jadi akan melakukan apa saja di sisa waktunya sebagai “penguasa” agar jabatannya saat ini tak jatuh kepada orang selain kepada orang di dalam lingkarannya.

Ini memang hanyalah sebatas dugaan, tetapi jika hal ini dicermati secara kronologis, atau mengamati dan menengok sesuai urut-urutan waktu ke belakang sepanjang SBY menjabat presiden, maka tentu ini akan sangat bernilai logis.

Secara pribadi, saya cukup kagum dengan sosok Ketua Umum Partai Demokrat ini. Sebab sepanjang sejarah, hanyalah SBY satu-satunya Presiden Indonesia yang punya banyak kelebihan yang memang patut dibanggakan. Yakni berwajah ganteng, bertubuh tinggi kekar, TNI berpangkat jenderal (bintang empat), pandai berbicara dan berbahasa Inggris.

Sayangnya, di mata banyak pihak, kelebihannya itu beriringan pula dengan kepandaiannya mengelola bahasa tubuh (gesture), ber-akting dan bersandiwara bak seorang artis film. Sehingga tak salah apabila selama ini sebagian besar kalangan pun menilai SBY adalah sosok amat jago melakukan pencitraan.

Dan sejauh ini, nampaknya memang SBY telah banyak berhasil menjadikan pencitraan (dan kepandaian aktingnya itu) sebagai “senjata” dalam menumbangkan dan menaklukkan kekuatan lawan.

Ayo, coba ingat kembali pada jelang Pilpres 2004 silam, bagaimana hebatnya SBY “berakting” dengan bergegas menggerutu di depan Pers setelah dirinya merasa disingkirkan (dilecehkan) oleh Presiden Megawati Soekarnoputri karena ia tak lagi dilibatkan dalam beberapa rapat kabinet.

Keluhan dan aduannya di depan Pers itulah yang kemudian membuat perhatian publik jadi tersedot, terlebih ketika Taufik Kiemas (alm) menanggapinya dengan menyebut SBY sebagai menteri yang bersifat kanak-kanak.

Dan di situlah sebetulnya “titik awal” kehebatan pencitraan SBY hingga akhirnya mampu menjadi sosok yang sangat populer. Dan dari situlah pula ia  kemudian “mulus” menjadi Capres, hingga berhasillah menjadi seorang presiden. Sungguh sebuah “strategi” yang sangat instan dan klasik, namun sangat jitu karena mampu dibangun tepat menjelang  momen Pilpres 2004.

Saya sebut instan dan klasik, karena biasanya cara-cara untuk memikat dan menyeret hati itu biasanya hanya ditemui pada cerita-cerita sinetron di layar kaca. Di mana biasanya sejak dulu penonton selalu saja larut dalam kisah yang disajikan dalam setiap adegan seperti yang diharap oleh sang sutradara.

Selain alm. Taufik Kiemas, Rizal Ramli pun kerap menjadi “korban” dari kepandaian SBY dalam “berakting”.

Bisa ditengok, jelang Pilpres 2009, langkah Rizal Ramli untuk maju menuju pencapresan boleh dikata sempat mendapat rintangan hebat dari SBY. Kala itu, Rizal Ramli yang sudah siap didukung dari berbagai partai politik untuk diusung sebagai Capres, harus menghadapi dua kondisi sulit.

Pertama, Rizal Ramli tiba-tiba diberhentikan dari jabatannya sebagai Komisaris Utama di salah satu BUMN hanya karena ikut membela rakyat kecil untuk menolak kenaikan harga BBM, di depan istana, 2008 silam. Dan ini disusul dengan diseretnya Rizal Ramli sebagai tersangka atas kericuhan aksi unjuk-rasa BBM tersebut. Sehingga, Rizal Ramli pun kehabisan waktu hanya untuk mengurus dan menghadapi persoalan tersebut yang diduga dikendalikan langsung dari istana.

Kondisi kedua, mirip-mirip dengan yang pertama. Yakni, langkah pencapresan Rizal Ramli kembali coba dihambat agar sulit mendapat dukungan. Yaitu SBY memberi somasi kepada Rizal Ramli hanya karena mantan Menko Perekonomian ini giat menyuarakan dan mendesak KPK agar segera menuntaskan kasus Bank Century, di mana di dalamnya ada Boediono yang diduga terlibat kuat sebagai “penerima” gratifikasi karena berhasil mem-bailout Bank yang sudah memang bermasalah sejak dulu itu. Dan sebagian besar dari hasil  bail-out itulah diduga kuat mengalir untuk “membiayai” kepentingan politik SBY pada 2009 tersebut. Inilah yang membuat SBY jadi sewot, lalu memerintahkan kuasa hukumnya melayangkan somasi kepada Rizal Ramli, serta beberapa nama lainnya.

Bisa ditebak, somasi tersebut menjelang Pileg dan Pilpres tentulah lebih cenderung nampak sebagai aksi pencitraan dari SBY saja. Seolah-olah ia sudah “dianiaya” dan seakan-akan sudah difitnah oleh Rizal Ramli. Padahal, Rizal Ramli melakukan semua itu adalah hanya semata untuk mendesak dan memberi semangat kepada KPK agar segera membuktikan janji-janjinya untuk bisa menuntaskan Kasus Bank Century tersebut.

Olehnya itu, selain karena mungkin sudah merasa keenakan, juga ada hal-hal menakutkan yang tentunya sangat tidak diharapkan oleh SBY bisa terjadi pasca kepemimpinannya. Misalnya, SBY tentu saja sangat memungkinkan untuk segera diadili di depan hukum atas dugaan kasus-kasus yang lebih dulu menjerat sejumlah kader Partai Demokrat, dan mungkin juga dengan kasus-kasus lainnya.

Dari bayang-bayang yang sangat menakutkan itulah, SBY boleh jadi sudah mewanti-wanti kepada sejumlah lembaga negara yang berpengaruh agar tetap “patuh dan setia hingga akhir” dalam kendalinya, paling tidak termasuk KPU dan KPK.

Apa ada yang tahu, mengapa KPU hanya ngotot meloloskan seluruh Parpol penghuni senayan plus NasDem, PBB, PKPI...??? Dan adakah yang tahu apakah parpol penghuni Gedung di Senayan itu lolos atau tidak saat proses verifikasi administrasi dan aktual...??? Dan apa ada yang tahu, mengapa KPK hingga saat ini sepertinya berbelat-belit menangani kasus Bank Century?

Sehingga itu, rasa-rasanya SBY terlalu “tolol” jika kekuasaannya ingin ia serahkan kepada orang lain. Jadi apabila ada pihak yang merasakan betapa kuatnya pengaruh (upaya) yang mungkin dilakukan oleh SBY dalam “senyap” demi memenangkan besannya yang sedang berlaga sebagai Cawapres, itu tentunya tidaklah keliru.

Dan jangan bilang SBY dalam Pemilu ini tidak memiliki “kecerdasan” dan ambisi besar untuk mempertahankan kekuasaannya, meski itu melalui orang-orang terdekatnya. Konvensi Capres Partai Demokrat sebagai rencana “A” boleh saja gagal, tetapi memajukan Hatta Rajasa berpasangan dengan Prabowo sebagai rencana “B” tidak mungkin SBY ingin menggagalkannya. Sehingga sekarang, apakah Anda tahu siapa pemenang Pilpres 2014...???